TRAGEDI
1965 BERAWAL DARI TAHUN 1948
Oleh
Asvi Warman Adam
Menurut
Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996), peristiwa Madiun
1948 penting bukan hanya dari segi jumlah korban yang cukup besar
pada kedua pihak, tetapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan
antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan). Warisan kebencian
itu yang masih tersisa dalam buku Kesaksian Korban Kekejaman PKI
1948 yang disunting Fadli Zon dan diluncurkan awal September 2005 di
hotel Ambhara Jakarta bersamaan dengan diskusi yang digelar oleh
Ridwan Saidi cs tentang peristiwa 1948 dan
1965.
Mengenai korban dari
pihak santri bahkan para kiai tahun 1948 sudah sering disebut dalam
buku pelajaran sejarah. Tetapi korban dari pihak kiri juga banyak
sebagai-mana oleh Roeslan Abdulgani (Casperr Schuuring, Roeslan
Abdulgani, Tokoh Segala Zaman, 2002). Roeslan menyaksikan pengadilan
tidak resmi yang dilakukan oleh tentara. Beberapa orang dijatuhi
hukuman mati dan dieksekusi di depan mata Roeslan. Malamnya menurut
Roeslan ia menangis keras. Demikian pula mantan Perdana Menteri Amir
Syaridudin ditembak mati bersama beberapa tokoh kiri lainnya lainnya
tanpa melalui pengadilan. begitu tega memakan anak-anaknya
sendiri.
Di luar dua pandangan
dari kutub ekstrem yakni kalangan militer ("Peristiwa Madiun 1948
adalah pengkhianatan PKI") dan kelompok kiri ("Peristiwa Madiun 1948
adalah provokasi Hatta"), sudah muncul suara lain yang lebih jernih
seperti Hersri Setiawan. Hersri sastrawan Lekra yang sempat bermukim
di negeri Belanda, mempertanyakan apakah peristiwa Madiun itu "coup
d'etat" atau "coup de ville", upaya perebutan kekuasaan secara
nasional atau hanya perlawanan pada tingkat kota/daerah ? (Negara
Madiun ?, terbit 2002 dan dicetak ulang
dengan revisi tahun 2003). Sudah diterjemahkan tulisan David Charles
Anderson yang menyoal apakah peristiwa Madiun itu lebih tepat
dilihat sebagai persoalan intern tentara (2003). Skripsi yang bagus
dari Soe Hok Gie, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Kisah
Pemberon-takan Madiun 1948 (terbit 1997) juga membahas persoalan
ini.
Arsip
Rusia mengenai aspek ini sudah dimanfaatkan oleh Larissa Efimova
dalam artikelnya "Who gave instructions to Indonesian Communist
Leader Muso in 1948". Madiun 1948 tidak ada hubungan dengan
Moscow.
Yang
menarik adalah sebuah disertasi yang sedang ditulis oleh mahasiswa
Indonesia pada School of Politics, University of Nottingham, Inggris
yang mencoba melihat tragedi 1965 itu sebagai pertentangan kelas.
Kelas
priyayi (diwakili oleh tentara) bersekutu dengan santri dalam
perseteruan melawan dan menghancurkan kelas abangan (komunis).
Sebagian
komandan tentara yang membasmi G30S/1965 adalah juga prajurit yang
sudah berperan sama tahun 1948. Keterlibatan Banser NU dalam
pengganya-ngan G30S/1965 antara lain karena
tahun 1948 kerabat mereka termasuk korban.
Dimensi
geografis
Bila
sebelumnya tragedi 1965 seakan hanya berlangsung di pulau Jawa, maka
kini sudah mulai terbit buku-buku tentang dampak peristiwa tersebut
di daerah. Pembantaian di Bali tahun 1965 disinggung dalam buku I
Ngurah Setiawan (Bali, Narasi dalam
Kuasa, 2005). Dua artikel mengenai masalah 1965 di Nusa Tenggara
Timur yang masing-masing ditulis Paul Webb dan Steven Farram
diterjemahkan dan disatukan dalam sebuah buku "Di-PKI-Kan, Tragedi
1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur". Dampak tragedi 1965
terhadap perempuan di Sumatera Barat ditulis oleh Yenny Narni, dosen
sejarah Universitas Andalas Padang. Pembantaian di daerah Painan
dilaporkan oleh Bakry Ilyas (alm). Sudah ada artikel lepas mengenai
peristiwa 1965 di Sumatera Selatan antara lain ditulis seorang eksil
di Swedia. Pengalaman seorang tapol di Sumatera Utara sudah terbit
tetapi laporan secara menyeluruh mengenai daerah ini tampaknya belum
dikerjakan.
Sudah
bermunculan pula buku-buku yang ditulis oleh kelompok eksil Eropa
seperti biografi Umar Said (Pengalaman Hidup Saya) tiga buku yang
ditulis oleh Koesni Sulang di antaranya tentang Restoran Indonesia
di Paris. Bagaimana melawan rezim
diktator Orde Baru dengan masakan, ini kisah unik. Biografi tokoh
perempuan Fransisca Fanggidaej ditulis oleh Hersri Setiawan
berdasarkan wawancara di negeri Belanda.
Aspek
keluarga
Sudah terbit beberapa
buku tentang Aidit dan keluarganya. Budi Kurniawan dan Yani
Adriansyah menulis tentang pengalaman pahit saudara, anak dan
keponakan DN Aidit (Menolak Menyerah, Menyingkap Tabir Keluarga
Aidit). Tesis Peter Edman pada sebuah universitas di Australia telah
diterjemahkan menjadi Komunisme ala Aidit, Kisah PKI di bawah
kepemimpinan DN Aidit 1950-1965. Tentunya akan menarik bila dapat
diterbitkan dalam bahasa Indonesia, disertasi sejarawan Perancis
Jacques Leclerc tentang dialektika antara desa dengan kota seperti
dianalisis melalui pidato-pidato Aidit.
Selain Asahan Alham
Aidit yang menulis novel berlatar perang Vietnam, Sobron Aiditlah
yang paling produktif menulis. Terakhir bukunya berjudul Catatan
Spiritual di balik sosok Sobron Aidit. Sobron yang waktu kecil
khatam Quran itu kemudian beralih beragama ke Kristen Protestan pada
usia lanjut. Ia mengatakan bahwa Tuhannya tetap yang dulu, tetapi
yang berganti hanya ritual. Cita-citanya kini adalah membeli sebuah
gereja, karena anggota Perki (Persatuan Kristen Indonesia) di
Almere, Belanda melakukan misa dengan menyewa
tempat.
Aspek agama ini
sebetulnya dibahas oleh Hersri Setiawan dalam kisah tentang pulau
Buru. Ada di antara tapol di kamp kerja paksa itu yang berganti
agama karena alasan praktis, misalnya demi dapat libur dalam
seminggu. Namun di antara korban 1965 ada pula penganut Islam yang
taat seperti Haji Ahmadi Mustahal dan Hasan Raid (keduanya telah
menulis memoar).
Kalangan keluarga korban
peristiwa 1965 sudah mulai ada yang berani bersuara dan mengakui
jatidiri mereka seperti peragawati terkenal Okky Asokawati dan Dr
Ikrar Nusa Bhakti. Walaupun ada pula yang sampai akhir hayatnya
masih membantah seperti Alm Cacuk Sudaryanto (Belajar Tanpa Henti,
ditulis bersama Bondan Winarno). buku Jangan Menoleh Ke Belakang,
Okky menceritakan bahwa ayahnya adalah AKBP Anwas Tanuamijaya yang
namanya tercantum sebagai wakil ketua Dewan Revolusi yang kemudian
ditahan belasan tahun di penjara Cipinang, Nirbaya dan Salemba.
Untuk menghidupi keluarga, ibunya terpaksa bekerja memberi les piano
dan bahasa Inggris. Karena tidak memiliki kendaraan pribadi, setiap
minggu dengan bergelantungan di atas bus mereka sekeluarga pergi
menyenguk sang ayah di penjara.
Makin banyak terbit
karya sastra dengan tema atau latar belakang tragedi 1965, demikian
pula film dokumenter tentang peristiwa ini. Yang ditunggu tentunya
pandangan pemerintah atau "buku putih" tentang peristiwa 1965
setelah 40 tahun berlalu. Tahun 2004 Presiden Megawati telah meminta
kepada Mendiknas Malik Fadjar untuk menulis ulang sejarah 1965. Maka
disusunlah sebuah tim yang diketuai Prof Taufik Abdullah untuk
menulis buku tersebut dengan beranggotakan 25 penulis.
Tanggal 12-13 April 2005
telah dibahas hasil penelitian itu dalam sebuah lokakarya di
Jakarta. Namun naskah yang ada masih jauh dari harapan dan sulit
diprediksi kapan bisa terbit.
Yang lebih dekat
tentulah buku dokter Ribka Ciptaning yang akan diluncurkan tanggal 1
Oktober 2005 dengan pembicara kunci KH Abdurrachman Wahid dan Ali
Sadikin. Sebelumnya Ciptaning menulis buku "Aku Bangga Jadi Anak
PKI" (2002). Apa judul buku barunya ?
Tunggu sajalah, pasti mengagetkan.
(Dr Asvi Warman Adam,
Ahli Peneliti Utama LIPI)
*********** 0 0 0 0 0
**********
Cofdri77
wrote:
Berbagai Versi tentang
Sebuah Tragedi.
Tragedi 30 September
telah terjadi 40 tahun yang lalu. Banyak fakta objektif yang
bersifat mutlak dan tidak bisa dipungkiri; antara lain keterlibatan
PKI; ambiguitas Soekarno; intrik dalam tubuh militer (khususnya AD);
serta kedekatan hubungan personal antara pelaku utama G 30 S dengan
Mayjen Soeharto, Pangkostrad/ Pangkopkamtib.
G
30 S juga tidak dapat diabaikan begitu saja, mengingat bahwa
peristiwa tersebut menjadi triggering factor bagi operasi paling
efektif pembasmian suatu ideologi di sebuah negara. Stigmatisasi
yang diterapkan Soeharto terhadap mereka yang tidak terlibat
langsung dengan komunisme -- misalnya melarang anak-anak eks tapol
untuk menjadi pegawai negeri -- juga merupakan cara
yang efektif untuk menutup kemungkinan bangkitnya komunisme di
negeri ini.
Telah
banyak penelitian, kajian ataupun literatur yang mengkaji
collapse-nya komunisme di Indonesia, baik yang
ditulis oleh pakar dari luar negeri maupun dalam negeri. Berbagai
versi tentang G 30 S pun muncul. Setidaknya, ada enam teori yang ada
dalam penulisan mengenai peristiwa tersebut, masing-masing adalah
sebagai berikut :
a.
Pelaku Utama G 30 S adalah PKI dan Biro Khusus
Dengan
memperalat unsur ABRI, tokoh-tokoh Biro Khusus PKI merencanakan
putsch ini sejak lama. Tujuannya untuk merebut kekuasaan dan
menciptakan masyarakat komunis di Indonesia. Tentu saja,
pemerintah Orba adalah pihak yang pertama kali menyetujui teori
pertama ini. Buku Putih Pengkhianatan G 30 S/PKI yang diterbitkan
oleh Sekretariat Negara (1994) merupakan penjelasan secara lengkap
atas peristiwa paling tragis itu. Sejarawan Nugroho Notosusanto dan
Ismail Saleh adalah penulis domestik pertama yang menulis versi ini,
bukunya berjudul Percobaan Kup Gerakan 30 September di Indonesia,
terbitan Jakarta, 1968. Penulis luar negeri
yang dikategorikan masuk dalam versi ini adalah Arnold Brackman,
penulis buku The Communist Collapse in Indonesia, terbitan New York
tahun 1969.
b.
G 30 S adalah Persoalan Internal AD
Versi
kedua beranggapan bahwa G 30 S adalah persoalan internal AD yang
didalangi sebuah kelompok terbatas. Persiapan gerakan dilakukan
secara teliti oleh kelompok tersebut, dengan cara menyusupi PKI.
Versi kedua ini ditulis oleh MR. Siregar (Tragedi Manusia dan
Kemanusiaan, Kasus Indonesia: Sebuah Holokaus yang Diterima sesudah
Perang Dunia Kedua - terbit pertama kali tahun 1993 di Amsterdam).
The 30 September Movement karya Coen Holtsappel juga termasuk dalam
versi kedua ini. Demikian pula Cornell Paper (A Preliminary Analysis
of the October 1, 1965: Coup in Indonesia) karya Ben Anderson dkk,
yang diterbitkan di Ithaca, 1971. Whose Plot ? New Light on the 1965 Events karya WF.
Wertheim juga mengacu pada versi yang memojokkan ABRI, khususnya
Angkatan Darat ini. Buku karya Wimandjaja K. Litohoe, Primadosa,
juga mengarah pada sintesis bahwa G 30 S merupakan kudeta yang
dirancang oleh sekelompok orang AD dibawah pimpinan
Soeharto.
Penyusunan Mozaik
...
Bisa dikatakan bahwa
tahun 1965 merupakan puncak krisis politik di Indonesia. Tahun ini
diawali dengan hancurnya BPS (Barisan Pendukung Soekarno) sebuah
barisan yang sebetulnya bercorak oposisi terhadap Soekarno tetapi
menggunakan kamuflase politik .. (salah satu anggota BPS yang sampai
sekarang masih hidup adalah Ibu Sudjinah, beliau pernah ditahan lama
sekali oleh rezim Orde Baru, sekarang beliau mengajar bahasa Inggris
private dan juga sedang mempersiapkan memoarnya untuk diterbitkan).
Keputusan Presiden
Soekarno untuk keluar dari PBB juga merupakan salah satu pemicu dari
keributan-keributan yang kemudian terjadi di tahun 1965.
Dengan
keluarnya Indonesia dari PBB,
otomatis perselisihan antara Soekarno dan "Nekolim" semakin
meruncing tajam. Keluarnya RI dari PBB menye-babkan timbulnya
spekulasi bahwa kita akan semakin dekat dengan "Kawan di Utara" yang
dalam hal ini adalah RRT. Bahkan terdengar sas-sus bahwa kemungkinan
Indonesia akan mendapat
senjata nuklir dari pemerintah RRT yang pada masa itu dipimpin oleh
PM Chou En Lai.
Situasi
Indonesia sangatlah
buruk, dengan turunnya ekspor dan besarnya pinjaman untuk keperluan
tentara, mendongkrak utang luar negeri jadi US$ 2,4 miliar. Tapi yang paling
berpengaruh terhadap gejolak politik dalam negeri kondisi kesehatan
Bung Karno. Ia menolak anjuran tim dokter dari Wina, Austria, agar
penyakit ginjalnya dioperasi. Keengganannya itu disebabkan nasihat
seorang dukun yang meramalkan bahwa ia akan mati oleh pisau!.
Kemudian ia berkonsultasi dengan para dokter-dokter dari Cina dan
memilih cara pengobatan secara akunpunktur. Sempat dalam salah satu
pidatonya di bulan Januari 1965, Bung Karno mengejek "desas-desus
Nekolim" yang mengeluarkan rumors tentang
sakitnya.
Faktanya, gangguan
kesehatan Bung Karno tidak dapat disembunyikan lagi. dalam suatu
pertemuan umum tanggal 05 Agustus 1965, ia diserang sakit yang
kemudian timbullah desas-desus kuat bahwa ia sedang dalam keadaan
gawat.
Kecemasan perebutan
kekuasaan pun akhirnya timbul. Hal lain terjadi adalah ketika pada
tanggal 30 September 1965, siang hari (beberapa jam sebelum
penculikan para jenderal-jenderal TNI AD), ditengah-tengah
pidatonya, Presiden Soekarno terpaksa berhenti. Rupanya disebabkan
oleh kurang enak badan. Beberapa menit kemudia, ia melanjutkan
pidatonya.
Dan
kemudian terjadilah peristiwa tragis itu. Sekelompok orang menyusun
sebuah rencana - yang masih spekulatif apakah berada dalam sebuah
skenario besar atau bukan - yang rentetannya sangat panjang. Dini
hari 1 Oktober 65, enam jenderal dan satu perwira pertama AD menjadi
korban kelompok tersebut. Peristiwa ini dengan cepat merubah peta
politik Indonesia. Pilar kekuasaan Presiden
Soekarno, yakni golongan kiri (baik yang komunis maupun nasionalis)
sama - sama hancur. Ayunan pendulum politik bergeser pada AD.
Terbunuhnya jenderal-jenderal loyalis terhadap Soekarno, semakin
memperburuk posisi dan kondisi sang "Founding Father"
tersebut
Kendati sangat menyadari
bahwa PKI berada di sisi yang tidak menguntungkan dan demikian juga
dengan AURI, Presiden Soekarno tetap memainkan kartunya (yang
benar-benar sudah sangat lemah) untuk mempertahankan kekuasaan.
Dia
tinggal memiliki beberapa jenderal AD yang masih dapat dipercaya,
serta segelintir politisi yang loyal. Namun seberapa jauh ia mampu
bertahan ? ...
***********
0 0 0 0 0 **********
Surat
Soekarno kepada Dewi
Soekarno
prihatin sekali dengan situasi pasca G 30 S, ketika terjadi saling
bunuh diantara sesama bangsa Indonesia. Soekarno
memandang, pembantaian terhadap orang-orang komunis yang dilakukan
di seluruh negeri, merupakan sesuatu yang "merusak hasil kerjanya
selama duapuluh tahun".
Kita
memang harus melihat sikap Soekarno sebagai sikap seorang negarawan,
founding father, yang berobsesi membangun Indonesia yang plural --
bahkan pluralitas ideologi yang digambarkannya dalam konsep (yang
kini jadi utopis), yakni NASAKOM. Keprihatinan Soekarno terhadap
aksi pembantaian orang-orang komunis, tampaknya dilandaskan pada
aspek persatuan bangsa.
Bulan
November 1965, Presiden Soekarno membentuk Factfinding Comission
(Komisi Pencari Fakta) untuk menertibkan, membersihkan dan
menyelesaikan oknum-oknum sipil yang tersangkut G 30 S. Panitia
Presidium -- juga disebut sebagai Panitia III Menteri -- ini
beranggotakan Oei Tjoe Tat dari Partindo, Brigjen. Pol. Moedjoko
(secara politis dekat dengan Waperdam III Chairul Saleh) dan H.
Aminnudin Aziz (seorang tokoh Nadhlatul Ulama). Namun akhirnya
Panitia itu gagal total. Sementara situasi politik semakin panas.
Demonstrasi terus terjadi. Universitas Res Publica (sekarang menjadi
Universitas Trisakti) didemonstrasi, ditembaki dan dibakar massa
Soekarno
tidak sanggup lagi mempertahankan kekuasaan. Perlahan tapi pasti,
dia dilolosi oleh kekuatan baru, yakni aliansi antara AD, mahasiswa,
serta masyarakat yang tidak sepaham dengan PKI maupun aliran kiri
pada umumnya.
Ratna
Sari Dewi, istri ketiga Bung Karno, bertutur bahwa beberapa hari
sebelum 30 September 1965, Presiden Soekarno memanggil Jenderal
Yani. Bung
Karno bertanya, "Saya mendapat informasi tentang Dewan Jenderal yang
mau bikin kudeta pada 05 Oktober. Apakah kau tahu?" Jenderal Yani
menjawab: "Saya tahu. Mereka sudah ada di tangan saya. Bapak enggak
usah khawatir." Bung Karno percaya Yani. Tetapi nyatanya, Jenderal
Yani menjadi salah satu korban penculikan G 30 S.
Ketangkasan
Mayjen Soeharto meredam aksi G 30 S memancing kecurigaan Dewi.
Katanya, "Sepertinya, Soeharto sudah tahu semua, seakan telah
direncanakan. Bagaimana
dia bisa memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September dan
segera bertindak. Begitu Cepat. Kalau belum tahu rencana G 30 S, ia
tak mungkin bisa melakukannya."
Bagaimana
dengan Soekarno ?, apakah dia mengetahui
gerakan tersebut ? Menurut Ratna Sari Dewi, "Bapak tidak mengerti
apa yang sesungguhnya terjadi. ... Tanggal 01 Oktober,
Bapak masih ada di Jakarta dan saya bisa mengunjungi dia di Halim.
Jadi hari itu, Bapak tidak kirim surat. Ini surat tanggal 2 yang
dikirim dari Istana Bogor. Isinya, dia baik-baik saja, sedang sibuk
menghadiri petemuan dengan para petinggi militer guna menyelesaikan
konflik militer. Bapak membantah keterlibatan PKI dan hanya menyebut
konflik dua kelompok militer."
Memang, tanggal 02 Oktober
itu Bung Karno mengirimkan surat kepada istri yang konon paling
dicintainya itu. Begitulah kebiasaan Bung Karno bila dia tidak
sempat berkunjung ke Wisma Yaso, tempat kediaman Ratna Sari Dewi.
Aktifitas Bung Karno dalam hari-hari pertama setelah G 30 S meletus,
memang tidak banyak. Mobilitasnya sangat terbatas. Pada tanggal 1
pagi di Halim, sorenya ke Istana Bogor, dan tinggal disana untuk
beberapa hari sambil memantau situasi.
Esoknya, tanggal 3
Oktober, Dewi kembali mendapat surat dari suaminya. Isinya secara
detail: surat Soekarno kepada Dewi :
...
"Dewi sayangku, saya
senang menerima dua pucuk suratmu. Saya senang kamu mendengar
perkataanku dan terima kasih kamu menaruh perhatian. Pranoto agak
lemah, tapi hanya dia di Mabes Angkatan Darat yang bisa berhubungan
dengan pihak kiri dan kanan. Saya
menunjuk dia sebagai care-taker Panglima AD untuk menangani urusan
sehari-hari AD. Komando AD tetap ada di tangan saya. Segera
sesuatunya tentang kembali, saya akan menunjuk Komandan AD
definitif. Saya tidak tahu dimana Yani atau apa yang sesungguhnya
terjadi dengannya. Segera sesuatunya aman, saya akan kembali ke
Jakarta. Saya tetap memikirkanmu.
Kamu tahu betapa cintaku kepadamu.”
1000
cium,
Soekarno
Dari
surat tertanggal 03 Oktober 1965
yang dikirim dari Istana Bogor, diketahui banyak hal penting.
Pertama, Soekarno menghendaki AD dipegang orang yang netral, tidak
condong ke kanan atau kiri. Keinginan seperti ini sangat logis,
apalagi mengingat jiwa nasionalisme Soekarno yang amat orientasi
pada persatuan. Kedua, Soekarno belum
mengetahui nasib Yani dan jenderal-jenderal lain yang diculik
Gerombolan 30 September. Apa yang tertulis dalam surat Soekarno ini,
barangkali agak kontradiktif dengan dugaan Ulf Sundhaussen bahwa
pada tanggal 03 Oktober, Soekarno sudah mengutus salah seorang
perwira Cakrabirawa untuk mengambil jenasah para jenderal.
Sebuah surat tertanggal
05 Oktober dikirimkan lagi kepada Dewi. Isinya
antara lain:
“Sayangku, Dewi. Hari
ini pemakamaan enam jenderal dan satu ajudan jenderal. ...
Soebandrio dan Leimena tidak mengikutiku menghadiri upacara
pemakaman karena alasan keamanan. Mereka mengatakan tak ada seorang
pun yang yakin apa yang terjadi pada suasana upacara yang emosional
begitu. Sayangku, perasaanmu benar: ...... adalah seorang
mata-mata. Namanya tertulis didalam daftar orang-orang yang kita
curigai. Saya memanggil enam jenderal yang lain untuk berbicara
dengan mereka setelah upacara pemakaman itu: Moersid, Sutardio,
Ashari, Dirgo dan Adjie dari Bandung. Mereka adalah
jenderal-jenderal yang berpengaruh di Angkatan Darat. Untuk
jenderal-jenderal yang terbunuh, kita tunggu hasil investigasi
rahasia kita: apakah mereka benar-benar akan melakukan kudeta
terhadap saya atau tidak ? Informasi bertentangan satu sama lain.
Benar, mereka semua 'communistophobie'. Tentang Mr. P., saya akan menceritakan kepadamu nanti. Saya
tidak dibawah pengaruh seorang pun. Jangan khawatir tentang itu.
Begitu kondisi mereda, saya akan pindah ke Jakarta. Saya sangat
rindu kamu, istriku. Oh, cintaku, aku cinta kamu. "
Oh, 1000
cium,
Soekarno
************************
Ada yang janggal dari
surat ini. Yakni pernyataan Bung Karno sendiri bahwa dia menghadiri
acara pemakaman para jenderal yang terbunuh. Menurut banyak sumber,
Bung Karno tidak hadir dalam acara tersebut. Sejumlah analis
memperkirakan, ketidakhadiran Presiden dalam acara pemakaman para
jenderal Pahlawan Revolusi (yang memungkinkan pidato Nasution
menjadi headline yang abadi) bernuansa politis. Tindakan
itu mencerminkan pandangannya, bahwa G 30 S adalah persoalan intern
tentara, khususnya AD.
Pernyataan lain dari isi
surat Bung Karno kepada Dewi adalah soal Mister P. Siapakah dia ?
Betulkan dia mata-mata ? agaknya, hanya Bung Karno dan Dewi sendiri
yang tahu tentang hal ini.
Tanggal 08 Oktober,
kembali Soekarno berkirim surat. Isinya
antara lain:
"Dewi
sayangku, jangan salah sangka terhadap saya. Saya tersenyum pada
Sidang Kabinet untuk menunjukkan kepada dunia bahwa saya aman dan
bisa menguasai keadaan. (Kamu tahu pers Nekolim mengatakan saya
jatuh atau hampir jatuh). Juga untuk memberi rakyat keyakinan dan
kekuatan. Tahukah kamu bahwa saya menyatakan jenderal-jenderal yang
terbunuh itu Pahlawan Revolusi dan saya menaikkan pangkatnya
setingkat lebih tinggi ? Tahukah kamu bahwa
saya memutuskan untuk memakamkan Irma Suryani (anak perempuan
Nasution) di Taman Pahlawan ? Hanya
lantaran keluarga Nasution memutuskan pemakaman putrinya di
Kebayoran. Saya tidak tahu tentang Nyonya Martono. Mengapa kamu
begitu marah padaku ? Itu membuatku sedih
dan terpisah. Tenanglah, sayang. Saya segera ke Jakarta
kembali. Saya akan berbicara denganmu. Tenanglah, Dewi. Jangan
membuat aku terpisah. Aku cinta kamu."
1000
cium,
Soekarno
**************************
Seandainya
surat-surat Soekarno itu sungguh-sungguh otentik, bisa saja semua
itu menjadi bahan kajian sejarah yang sangat penting. Dalam
surat-surat yang bersifat pribadi, biasanya tercurah banyak hal
tanpa kamuflase. Otentisitas sejarah sebetulnya bisa didapatkan dari
sana, tentu seandainya pemilik
dokumen pribadi itu tidak berkeberatan surat-surat pribadi itu diuji
otentisitasnya.
Betapa
pun pengakuan Dewi Soekarno tentang suaminya di hari-hari beraksinya
G 30 S, memberikan nuansa yang lain.
*********** 0 0 0 0 0
**********
IBRAHIM ISA dari
BIJLMER
---------------------- 25
Agustus 2005
KUSNI ANAK DAYAK -
PUTRAINDONESIA
Bukan sekedar karena ia
kukenal baik, bukansekedar, karena ia sahabat dekatku. Bukan pula
karena ia tergolong"orang yang terhalang pulang" <menurut istilah
Gus Dur>. Bukan --- bukansekadar itu saja, yang membikin aku
menulis hari ini. Penyebabnya, ialah, karena bagikunama J.J. Kusni
-< nama aslinya Kusni Sulang> - menyandang suatu pengertian
dan makna yang lebih fundamentaldan lebih aktual. Pada nama Kusni
terlukis nasib dan perjuangan seorang seniman Dayak mantan anggota
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, warganegara Indonesia yang cinta
daerah dan asal etnisnya (Dayak), seorang patriot yang mencintai dan
membela Republik Indonesiasejak masa mudanya, ketika masih berkarya
dan bergiat di Jogyakarta. Sampai dewasa ini hak-hak politiknya,
hak-hak kemanusiaannyatelah dirampas oleh rezim Orba, paspor
Indonesia dan kewarganegaraanya telah dicabut tanpa alasan sah,
tanpa proses pengadilan apapun. Bukan sekadar alasan-alasan itu
sajayang menyebabkan aku menulis kalii ini. Hal-hal
itu dengan sendirinya adalah penting, bahkan amat
penting!
Yang
menjadi penyebab langsungaku menyorotipenyair dan penulis Kusni
Sulang sekarang i ini,terus terang ---
pemicunya, ialah sebuah artikel yang ditulis di.k. berbahasa Inggris, ''Jakarta Post'',Agustus 2005.
Tulisan itu adalah tentang sahabatku, Kusni, berjudul EXILED WRITER
TRIES TO RECLAIM RIGHT TO BE INDONESIAN, ditulis oleh wartawan s.k.
tsb, Evi Mariani. Diterjemahkan dengan bebas ke dalam bahasa
Indonesia,
menjadi sbb: SEORANG PENULIS EKSIL BERUSAHA UNTUK MENGKLAIM KEMBALI
HAK MENJADI ORANG INDONESIA.
Tentu,
maksud sang wartawan ialah, bahwa Kusni secara hukum berusaha
mem-peroleh kembali hak kewarganegaraannya, yang secara
sewenang-wenang telah dirampas oleh rezim Orba, atas tuduhan
terlibat ataupun berindikasi terlibat dengan G30S. Atau karena
ketika itu Kusni adalah seorang anggota LEKRA, suatu organisasi
kebudayaan Indonesia yang beraliran progresif, pendukung politik
Presiden Sukarno dan Pancasila.LEKRA dikenal sebagai sebuah
organisasi kebuda-yaan Indonesia yang paling masal keanggotaannya
dan yang kegiatannya merakyat, yang melakukan kegiatan untuk
melaksanakan prinsip KEBUDAYAAN DARI, DAN UNTUK RAKYAT. Yang jelas
perampasan hak kewarganegaraan Kusni itu dilakukan oleh rezim Orba
di luar hukum, bertentangan dengan hak warganegara
Indonesia sesuai
dengan UUD-
RI. Sebagaimana halnya rezim
Orba telah mencabut ratusan paspor dan kewarganegaraan orang-orang
Indonesia yang pada tahun 1965 sedang studi atas tugas negara,
melakukan kegiatan persahabatan antara Indonesia dengan negeri lain,
ataupun sedang berkunjung ke luar negeri untuk urusan negara maupun
pribadi.
Tanpa
adanya tulisan wartawan Jakarta Post Evi Mariani sekalipun,
masyarakat budaya Indonesia cukup kenal siapa J.J.
Kusni, atau nama J.J. Budhisaswati <'pen-name-nya' sebagai
penulis dan penyair> .Tiga buah bukunya telah terbit di
Indonesia, a.l. kumpulan
syair berjudul "Sansana Anak Naga dan Tahun-tahun Pembunuhan" . Kusni sering menulis, menulis dan banyak
sekali menghasilkan tulisan bermutu tentang masalah-masalah budaya
Indonesia,
Perancis (memper-kenalkan budaya Perancis kepada pembaca-pembaca
Indonesia), tetapi
terutama yang menyangkut budaya suku Dayak. Kusni juga menulis
mengenai pembelaan HAM, menggugat pelanggaran besar Orba terhadap
Hak-Hak Azasi Manusia; mengenai pembantaian lebih sejuta warganegara
Indonesia yang tak
bersalah pada tahun-tahun 1965-66-67. Dan mengenai puluhan juta
warganegara Indonesia lainnya, terutama keluarga
eks-tapol dan yang dituduh atau dianggap berada diluar hukum
Indonesia,dan oleh rezim Orba ditempatkan di luar
masyarakat dengan diberi cap tidak''bersih lingkungan''. Kurang
lebih 20 juta warganegara Indonesia, tanpa proses
pengadilan apapun, sampai dewasa ini masih terus didiskriminasi. Hak
mereka dicabut untuk menjadi guru, pegawai negeri, tentara dan
polisi, tidak boleh jadi lurah, bahkan jadi dalangpun dilarang. KTP
mereka sebagai penduduk sah Indonesia, itupun sampai
sekarang masih didiskriminasi. Seorang warganegara
Indonesia bila sudah
mencapai 70 tahun, berhak memperleh kartu penduduk seumur hidup.
Tapi puluhan juta warganegara yang patuh hukum,banyak diantara
mereka dulu aktif ambil bagian dalam perjuangan anti kolonialisme
dan dalam kegiatan membela Republik Indonesia,dewasa ini karena
menyandang stempel keluarga eks-tapol,maka menderita diskriminasi
selama rezim Orba sampai saat tulisan ini
dibuat.
Memang
Kusni pertama-tama adalah anak Dayak. Sekaligus adalah putra
Indonesia Diantara 'orang-orang yang terhalang pulang', Kusni
termasuk yang langka sehubungan dengan prestasi yang dicapainya di
bidang ilmu, di bidang studi. Hasil itu diperolehnya biarpun hidup
dalam keadaan sulit, harus melakukan kerja badan seringkali lebih
dari 8 jam sehari, apakah itu sebagai sopir truk, sebagai pelayan
toko ataupun ikut membangun Restoran Indonesia <yang diprakarsai
oleh Umar Said - Paris>. Sebagai hasil ketekunan studinya ia
berhasil memperoleh gelar Ph.D pada suatu universitas di Paris.
Desertasinya yang disokong oleh mendiang Profesor Wertheim dari
Belanda, adalah mengenai masalah TURBA, t u r u n k e b a w a h,
suatu kegiatan riset di Indonesia pada zaman pemerintahan Presiden
Sukarno dulu, dimana Kusni turut ambil
bagian..
Seperti
halnya Kusni, juga sahabatku lainnya bernama TM Siregar tergolong
"orang yang terhalang pulang". Sambil'' kelayaban'' di luar negeri,
karena paspornya dicabut KBRI rezim Orba, dan sudah mencapai tingkat
''manula" (ketika itu 70th), namun masih menyempatkan diri untuk
melanjutkan studinya dan memperoleh gelar Ph.D. (doktor) di
Universitas Wageningen beberapa tahun yang lalu. Karya ilmiahnya,
desertasinya berkenaan dengan Perubahan di Pedesaan Tiongkok dewasa
ini.-- China's Economic Reform -- From Rural Focus to International
Market --.T.M. Siregar sudah kembali ke Indonesia, tetapi masih
menyandang paspor w.n. Belanda. Ia harus menempuh prosedur lika-liku
untuk memperoleh kembali hak kewarga-negaraannya. Suatu bukti lagi,
di Indonesia, keadilan itu bukan hadiah penguasa, tetapi hanya bisa
diperoleh melalui perjuangan. Padahal, ketika menjabat Presiden RI. Abdurrahman Wahid, telah
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1, Tahun 2000, untuk
merehabilitasi hak-hak kewarganegaraan ''orang-orang yang
terhalang'' pulang.Presiden Wahid menugaskan Menhamkam Yusril Ihza
Mahendra ketika itu, pergi ke Den Haag bertemu dengan para
warganegara "yang terhalang pulang" itu, dan selanjutnya mengurus
rehabilitasi mereka itu. Celakanya, Yusril bukan saja tidak
melaksanakan tugas negara itu, tetapi bahkan melempar Isntruksi
Presiden No 1/2000 itu ke ''laci meja tulis'' kantornya untuk
selanjutnya ''memeti-eskannya".
Di
Eropah dewasa ini masih ada ratusan orang Indonesia yang ''terhalang
pulang'' , yang nasibnya sama seperti Kusni, Umar Said, T.M.
Siregar. Ada yang sudah meninggal di luarnegeri, seperti almarhum
penyair Agam Wispi, almarhum pelukis Basuk Resobowo, dan almarhum
dokor pedagogik Waluyo,yang hak-hak kewarga-negaraan dan politiknya
sebagai orang Indonesia telah dengan sewenang-wenang dicabut oleh
rezim Orba. Sebagaimana halnya duapuluh juta manusia Indonesia yang
menderita diskriminasi sosial, politik dan ekonomi, oleh rezim Orba
dan ''orang-orang Indonesia yang terhalang pulang", semua mereka itu
berhak memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya. Karena, ---
itu adalah hak mereka yang dijamin oleh UUD-RI. Maka, bila penguasa
terus melakukan diskriminasi tsb, tidak sungguh-sungguh berusaha
untuk menangani serta mengkoreksi politik Orba yang salah itu,
berarti pemerintah terus membiarkan pelanggaran terhadap UUD RI dan
HAM, terhadap sejumlah besar warganegara
sendiri.
Adalah
kewajiban pemerintah sekarang ini yang menyatakan akan melaksanakan
HAM dan memberlaku-kan Reformasi, untuk merehabilitasi mereka.
Apalagi bila dikaitkan dengan janji pemerintah untuk mereali-sasi
usaha mencari kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi nasional, maka
bukankah janggal sekali bila pemerintah yang begitu santer bicara
tentang rekonsiliasi masih saja menyumbat telinga dan menutup mata
terhadap keadaan lebih duapuluh juta warganegara Indonesia, yang
disebabkan oleh fitnahan dan tuduhan rekayasa keterlibatan dengan
G30S, sampai dewasa ini masih menderita lahir dan
bathin.
Mengangkat
kasus J.J. Kusni dalam usahanya untuk memperoleh kembali hak
kewarganegaraan Indonesanya, bagiku -- sekaligus mengangkat nasib
dua puluh juta warganegara Indonesia yang sampai saat ini masih
didiskriminasi di Indonesia, sebagai akibat pelanggaran HAM yang
oleh Orba sejak berdirinya rezim tsb. * * *
***********
0 0 0 0 0 **********
Sementara
DPR sedang sibuk mempertimbangkan pemberian amnesti, abolisi dan
rehabilitasi bagi anggota GAM; baik pemerintah RI maupun kalangan
GAM, ternyata melupakan orang-orang Aceh lain. Itulah orang-orang
Aceh yang dicap anggota PKI dan semua onderbouwnya, pendek kata
orang Aceh yang beraliran kiri. Jangankan pengampunan atau pemulihan
nama baik, orang-orang Aceh kiri ini, seperti halnya orang-orang
kiri Indonesia lainnya, tidak
pernah memperoleh perhatian. Salah satunya adalah Tom Iljas yang
sekarang menetap di Swedia. Berikut ini penuturan Tom Iljas kepada
Radio Nederland.
Pedih
Tom
Iljas [TI]: "Pedih memang. Pedih. Kalau saya bilang waktu itu
istilahnya iri hati ya karena mereka itu jelas-jelas angkat senjata,
berontak, hendak memisahkan diri dari Indonesia. Sekarang
dengan tercapainya
TI:
"Betul. Itu tidak hanya Aceh. Setiap pemberontakan yang terjadi,
sejak adanya republik, apakah itu DI TII, apakah itu Permesta PRRI,
apakah itu di Papua, atau di Poso, di mana-mana di Maluku. Semuanya
sesudah diselesaikan, sebagian juga ditindas secara militer, tapi
sesudah selesai kan tidak berkelanjutan
diskriminasinya. Sesudah selesai kemudian ada masalah rekonsiliasi,
apakah kekeluargaan kan disele-saikan dengan
baik-baik."
"Saya
ambil contoh ya, Ahmad Hussein yang waktu itu pentolan pemberontakan
di Sumatra Barat, PRRI. Di Jakarta, mereka hidup sendiri, hidup
senang. Tidak pernah dibawa ke pengadilan. Jadi pedagang kaya,
diberi fasilitas oleh pemerintah."
RN:
"Sementara, pihak GAM yang mengangkat senjata pada ujung akhirnya
juga begitu. Artinya memperoleh hak-hak sipil-lah
singkatnya."
TI:
"Sepenuhnya, malah GAM dikasih modal, dikasih tanah, dan
sebagainya."
RN:
"Jadi kalau menurut Anda, mengapa ini ada suatu perbedaan
seolah-olah ada khusus buat yang PKI atau yang dianggap bekas PKI
atau nasionalis kiri ini?"
Berontak
dulu
TI:
"Saya tidak tahu kenapa. Saya pernah bercanda
sama beberapa diplomat dari KBRI di Stockholm ya. Apa ya kira-kira,
apa barangkali kita ini tidak punya kekuataan untuk dibikin
bargaining ya. Tidak punya organisasi, tidak punya senjata kayak GAM
sehingga tidak ada yang menggubris. Itu kepala bagian politik di
KBRI sini bilang pada saya, "Pak Tom berontak dulu saja supaya bisa
digubris." Bergurau tapi."
RN: "Tapi ini
bergurau-gurau yang sangat sinis ini."
TI: "Sangat sinis,
memang."
RN: "Jadi seolah-olah
angkat senjata dulu dong biar bisa kembali hak
sipilnya."
TI: "Ya, artinya ndak
punya apa-apa, ndak punya organisasi, ndak punya kekuatan untuk
dibikin bargaining, orang ndak ada yang menggubris. Kecuali Gus Dur,
tidak ada yang menggubris sejak zaman Habibie sampai
sekarang."
RN: "Ya, Anda
menyebut Gus Dur. Maksudnya ketika itu Menteri Kehakiman Yusril Ihza
Mahendra pergi ke Belanda?"
TI: "Ya, betul.
Satu-satunya yang mengangkat isu ini cuma Gus Dur walaupun oleh
Yusril tidak ditindaklanjuti setelah dia pulang dari Belanda,
kan?"
RN: "Tapi ketika itu,
Anda berharap banyak?"
TI: "O ya, tentu saja.
Tidak hanya saya yang berharap banyak waktu itu. Banyak sekali.
Semua pada gembira kan."
RN: "Anda siap pulang
ketika itu?"
TI: "Kenapa
tidak?"
RN: "Tapi poinnya di
mana, sekedar untuk pulang atau hak-hak
sipil?"
Minta maaf
dulu
TI: "Kalau sekarang ya,
kalau bicara soal itu kalau dilihat dari kenyataannya memang para
eks mahasiswa atau yang terdampar di luar negeri, sekarang sudah
banyak yang tua dan sakit. Soal-soal begini tentu juga diperhatikan
efek ekonomisnya. Mungkin malah menjadi beban saja di Indonesia.
Tapi kuncinya bukan di situ."
"Masalahnya itu,
kami-kami ini kan orang yang tidak bersalah. Pemerintah belum pernah
menyatakan minta maaf apalagi merehabilitasi atau kompensasi. Minta
maaf saja tidak. Jadi intinya dulu yang disele-saikan. Kalau itu
sudah selesai, masalah dalam praktek mungkin juga ada yang tidak
bisa pulang karena kesehatan tapi itu soal
lain."
RN: "Jadi maksud
Anda, kalau soal pribadi ada yang tua ada yang muda, atau ada yang
sakit ada yang sehat, ini soal masing-masing. Artinya
soal pulang soal masing-masing. Tapi yang lebih prinsipil soal
maaf?"
TI:
"Betul. Masalahnya di-clearkan. Kalau memang kami ini salah, seperti
saya, mbok di bawa ke pengadilan. Saya bersedia. Tidak tahu
salahnya, tidak pernah dihukum, ndak pernah diadili, tapi 40 tahun
hak-haknya dirampas."
RN:
"Tapi ini kalau menyangkut GAM kan tidak ada soal maaf memaafkan.
Artinya keduanya menandatangani suatu perjanjian. Keduanya berjanji
secara bermartabat. Masalahnya, kalau GAM memperoleh hak sipil.
Seharusnya Anda kan menuntut hak sipil bukan soal
maaf?"
TI:
"Soalnya dua. Antara GAM dengan RI memang maaf-memaafkan tidak ada,
karena mereka memang mengangkat senjata. Jadi sekarang ada
perjanjian kedua belah pihak yang bermartabat. Kalau saya itu, itu
bukan orang yang mengangkat senjata tapi ndak tahu salahnya,
dihukum."
"Kan yang menghukum yang
harus meminta maaf, begitu. Bahwa
saya menuntut apa tidak, itu soal saya. Selama ini juga kita
menuntut melalui beberapa organisasi di Jakarta,tapi
kan ndak ada yang
menggubris."
Demikian
Tom Iljas, salah seorang Aceh kiri yang kini menetap di
Swedia.
******************
Kolom
IBRAHIM ISA 14 Agustus
2005. ------------------------------------------------------------------------------- SAMA-SAMA
"EKSIL" - TAPI DIDISKRIMINASI - *
* * Wawancara Tom Iljas dengan RCTI:
Dari
sahabat baik saya Tom Iljas (Stockholm, Sweden), baru saya terima transkrip
wawancara sahabat saya itu dengan wartawan RCTV (Rajawali Citra
Televisi Indonesia), yang
berlangsung pada pagi hari, tanggal 11 Agustus, 2005. Pandangan yang
diajukan oleh Tom Iljas, adalah unik. Suatu pandangan salah seorang
yang menurut istilah Gus Dur adalah "orang yang terhalang pulang".
"Orang yang terhalang pulang" jumlahnya meliputi ratusan orang.
Mereka itu adalah produk kesewenang-wenangan politik Orba yang tanpa
proses apapun telah mencabut paspor dan kewarganegaraan mereka atas
tuduhan terlibat atau berindikasi terlibat dengan G30S. Sesudah
Presiden Suharto digulingkan (Mei 1998) oleh Gerakan Reformasi,
berdiri pemerintah Presiden Abdurrahman sebagai hasil pemilu yang
jurdil. Selanjutnya Presiden RI telah mengeluarkan Instruksi
Presiden No.1 Tahun 2000, dan khusus mengirimkan Menkum-dang Yusril
Ihza Mahenra ke Belanda, untuk mengurus kepulangan mereka-mereka
yang "terhalang pulang" itu.
Tetapi Menteri Yusril
punya politik lain. Beliau tidak melaksanakan Instruksi Presiden
yang dibanggakannya dan dijanjikannya akan dilaksanakannya ketika
beliau mengadakan pertemuan dengan para "orang yang terhalang
pulang" di Belanda. Kongkritnya, di KBRI Den Haag, pada Januari
2000. Instruksi Presiden itu "dipeti-eskan" oleh Menkumdang Yusril
sampai saat ini. Yusril jangankan menjamah, bicara-pun tidak lagi
mengenai masalah kepulangan ini. Tidak ada kesimpulan lain tentang
menteri ini: Munafik!
Tindakan sewenang-wenang
Menkumdang Yusril memang punya latar belakang politik pemerintah
yang mendiskiminasikan "orang-orang yang terhalang" pulang yang
selama puluhan tahun diperlakukan sewenang-wenang tanpa melalui
proses hukum apapun. Padahal mereka-mereka itu sebagian terbesar di
kirim bertugas ke luarnegeri untuk studi demi nantinya mengabdi pada
pembangunan Republik Indonesia. Mereka ke luarngeri atas tugas
pemerintah Presiden Sukarno. Tuduhan terlibat dengan G30S yang
dialamatkan kepada mereka-mereka itu, dilakukan penguasa Orba tanpa
bukti apapun, semata-mata fitnah dan rekayasa. Politik peme-rintah
terhadap mereka-mereka ini samasekali berbeda --- dengan politik
yang dijalankan pemerintah terhadap orang-orang "eksil" seperti
orang-orang GAM (dulu terhadap orang-orang PRRI-Permesta). Mereka
itu (GAM dan dulu PRRI-permesta) jelas-jelas telah melakukan
pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah Republik Indonesia.
GAM
jelas berniat hendak mendirikan negara sendiri, yang bisa membawa
akibat tercabik-cabiknya Republik Indonesia.
Tapi
pemerintah melakukan perundingan dan mencapai persetujuan dengan
GAM
Wawancara
Tom Iljas, adalah jeritan keadilan yang timbul dari hati nurani dan
di-alamatkan kepada pemerintah Indonesia!
Sudah
waktunya pemerintah Indonesia mengkoreksi
pelanggaran HAM yang dilakukan Orba terhadap warganegaranya sendiri
yang tak bersalah, yang ketika itu sedang mengemban tugas negara.
Sudah waktunya pemerintah mengambil langkah nyata untuk
merehabilitasi 'orang-orang yang terhalang pulang'. Lebih-lebih lagi
merehabilitasi -hak politik dan kewarga-negaraan sekitar dua puluh
juta warganegara tak bersalah Indonesia, dikenal
sebagai "korban peristiwa 65". Pada saat-saat ketika seluruh bangsa
akan memperingati Ultah Ke-60 Republik Indonesia, "para korban
65 ' itu masih mengalami tuduhan, diksrimi-nasi dan stigmatisasi -
atas tuduhan sewenang-wenang, terlibat atau berindikasi terlibat
dengan G30S.
Pemerintah
Indonesia, bila sungguh-sungguh hendak menegakkan negara hukum
Indonesia, bila benar-benar hendak memberlakukan HAM, maka harus
mengambil langkah nyata merehabilitasi para 'korban 65' dan semua
'orang-orang yang ter-halang pulang', seperti Tom Iljas, yang
hak-hak kewarganegaraan dan politiknya telah dirampas
sewenang-wenang oleh rezim Orba..
Mari
ikuti wawancara Tom Iljas di bawah ini:
Interview
Tom Iljas dng RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), Sdri. Devi
Trianna.
==============================================
Pandangan
saya, sebagai orang Indonesia yang telah lama
tinggal di Swedia, terhadap GAM dan orang-orangnya yang bermukim di
Swedia
Sebelum
menjawab yang diajukan, Tom Iljas menguraikan singkat latarbelakang
dirinya.
Tom
adalah salah seorang dari sekelompok orang-orang Indonesia yang terhalang
pulang karena dikaitkan dengan peristiwa 30S. awal tahun 60-an Tom Iljas tugas belajar dari
PTIP. ketika selesai studinua, peristiwa
30S. Passport Iljas ditahan oleh bagian imigrasi KBRI. Sampai
sekarang surat ketrangan bahwa paspornya
masih tersimpan .
Sebelum
peralihan kekuasaan tahun 65/66, salah satu kriteria yang tidak
tertulis dalam memilih pemuda-pemuda untuk belajar keluar negeri
ketika itu yalah kecinta-an kepada bangsa
dan Tanahair Indonesia (patriotisme).
Sebagai contoh: kasus Tom Iljas sendiri, yang mendapat tugas belajar
keluar negeri atas surat rekomendasi Bupati Pesisir
Selatan dan Gubernur Sumatera Barat kepada PTIP. Dalam surat
rekomendasi itu diingatkan Tom Iljas melawan pemberontakan PRRI.
Salinan dari surat rekomendasi tsb sampai
sekarang masih ia simpan
Selanjutnya
di jelaskannya bahwa kebanyakan dari para pemuda yang dikirim
belajar keluarnegeri ketika itu adalah seperti itu. Atau orang
tuanya, pamannya, anggota famili lainnya, ikut mendirikan/membela
Republik Indonesia, atau ia sendiri pernah ikut aktiv dalam membela
Republik Indonesia, umpamanya aktiv dalam demonstrasi-demonstrasi
perjuangan pembebasan Irian Barat. Kebanyakan mereka
dikirim belajar kenegeri-negeri blok sosialis karena biayanya sangat
murah. Setelah peristiwa 30S pemuda-pemuda dengan semangat cinta
tanahair yang berkobar-kobar ini tidak bisa pulang dan tidak bisa
mengabdikan ilmu yang dituntutnya di
Indonesia.
Selesai menngisahkan
sedikir latar belakang tentang dirinya, Tom Iljas kemudian menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh wartawan RCTV,
sbb:
Saya dan GAM --
Sama-sama "eksil" -- Tetapi Pendirian Bertolak
Belakang:
"Secara lahiriah memang
ada kesamaan antara saya (dan orang-orang seperti saya) dengan
orang-orang GAM, yaitu sama-sama eksil Indonesia di Swedia. Tetapi,
dari latarbelakang yang saya uraikan tadi mudah dipahami bahwa saya
dan GAM secara politik diametral berseberangan. Saya termasuk
orang-orang yang membela keutuhan Republik Indonesia sedangkan GAM
justru angkat senjata untuk memisah-kan diri dari
RI.
Namun, meskipun
bertentangan secara diametral, tetapi sesuai dengan hukum yang
berlaku din Swedia, kami tidak saling mengganggu, Tidak pernah
terjadi bentrok apapun, tetapi juga tidak saling berhubungan. Karena
bermukim dinegeri kecil, sudah barang tentu kadang-kadang bertemu
dipasar, ditoko, dsb. Kadang-kadang
bertegur sapa tetapi pembicaraan tidak menyentuh urusan politik
masing-masing.
Sehubungan
dengan keberadaan -orang Indonesia di Swedia, satu hal yang tidak
dimengerti oleh pemerintah Indonesia yalah bahwa hukum dinegeri
ini tidak seperti di Indonesia. Pemerintah
bolak-balik mengirim Ali Alatas kemari mendesak pemerintah Swedia
untuk menindak GAM. Ini tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah
Swedia, karena dinegeri ini orang tidak bisa dihukum atas dasar
pandangan politik atau ideologi. Setiap orang dijamin secara hukum
untuk berpendapat dan berserikat. Selama seseorang tidak melakukan
tindakan kriminal ia tak bisa dihukum. Di Indonesia seseorang
bisa dihukum karena pandangan politik atau ideologi yang berbeda
dengan penguasa.
Apakah GAM mendapat
perlakuan istimewa dari pemerintah Swedia, apakah organisasinya
diakui pemerintah, dsb., bisa dijawab singakt: saya tidak. Mereka,
orang-orang GAM, menghidupi keluarganya seperti penduduk lainnya,
kebanyakan malah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang orang setempat
enggan melakukannya seperti cleaning service. Yang tidak bekerja
karena berbagai sebab mendapat tunjangan sosial, persis seperti
orang-orang lainnya. Mengenai organisasinya diakui atau tidak,
selama AD/ART organisasinya tidak bertentangan dengan undang-undang
Swedia tidak ada alasan bagi pemerintah Swedia untuk
melarangnya.
MENYAMBUT PERDAMAIAN DI
ACEH
Tanggapan saya atas
perundingan perdamaian: Atas pertanyaan yang diajukan oleh wartawan
RCTV, dijelaskan sbb: saya menyambut tercapainya perdamaian di Aceh.
Dengan demikian penderitaan rakyat Aceh yang berkepanjangan itu bisa
diakhiri, dan rakyat Aceh bisa hidup dalam kedamaian, bebas dari
rasa takut dan bisa membangun Aceh untuk hari depan yang lebih
baik.
Tetapi
saya menyambutnya dengan rasa agak iri hati. Coba diurut saja, PRRI/
Permesta memberontak, DI/TII memberontak, Kahar Muzakar di Sulawesi
mem-berontak, RMS di Maluku, di Papua, GAM di Aceh, dan entah dimana
lagi. Semuanya diselesaikan dengan rekonsiliasi, amnesti,
kekeluargaan dan entah apa lagi namanya. Ahmad Husein pentolan
pemberontakan PRRI 1958 setelah PRRI dihancurkan ia hidup mewah di
Jakarta segala fasilitas dari pemerintah, tak pernah dibawa
kepengadilan dan tak menerima sangsi hukum
apapun.
Bandingkan
dengan saya dan orang-orang seperti saya, yang sejak Desember 1959
sampai terjadinya peristiwa 65 tidak pernah menginjakkan kaki di
Indonesia. Tidak tahu salahnya, dituduh terlibat peristiwa 30
September dan hak-hak kewarga-negaraan dicabut tanpa proses
pengadilan apapun, dan sampai hari ini pemerintah tidak menggubris
samasekali, menutup mata, kuping dan hati nuraninya. Bahkan seorang diplomat
KBRI Stockholm sendiri secara bergurau pernah bilang pada saya, "Pak
Tom harus berontak dulu baru digubris". Saya kemukakan pada wartawan
tsb. bahwa "Ini kan sangat tidak adil, sangat tidak
manusiawi".
Kameramen yang
mendampingi dan mendengarkan wawancara tsb menyela dan mengusulkan
kepada penginterview agar temanya dibikin dua, satu soal GAM dan
satu lagi soal orang-orang terhalang pulang, dijadikan tema
tersendiri. Usul itu saya sokong, sekaligus saya tambahkan bahwa
sebenarnya dengan sikap permusuhan yang ditunjukkan
pemerintah-pemerintah sejak orde baru, yang rugi bukan saja para
eksil itu tetapi juga Indonesia secara
keseluruhan.
Bahwa sebenarnya para
eks mahasiswa dan ilmuwan yang terdampar diluarnegeri itu cukup
potensial, contohnya ada seorang ahli ilmu pendidikan yang mempunyai
prestasi internasional, yang baru saja meninggal, Dr Sophian Walujo.
Sebuah copy artikel "Mengenang Dr Sophian Walujo" dengan
lampiran-lampirannya (yang sudah saya siapkan) saya serahkan pada
penginterview untuk dibaca bila ada waktu. Maksudnya untuk menggugah
perhatiannya untuk mengadakan liputan tersendiri ttg orang-orang
terhalang pulang.
Demikianlah pokok-pokok
isi wawancara tsb
(Tom Iljas, Sweden,
13/8-22005)
*********** 0 0 0 0 0
**********
KORBAN PELANGGARAN HAM
1965-66: MENGGUGAT!!!
(Menyongsong HUT 102
Lahirnya Bung Karno)
Oleh:
M.D.Kartaprawira*)
Dewasa ini telah banyak
penelitian mengenai peristiwa Gerakan 30 September (G30S), yang
mengakibatkan jungkirbaliknya sejarah Indonesia. Di jaman rezim Orde
Baru penguasa dengan mesin propagandanya terus menjejalkan kepada
masyarakat bahwa gerakan tersebut didalangi oleh PKI dan bahkan
berdasarkan TAP MPRS XXXIII/1967 Bung Karno dituduh terlibat
G30S/PKI . Sesudah jenderal Soeharto tersisih dari kekuasaan, dan
mulai berjalan era reformasi terbukalah kebebasan berpikir dan
mengeluarkan pendapat. Akibatnya terkuak beberapa versi lainnya
mengenai G30S, a.l. bahwa G30S tersebut didalangi oleh Soeharto
sendiri yang ingin memusnakan saingan-saingannya dalam ABRI dan PKI
sebagai pendukung Soekarno, demi meluangkan jalan untuk merebut
kekuasaan. Juga ada versi terlibatnya CIA dalam G30S dan dinas
intelijen Inggris, yang terus mengincar Soekarno sebagai tokoh
gerakan Asia Afrika yang membahayakan kepentingan imperialis di
kedua benua tersebut. Demikianlah
kita kenal versi G30S/PKI, G30S/ Soeharto, G30S/CIA
dll.
Lepas
versi mana yang benar mengenai G30S, siapapun tidak bisa mengingkari
bahwa pembunuhan (yang diperkirakan sekitar 1 sampai 3 juta orang),
penahanan tanpa proses hukum (puluhan ribu orang) secara massal,
pencabutan paspor orang-orang yang didakwa tersangkut G30S di luar
negeri, dan lain-lainnya adalah pelanggaran HAM berat yang harus
dituntaskan masalahnya.[1][1] Apalagi akibat pelanggaran HAM
tersebut diderita juga oleh anak-cucu si korban yang
didis-kriminasikan dalam kehidupaan bermasyarakat dan bernegara
sampai dewasa ini dalam berbagai masalah.
Pembelaan
terhadap korban pelanggaran HAM harus mendapat perhatian besar,
sebab hak-hak tersebut adalah alami sejak manusia lahir di dunia
(bahkan dari spektrum yuridis bayi yang masih dalam kandungan pun
sudah memiliki hak-hak tertentu). Pembelaan terhadap korban
pelanggaran HAM harus lepas dari batasan-batasan agama, etnik, suku
golongan dan status kepartaian. Hal ini berarti: tidak pandang siapa
yang menjadi korban pelanggaran, penguasa/penyelenggara negara
berkewajiban menegakkan keadilan bagi korban yang bersangkutan. Di
sisi baliknya berarti: tidak pandang siapa yang melakukan
pelanggaran HAM, mereka harus ditindak sebagai penjahat/pelanggar
HAM dan mendapat konsekwensi setimpal. Bahkan eksistensi TAP MPRS
No.XXV/1966 yang direkayasa rejim Soeharto dan yang bertentangan
dengan nilai-nilai demokrasi, pun tidak bisa dijadikan dasar untuk
melegitimasi kejahatan kemanusiaan tersebut dan melakukan praktek
impunity. Maka TAP tersebut yang selalu dijadikan landasan untuk
tindakan melanggar HAM harus dicabut.
Tapi
kenyataan yang terjadi di Indonesia kita lihat
kejanggalan-kejanggalan dalam pembelaan dan penegakan HAM: penuh
diskriminasi. Seperti kita ketahui di Indonesia terdapat banyak
pelanggaran HAM, antara lain Tragedi Kemanusiaan 1965, Peristiwa
Malari, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari Lampung,
Peristiwa 27 Juli, penculikan aktivis pro-demokrasi, Tragedi Mei
1998, penembakan mahasiswa Trisakti, dll. Tapi mengapa Tragedi
Kemanusiaan 1965-66, yang merupakan kejahatan kemanusiaan BERAT di
Indonesia dan di dunia kurang mendapat perhatian dari para peduli
HAM di Indonesia dan penguasa? Kemung-kinan besar hal ini disebabkan
oleh anggapan bahwa para korbannya adalah orang-orang komunis/PKI
atau pendukung-pendukungnya.
Berhubung
dengan itu, maka setidak-tidaknya ada dua hal yang perlu
diperjelas;
Pertama,
penegakan keadilan terhadap korban pelanggaran HAM harus tidak
ter-gantung kepada apakah mereka itu orang komunis atau nasionalis,
PKI atau PNI, Islam atau non-Islam, Jawa atau bukan-Jawa, pribumi
atau keturunan asing dll, dsb. Tapi praktek di Indonesia membuktikan
adanya diskriminasi dalam law enforcement, yang seharusnya tidak
boleh terjadi di dalam negara yang konstitusinya mencantum-kan RI
sebagai negara hukum.
Kedua,
adanya suatu asumsi salah bahwa korban pelanggaran HAM 1965-66
adalah hanya orang-orang PKI, ormas-ormasnya dan para simpatisannya
saja. Pada hal tidak demikian kenyataannya, sebab termasuk sebagai
korban 1965 juga orang-orang nasionalis-demokrat-patriot para
pendukung Bung Karno [2][2] (PNI, Partindo,
Baperki) yang banyak juga jumlahnya. Tapi rezim militaris orba yang
berencana merebut kekuasaan dari presiden Soekarno memilih strategi
pengikisan kaum komunis dan ideologinya di bumi Indonesia sebagai tahap
pertama untuk masuk ke tahap kedua – mengikis kaum
nasionalis-demokrat pendukung setia Bung Karno dan merebut kekuasaan
dari presiden Soekarno.
Bahkan
Bung Karno sendiri setelah dikudeta oleh jenderal Soeharto dijadikan
tapol (tahanan politik) dengan isolasi yang ketat dari dunia luar.
Tidak ada orang yang mengetahui apa yang terjadi dengan Bung Karno
yang dalam keadaan sakit kronis di dalam tahanan tersebut. Tapi yang
jelas Bung Karno meninggal di dalam tahanan tersebut. Agaknya memang
sudah diskenariokan demikan itu oleh rejim Soeharto. Mengenai hal itu
masing-masing dari kita bisa membuat kesimpulan sendiri-sendiri.
Tapi yang jelas lawan-lawan politik Bung Karno (yakni Rejim Orde
Baru, CIA, KAMI/KAPPI dsb.) merasa lega dan
puas.
Pentapolan Bung Karno,
menyusul pencopotannya dari jabatan presiden, yang berakhir dengan
kematiannya dalam tahanan adalah suatu matarantai skenario komplotan
jenderal Soeharto dkk. (pendiri rejim Orde Baru) dengan CIA untuk
melikwidasi Soekarno, yang merupakan musuh bebuyutan bagi kaum
imperialis dan kolonialis di benua
Asia-Afrika.
Untuk mensukseskan
strategi tahap pertama tersebut, maka semua mesin perang dan
propaganda ditujukan terhadap penghancuran PKI dan
pendukung-pendukung-nya. Hal itu dapat dimengerti: Pertama,
penghancuran PKI dan pelarangan ideologi komunisme di Indonesia
adalah sesuai dengan strategi Amerika dalam era perang dingin
melawan negara-negara blok komunis, di mana jendral Soeharto dan
jenderal-jenderal kanan lainnya mendapat bantuan dan dukungannya;
Kedua, dengan memfokuskan propaganda dan penghancuran PKI yang
dituduh mendalangi atau tersangkut G30S, rezim Orba berusaha untuk
tidak menimbulkan resistensi dari massa kaum nasionalis-demokrat
dari pendukung-pendukung setia Bung Karno. Dengan demikian sukseslah
strategi tahap pertama untuk membuka jalan ke strategi tahap kedua –
penghancuran kekuatan Soekarno.
Jadi tidaklah salah
mereka yang berpendapat bahwa penghancuran PKI hanyalah sasaran
antara, sedang sasaran pokok adalah Bung Karno. Sebab Bung Karno
pada era Perang Dingin yang juga merupakan era Kebangunan
Rakyat-Rakyat Asia-Afrika melawan kolonialisme, peranannya sangat
membahayakan kepentingan kaum imperialis dan kolonialis. Bung Karno
bukan saja sebagai Bapak Pemersatu Bangsa Indonesia, tetapi juga
tokoh dunia Pemersatu Bangsa-bangsa Asia-Afrika (di samping Ahmed
Sekuture, Mudibo Keita, Gamal Abdel Naser, Julius Nereire, Ali
Butho, dll). dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme.
Pada kurun waktu pasca Konferensi Bandung 1955 rakyat Asia-Afrika
yang masih berada di bawah penindasan kaum kolonialis-imperialis
mengangkat senjata melawan penindasnya. Dan satu demi satu muncullah
negara-negara muda berdaulat: Guinea, Guinea-Bissau, Mozambik,
Angola, Mali, Kongo Kinshasa, Kongo Brazza-ville, Tanzania, dll.
Dengan demikian jelas bahwa Bung Karno juga pejuang pembela hak
asasi rakyat Asia-Afrika yang dirampas oleh kaum
kolonialis-imperialis puluhan-ratusan tahun
lamanya.
Karena peranan Bung
Karno yang demikian itulah kaum imperialis (CIA) dengan jalan apa
saja berusaha melikwidasi Soekarno. Karena PKI adalah pendukung
Soekarno yang paling utama dan merupakan musuh ideologis kaum
imperialisme (CIA), maka merekalah yang pertama-tama harus
dihancurkan. Akibat kehancuran PKI perimbangan kekuataan politik di
Indonesia berubah tajam, sehingga Soekarno dapat dijatuhkan dari
kekuasaan pemerintahan. Dia
ditahan tanpa proses hukum dan mendapat perlakuan yang tidak
manusiawi, sampai akhir hayatnya. Demikianlah Bung Karno
sebagai tapol rezim Orde Baru Soeharto dan korban pelanggaran HAM
1965-66. Jadi penyelesaian masalah pelanggaran HAM 1965-66 bukanlah
semata-mata masalah orang PKI, tapi masalah
nasional.
Pada tanggal 28 Maret
2003 telah tiba di Negeri Belanda delegasi Pembela Korban
Pelanggaran HAM 1965-66 (terdiri dari dr. Ribka Ciptaning, Ir.
Setiadi Reksoprodjo dan mantan Letkol Heru Atmodjo) yang bertujuan
mengikuti Sidang Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa. Perjuangan
pembelaan korban pelanggaran HAM 1965-66 sudah berlangsung cukup
lama, terutama oleh Komite Tapol/Napol di bawah pimpinan Gustaf Dupe
SH, yang kemudian disusul timbulnya Pakorba (Paguyuban Korban Orde
Baru) di bawah pimpinan Simon Tiranda, YPKP dibawah pimpinan Ibu
Sulami. Sedang LSM-LSM di bidang kemanusiaan tidak tampak gregetnya
dalam kegiatannya yang berkaitan dengan pelanggaran HAM 1965-66,
sehingga menimbulkan pertanyaan dan kesan yang negatif. Mengapa
mereka hanya meramaikan masalah pelanggaran HAM di Timtim, Aceh,
Papua, Tanjung Priok, Trisakti dll., sedang
mengenai masalah pelanggaran HAM 1965-66 tampak adem ayem saja? Maka
dari itu tidak dapat dipersalahkan kalau timbul pertanyaan sinis
dari masyarakat: apakah hal tersebut ada hubungannya dengan masalah
donasi luar negeri? Apakah ada pesanan-pesanan tertentu dari
donator?
Memang baru-baru ini
KOMNASHAM telah mempunyai sub-komisi yang menangani masalah
pelanggaran HAM 1965. Meskipun demikian hal itu masih belum bisa
meyakinkan bahwa pintu pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM
1965-66 sudah terbuka lebar. Masih memerlukan bukti yang tentu tidak
akan tampak segera. Bahkan bagi sementara orang terbentuknya
Sub-komisi HAM 1965 tersebut dianggap kewajaran akibat gencarnya
kritik yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (Komite
Tapol/Napol, Pakorba, YPKP) dan para peduli HAM lainnya melalui
tulisan-tulisan di media internet khususnya (misalnya dari Nederland
dan Perancis). Makanya cepat atau lambat masalah tersebut mesti
mencuat dan perlu ditangani penyelesaiannya., tidak tergantung ada
atau tidak usaha-usaha dari sementara LSM yang mau memikirkan
penyelesaian pelanggaran HAM 1965. Demikianlah munculnya Sub-Komisi
masalah HAM 1965 dalam KOMNASHAM merupakan suatu proses alami
perkembangan dalam masyarakat yang sudah tidak mungkin lagi bisa
menyembunyikan secara abadi pelanggaran HAM 1965-66 di dalam negara
yang konstitusinya menyatakan sebagai negara hukum. Bagaimana-pun
juga terbentuknya Sub-Komisi Masalah HAM 1965 dalam KOMNAS-HAM harus
disambut dengan baik.
Dewasa ini dalam
kaitannya dengan penyelesaian masalah korban pelanggaran HAM 1965-66
(dan pelanggaran HAM lainnya) muncul bermacam-macam panda-ngan
tentang perlunya Rekonsiliasi Nasional antara para korban dan pelaku
pelang-garan HAM. Di bawah ini adalah 3 dari bermacam-macam skema
mekanisme rekon-siliasi nasional:
1. Rekonsiliasi harus mengungkap
kebenaran dan keadilan, untuk itu harus terlebih dulu mereka yang
tersangkut dalam pelanggaran HAM harus diadili di
pengadilan.
Kemudian kepada yang
bersangkutan diberi grasi, sedang kepada para korban diberi
rehabilitasi dan kompensasi atas hak-haknya yang
terlanggar.
2. Rekonsiliasi harus mengungkap
kebenaran dan keadilan, yang dilaksanakan oleh suatu komisi
rekonsiliasi. Komisi itulah yang akan bertindak sebagai pengadilan.
Antara pihak-pihak yang berlawanan kemudian saling maaf-memaafkan
dan kepada para korban diberi rehabilitasi dan konpensasi, sedang
kepada pihak lainnya diberi grasi.
3. Rekonsiliasi harus mengungkap
kebenaran dan keadilan, tapi untuk itu pertama -tama Pemerintah
harus terlebih dulu merehabilitasi semua para korban yang tidak
terbukti bersalah atau tidak pernah diadili secara hukum. Mereka
kemudian diberi konpensasi sesuai dengan kemampuan Negara saat ini.
Baru kemudian para pelanggar HAM diadili secara hukum (oleh
pengadilan biasa atau penga-dilan komisi rekonsiliasi) untuk
mengungkap kebenaran dan keadilan. Rekon-siliasi Nasional menjadi
tuntas setelah mereka yang dinyatakan bersalah men-dapatkan
grasi.
Tiga macam skema
mekanisme rekonsiliasi tersebut mungkin bisa menjadi bahan pemikiran
untuk memecahkan masalah rekonsiliasi yang sangat rumit di
Indonesia. Dari skema-skema tersebut di atas tampak adanya tiga
unsur penting dalam rekonsiliasi: pengungkapan kebenaran dan
keadilan; pemberian rehabilitasi dan kompensasi kepada satu pihak;
dan pemberian grasi kepada pihak lain. Kalau salah satu unsur tidak
ada, rekonsiliasi bisa tidak akan terjadi.
Kiranya perlu
digarisbawahi, bahwa dalam masalah rekonsiliasi nasional yang
menyangkut pelanggaran HAM 1965-66 pemberian rehabilitasi dan
kompensasi terlebih dulu oleh pemerintah kepada para korban yang tak
pernah terbukti kesalahannya berdasarkan hukum, adalah sangat
penting sekali, bahkan secara moral dan yuridis dapat
dipertanggungjawabkan. Seyogyanya pemerintah memper-hatikan hal
tersebut secara serius.
Pengalaman Rekonsiliasi
di Afrika Selatan menampakkan dengan jelas keberadaan ketiga unsur
tersebut. Sehingga praktis dalam rekonsiliasi di sana berlaku
impunity – bebas dari hukuman bagi mereka yang bersalah. Hal inilah
yang agaknya bagi sebagian masyarakat kita sangat berat untuk
diterima. Tapi apakah kita ingin selamanya menjadi tawanan
sejarah?
Menurut hemat penulis
setidak-tidaknya ada tiga syarat pokok untuk terbukanya pintu
rekonsiliasi nasional:
Pertama,
harus dicabut TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang pencopotan kekuasaan
Soekarno sebagai presiden. Sebab akibat dari pelaksanaan TAP
tersebut Bung Karno beserta banyak pendukung-pendukungnya ditahan
tanpa proses hukum. TAP tersebut tidak saja merupakan legitimasi
kudeta Soeharto, tapi juga merupakan pelanggaran
HAM.
Kedua,
harus dicabut TAP MPRS No.XXV/1966 tentang pelarangan Partai Komunis
Indonesia dan
ormas-ormasnya beserta ajaran marxisme-leninisme di Indonesia.
Sebab
pelarangan sesuatu ideologi adalah merupakan pelanggaran HAM
seseorang dan bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Ketiga, semua
peraturan-peraturan hukum diskriminatif terhadap para korban
pelanggaran HAM 1965-66 harus dihapus secara tuntas dan konsekwen.
Tanpa pecabutan peraturan-peraturan tersebut sama saja melanjutkan
kesempatan tindakan pelanggaran HAM seperti telah terjadi di masa
lalu.
Sangat menggembirakan
bahwa delegasi Korban Pelanggaran HAM 1965-66 telah sukses dalam
melaksanakan misinya di Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa. Tapi
bagaimanapun juga kesuksesan tersebut baru merupakan keberhasilan
awal yang perlu ditindak lanjuti dalam skala makronya yang penuh
tantangan. Sebab kita melihat dan menyadari bahwa berdasarkan
fakta-fakta dan kondisi yang ada di Indonesia dewasa ini masalah
pelanggaran HAM 1965 ini masih terus menghadapi tantangan serius
dari pihak oponen. Setidak-tidaknya fakta-fakta berikut ini akan
memperkuat kesadaran dan memberikan gambaran yang lebih jelas bahwa
dalam peta politik di Indonesia kekuatan Orba masih kuat di
mana-mana (di Legislasi, Birokrasi, Yudikasi dan
Ormas-ormas):
- Masih dipertahankannya
sekuat tenaga TAP MPRS XXV/1966 oleh mereka, sebab dengan TAP inilah
mereka akan melakukan sepakterjang politiknya, termasuk mengenai
masalah korban pelanggaran HAM 1965-66.
- Diterimanya Pasal 90/g
RUU Pemilu di DPR belum lama ini, di mana hanya anggota-anggota
fraksi PDIP yang menentangnya, berarti suatu legitimasi atas
diskriminasi hak warganegara mantan tapol/napol untuk dipilih
sebagai anggota DPR (di pusat maupun daerah).
- Dalam masalah
rekonsiliasi Wapres Hamzah Haz dengan tegas menyatakan bahwa “Tidak
setuju memaafkan PKI, sebab menyangkut masalah ideologi” (Sinar
Harapan 20/3/2003). Sesungguhnya logika akan bertanya: apakah si
korban yang harus meminta maaf, apalagi tidak terbukti
kesalahannya?
Jadi dari fakta-fakta
tersebut, meskipun ada langkah sukses delegasi Korban Pelanggaran
HAM 1965-66 di Jenewa, dan meskipun dalam Komnas HAM juga telah
terbentuk Komisi yang menangani masalah HAM 1965, perjuangan untuk
penyele-saian pelanggaran HAM 1965-66 belum jelas perspektifnya.
Dengan demikian, kita masih memerlukan perjuangan yang berat dan
panjang. Apalagi satu kenyataan bahwa di samping kekuatan Orde Baru
masih kuat di mana-mana, kekuatan nasionalis-demokrat dan kekuatan
kiri lainnya masih terus cakar-cakaran dan berantam satu sama lain.
Ironis? Jelas ironis, tapi itulah kenyataannya. Tentu kekuatan Orba
senyum-tertawa dengan puasnya. Semoga kekuatan anti Orde Baru
menyadari perlunya persatuan perjuangan dan melakukan politik
perjuangan yang tepat seperti diajarkan Bung
Karno.
Nederland, 20 Mei
2003
*) Sekretaris Korwil PDI
Perjuangan Nederland,
anggota
Indonesia Legal Reform Working Group (Nederland).
[1] Kesimpulan tersebut
telah diambil dalam Sarasehan di Leuven, Belgia (2000) dan di Zeist,
Nederland (2001). Dalam Sarasehan di Leuven tampil sebagai
nara-sumber: Sitor Situmorang, Mr. Paul Moedikdo, Hersri Setiawan,
Dr. Coen Holtzappel, Nany Nurrachman Sutojo. Sedang dalam Sarasehan
di Zeist tampil sebagai narasumber: Hasan Raid, Dr.Coen Holtzappel,
Mr. Paul Moedikdo dan Murtini.
[2] Selain Bung Karno,
juga banyak menteri-menteri kabinetnya yang ditahan bertahun-tahun
oleh rezim Suharto: Ir.Setiadi Reksoprodjo (Menteri Listrik dan
Ketenagaan), Drs. Soemadjo (Menteri Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan), Oei Tju Tat SH (Menteri Negara dpb. Presidium),
Astrawinata SH (Menteri Kehakiman), Armunanto (Menteri
Pertambangan), Soedibjo (Menteri Negara Front Nasional), Mayjen TNI
Dr. Soemarno Sastroatmodjo (Menteri Dalam Negeri/Gubernur Jakarta
Raya), Soetomo Martopradoto (Menteri Perburuhan), Mayjen TNI Achmadi
(Menteri Penerangan), Yusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank
Sentral), J.Tumakaka (Menteri Sekjen Front Nasional), Letkol Imam
Sjafei (Menteri dpb. Presiden Urusan Keamanan), Dr. Soebandrio
(Waperdam I), Chaerul Saleh (Waperdam III), Ir. Soerachman (Menteri
Irigasi dan Pembangunan Masyarakat Desa), Drs. M. Achadi (Menteri
Transmigrasi dan Koperasi, Sitor Situmorang (tokoh sastrawan), Simon
Tiranda (tokoh pemuda Marhaenis), dll.
*********** 0 0 0 0 0
**********
http://www.progind.net/modules/wfsection/
G30S, Terlibatkah
Soeharto?
Tulisan oleh
James Luhulima ini, dimuat di Kompas, pada tanggal 27 Oktober, 2004,
Kompas, 27 Oktober
2004
- SETIAP
kali memasuki bulan September dan Oktober, ingatan selalu menerawang
jauh ke belakang, tepatnya ke peristiwa Gerakan 30 September (G30S)
tahun 1965 yang sampai kini masih tetap menyimpan
misteri.
Ada pepatah yang
menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan menguasai
dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang
terjadi pada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto sewaktu Peristiwa G30S
terjadi.
Ia adalah satu-satunya
perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965
dini hari itu. Data yang telah dipublikasikan selama ini
menyebut-kan, pada tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto telah
diberi informasi oleh Kolonel Infanteri Abdul Latief, Komandan
Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya, bahwa akan dilakukan
penjemputan paksa terhadap para jenderal pimpinan teras Angkatan
Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, untuk
dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Agak aneh, mengapa
Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari Latief
kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia
terlibat atau ia hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil
keuntungan dari gerakan yang dilakukan orang
lain.
Dalam pledoinya, Latief
mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada tanggal 30
September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dua hari
menjelang tanggal 1 Oktober 1965 (tanggal 29 September 1965-Red), ia
juga menghadiri acara kekeluargaan di kediaman Soeharto di Jalan
Haji Agus Salim. Pada
pertemuan pertama, Latief memberi tahu adanya isu Dewan
Jenderal akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden
Soekarno. Menanggapi pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia
sudah mengetahui hal itu dari seorang bekas anak buahnya dari
Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang datang sehari sebelumnya (28
September 1965-Red).
Oei Tjoe Tat, salah
seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno (Kabinet
Dwikora), dalam Memoir Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno,
yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, menyebutkan, ia bertemu dengan
Subagiyo di dalam tahanan, dan Subagiyo mengatakan, ia telah memberi
tahu Soeharto mengenai akan adanya peristiwa penting pada tanggal 30
September 1965 itu. Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief
menyebutkan ia dan rekan-rekannya akan menjemput paksa para jenderal
pimpinan teras Angkatan Darat untuk dihadapkan kepada Presiden
Soekarno.
Adanya pertemuan antara
Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto menjelang
peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal
Idris, yang sebagai Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966
memimpin pasukan tanpa identitas yang ditempatkan di sekitar Monumen
Nasional.
Ditemui wartawan ketika
melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH Nasution, 6
September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak Nas
makin sulit pula upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S
yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang. "Apa
yang kita kecewa adalah (karena) Soeharto dua kali didatangi oleh
Kolonel Abdul Latief dan dia (Soeharto) menerima laporan bahwa akan
terjadi sesuatu pada tanggal 30 Septem-ber 1965. Saya sangat kecewa
sekali kepada Soeharto yang tidak mengambil tinda-kan apa pun untuk
pengamanan (hingga timbul kesan) saat itu, seolah-olah biarlah ada
orang mati supaya dia berkuasa," ujar Kemal
Idris.
Ternyata setelah
Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21
Mei 1998, muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan
Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya Kapten Soekarbi (kini, Mayor
Purnawirawan). Dalam wawancaranya dengan tabloit berita Detak, yang
dimuat dalam edisi 29 September-5 Oktober 1998, Soekarbi mengatakan,
dalam Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21
September 1965, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Soeharto,
isinya perintah agar Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya disiapkan
dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan
"perlengkapan tempur garis pertama".
Pertanyaan
yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530 disiapkan
dengan "perlengka-pan tempur garis pertama"? Apalagi kemudian yang
terjadi adalah sebagian dari anggota pasukan Batalyon 530 terlibat
dalam peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah serupa
diberikan pula kepada Batalyon 454/Para/Diponegoro, yang sebagian
anggota pasukannya juga terlibat dalam peris-tiwa
G30S.
Dengan
adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu
mengenai akan adanya peristiwa G30S, paling tidak sejak tanggal 21
September 1965, atau sembilan hari sebelumnya. Sebab, dengan
memberikan pasukan Batalyon 530 itu "perlengkapan tempur garis
pertama", Soeharto telah memfasilitasi anggota pasukan tersebut
untuk melakukan "gerakannya".
Belum
lagi hampir semua pelaku inti G30S memiliki hubungan yang dekat
dengan Soeharto, mulai Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Untung,
Kolonel Abdul Latief, sampai Sjam Karuzzaman. Itu sebab-nya, pada
saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu perkembangan, dan
pada saat yang tepat, dengan cepat mengam-bil langkah-langkah yang
diperlukan, di saat orang-orang lain, termasuk panglima dan perwira
tinggi angkatan lainnya, masih bertanya-tanya apa yang sesungguhnya
terjadi.
Karena
mengetahui siapa saja yang telah dijemput paksa dan siapa saja yang
melakukannya, maka saat itu pada prinsipnya Soeharto dapat melakukan
apa saja yang dikehendakinya, termasuk dengan mudah membasmi
pelaku-pelaku G30S dan mencari kambing hitam untuk dituduh sebagai
penanggung jawab atas peristiwa G30S.
Sebagai
orang yang memiliki seluruh informasi, Soeharto secara leluasa
member-lakukan keadaan darurat. Kemudian menelepon Menteri/Panglima
Angkatan Laut Laksamana Madya RE Martadinata, Menteri/Panglima
Angkatan Kepolisian Komisa-ris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan
Deputi Operasi Angkatan Udara Komodor Leo Wattimena. Dan, kepada
mereka, Soeharto memberi tahu untuk semen-tara Angkatan Darat
dipegang olehnya, serta meminta agar mereka tidak mengadakan
pergerakan pasukan tanpa sepengetahuannya (dalam hal itu, Panglima
Kostrad).
Sebagai
kambing hitam, ia menuduh Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana
Madya Omar Dani berada di pihak yang salah, dan Pangkalan Angkatan
Udara Halim Perdanakusuma disebutkan sebagai markas pelaksana G30S.
Dengan demikian, kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Angkatan
Udara Halim dicitra-kan sebagai keberpihakan Soekarno pada
G30S.
Itu
belum semua. Dengan penguasaannya atas seluruh media massa
nasional, Soeharto berhasil menjadikan versinya atas peristiwa G30S
sebagai satu-satunya kebenaran. Dan, bagi orang-orang
yang dianggap "berseberangan" diberi label terlibat G30S, dan
dijadikan tahanan politik.
Sejumlah purnawirawan
AURI di bawah pimpinan Sri Mulyono Herlambang, lewat buku Menyibak
Kabut Halim 1965 membantah bahwa Lubang Buaya yang digunakan sebagai
Markas Kelompok G30S berada di wilayah AURI. Tempat tersebut justru
berada di wilayah Angkatan Darat.
PADA tanggal 1 Oktober
1965, pukul 06.30, Mayor Jenderal Soeharto memerintah-kan seorang
perwira Kostrad, Kapten Mudjono, untuk memanggil Komandan Batalyon
530 Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di sekitar
Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan. Karena Mayor Bambang
Soepeno tidak ada ditempat, maka Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten
Soekarbi, yang memimpin pasukan di lapangan, bertanya apakah ia bisa
mewakili. Perwira itu menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30,
perwira Kostrad itu kembali lagi, dan mengatakan, Kapten Soekarbi
diperbolehkan menggantikan Mayor Bambang Soepeno. Tidak lama
kemudian datang menghadap pula Wakil Komandan Batalyon 454 Kapten
Koencoro.
Pasukan yang ditempatkan
di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan adalah anggota
dua batalyon yang diundang Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto
ke Jakarta untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI pada tanggal 5
Oktober 1965. Sebab itu, Soeharto dengan mudah memanggil pemimpin
kedua batalyon itu, dan memerintahkan agar menarik kembali pasukan
mereka ke Markas Kostrad.
Soekarbi membantah
pernyataan yang menyebutkan bahwa Kostrad tidak tahu kehadiran
pasukannya di sekitar Istana dan Monumen Nasional, mengingat anak
buahnya bolak-balik ke Markas Kostrad untuk menggunakan kamar kecil
(toilet).
Berbeda dengan Soeharto,
yang pada pukul 06.30 , sudah mengetahui identitas pasukan yang
berada di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan, Presiden
Soekarno dan regu pengawalnya sama sekali masih tidak tahu-menahu
mengenai apa yang terjadi.
Pada tanggal 30
September 1965, malam, Presiden Soekarno tidak tidur di Istana
Merdeka. Menjelang tengah malam, Soekarno meninggalkan Istana
Merdeka menuju ke kediaman istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Wisma
Yaso, Jalan Gatot Subroto (kini, Museum Satria Mandala). Dalam
perjalanan ke sana, Soekarno singgah di Hotel Indonesia untuk
menjemput Ny Dewi, yang tengah menghadiri resepsi yang diada-kan
Kedutaan Besar Irak di Bali Room.
Keesokan harinya,
tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Presiden Soekarno keluar rumah,
memasuki mobil kepresidenan, dan bergegas ke Istana Merdeka. Pagi
itu, Soekarno dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr
Leimena dan Menteri/ Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad
Yani.
Di dalam mobil, Suparto,
staf ajudan yang mengemudikan mobil itu, memberi tahu informasi yang
diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Komisaris Polisi Mangil
Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada penemba-kan di rumah
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan
Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II
Dr Leimena, yang letaknya bersebelahan.
Presiden Soekarno
langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan mobil yang baru
bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil dan
meminta penjelasan tentang penembakan
tersebut.
Kemudian Soekarno
bertanya, "Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini dulu atau
langsung kembali ke Istana?" Mangil menjawab, "Sebaiknya Bapak
tinggal di sini dulu, karena saya masih harus menunggu laporan dari
Inspektur I Jatiman (Kepala Bagian II DKP) yang tadi saya
perintahkan untuk mengecek kebenaran berita tersebut." Mendengar
jawaban itu, Soekarno menghardik Mangil dengan nada keras,
"Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum
diketahui dengan jelas…"Soekarno dan regu pengawalnya kemudian
meninggalkan Wisma Yaso menuju Istana Merdeka. Rencananya mereka
akan melalui Jembatan Semang-gi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH
Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, dan Jalan Merdeka
Utara.
Sewaktu rombongan
Presiden Soekarno melintas di atas Jembatan Dukuh Atas, menjelang
Bundaran Hotel Indonesia, Jatiman menghubungi Mangil dan membenarkan
ada tembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan Dr Leimena. Ia juga
menginformasikan tentang adanya pasukan Angkatan Darat "yang terasa
sangat mencurigakan" di sekitar Istana dan kawasan Monumen Nasional.
Mendengar informasi itu Mangil memutuskan untuk menjauhkan Soekarno
dari pasukan tersebut. Pada saat yang sama, Wakil Komandan Resimen
Tjakrabirawa Kolonel (CPM) Maulwi Saelan menghubungi Mangil lewat
handy-talkie dan memerintahkan untuk membawa Soekarno ke rumah
istrinya yang lain, Ny Harjati, di kawasan Slipi, di sebelah lokasi
Hotel Orchid (sekarang). Rombongan kemudian membelok ke kiri,
memasuki Jalan Budi Kemuliaan, Tanah Abang Timur, Jalan Jati
Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny
Harjati.
Saelan menunggu Soekarno
di rumah Ny Harjati. Begitu tiba, pukul 07.00, Soekarno segera masuk
ke dalam rumah, diikuti Saelan. Soekarno segera memerintahkan Saelan
mengontak semua panglima angkatan. Namun, sejak malam hingga pagi
itu, jaringan telepon lumpuh sehingga Saelan meminta Suparto untuk
menghubungi secara langsung.
Saelan kemudian
mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari tempat
yang aman bagi Soekarno. Berbagai gagasan pun bermunculan, tetapi
setelah Suparto kembali pada pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia
berhasil mengadakan kontak dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara
Laksamana Madya Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim, maka
diputuskan untuk membawa Soekarno ke sana.
Soekarno
menyetujui hal itu karena itu sesuai dengan Standard Operating
Procedure (SOP) Tjakrabirawa. Bahwa jika dalam perjalanan pengamanan
Presiden terjadi sesuatu hal yang mengancam keamanan dan keselamatan
Presiden, maka secepatnya Presiden dibawa ke Markas Angkatan
Bersenjata terdekat. Alternatif lain adalah
menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma karena di
sana
ada pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar. Atau, pelabuhan Angkatan
Laut, tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh. Atau, bisa juga
ke Istana Bogor karena di sana diparkir helikopter kepresidenan
Sikorsky S-61V.
Sekitar pukul 09.30,
rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan Udara Halim.
Presiden disambut Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena, yang karena
ketidaktahuannya atas apa yang terjadi, dapat ditarik ke kubu
Soeharto siang harinya. Sementara itu, sekitar pukul 06.00, Brigadir
Jenderal Soepardjo, pimpinan G30S, berangkat ke Istana untuk
melaporkan peristiwa G30S kepada Presiden Soekarno. Karena Soekarno
tidak berada di Istana, Soepardjo sempat menunggu selama dua jam di
sana. Setelah mendapatkan informasi bahwa Soekarno berada di Halim,
maka ia segera menyusul ke Halim. Pukul 10.00, ia bertemu dengan
Soekarno dan melaporkan mengenai gerakannya. Namun, Soekarno menolak
untuk mendukung gerakan itu, dan meminta ia menghentikan gerakannya
untuk menghindari pertumpahan darah.
Namun, penguasaan atas
pasukan dan media massa saat itu membuat Soeharto bisa melakukan
tindakan apa saja yang dikehendakinya melalui kaki tangannya.
Bahkan, Soekarno, lewat kesaksian Brigjen Sugandhi, Kepala Pusat
Penerangan Hankam, dan ajudan Presiden Soekarno sendiri, Kolonel
Marinir Bambang Widjanarko, dikatakan bertanggung jawab atas
G30S.
Uniknya, Bambang
Widjanarko yang memberikan kesaksian bahwa Soekarno terlibat dalam
peristiwa G30S, tetap ditugaskan mendampingi Soekarno sampai
jabatannya sebagai Presiden Indonesia resmi dicabut oleh
MPRS.
Kesaksian Sugandhi
dibantah oleh Oei Tjoe Tat, yang juga hadir dalam jam minum kopi
pagi (koffie uurtje) pada tanggal 30 September 1965. Cerita Sugandhi
tentang apa yang terjadi pagi itu, menurut Oei Tjoe Tat,
mengada-ada. Seperti Sugandhi, kesaksian Bambang Widjanarko pun
dibantah oleh Kolonel (CPM) Maulwi Saelan dan Ajun Inspektur Polisi
Tingkat I Sogol Djauhari Abdul Muchid, bertugas di bagian Higiene
dan Dinas Khusus Kepresidenan. Sogol disebut Bambang Widjanarko
sebagai orang yang menyerahkan surat Untung tentang penjemputan
paksa para jenderal kepada Soekarno tanggal 30 September 1965
malam.
Pertanyaan besar yang
mengganjal, adalah mengapa sama sekali tidak ada yang mempersoalkan,
mengapa Soeharto tidak melaporkan adanya gerakan untuk menjemput
paksa para jenderal Angkatan Darat kepada atasannya, Jenderal Ahmad
Yani, yang tewas dalam aksi penjemputan paksa itu? (Kutipan dari
tulisan James Luhulima, selesai)
*************** 0 0 0 0
0 0******************
SURAT RAHASIA SOEHARTO
(?)
Hadji Muhammad
Soeharto
Logo
Militer
dilingkari semacam
bunga
RAHASIA
Tanggal:
10 September 1998
Ditujukan
kepada:
Isi
berita:
Mas
Wir: berargumentasi dengan Habibi harus dihindari betul, cukup
dengan pakai memo pribadi saja dikirim via ajudan. Tentang film G 30
S PKI selain tidak diputar ada baiknya dimusnahkan saja karena ada
kejanggalan tentang saya sebagai orang kepercayaan pak Yani kok
tidak ikut dihabisi pagi itu dan Yasir Hadibroto telah pernah bicara
tentang telah dibunuhnya DN Aidit (setelah ditangkap) atas perintah
saya. Selain itu adalah soal Mas Mashuri (Mantan Mempen) tahu betul
bahwa saya tidak tidur saat mau dibangunkan pagi itu. Letkol Latief
walau sudah tua dan lumpuh di penjara masih sangat berbahaya saat
dia buka mulut (harus diperhatikan).
Tekanan
untuk menghapuskan Dwi fungsi ABRI sangat berbahaya dan lebih
berbahaya lagi kalau A.U dan A.L. merasa bahwa dwi fungsi yang
dimaksud adalah dwi fungsinya Angkatan Darat.Dwi fungsi akan berarti
jabatan Gubernur, Bupati, Walikota, DPR, BUMN-BUMN, Menteri, Dirjen,
Sekjen dan Duta Besar akan di isi oleh orang-orang sipil dan keadaan
ini akan membuat Jenderal-Jenderal AD kalap dan menggerakkan
pemberontakan di mana-mana seperti di zaman
Soekarno.
Kegagalan
panen akan berkepanjangan, Gudang KUD di daerah sudah kosong, Gudang
Bulog juga akan kosong karena beras di luar negeri sudah diborong
oleh perusahaan asing yang saham-sahamnya dikuasai anak-anak; bahaya
mati kelaparan mengancam. Rekayasa mengkoordinir penjarahan sama
saja halnya dengan rekayasa DOM Aceh, Timor Timur, Irian, Tanjung
Priok dll, lebih-lebih setelah GOLKAR jadi musuh rakyat dan SI MPR
dianggap sidang abunawas.
Satu-satunya
jalan mencegah disintegrasi adalah tindakan Tiannamen dan
undang-undang darurat diberlakukan, dan trio reformasi Amin Rais,
Mega, Sultan Hamengkubuwono bisa dipindahkan oleh Yapto ke Sukabumi
atau Balikpapan; Kalau di DPR sudah tidak ada anggota ABRI, maka
penciutan 50% anggota TNI AD pasti terjadi untuk dijadikan anggota
POLRI serta disemua kabupaten dan kecamatan anggotanya TNI akan
dikosongkan dan diganti dengan POLRI.
Kepalangtanggung
basah, lebih baik pecah daripada
retak.
Selamat melaksanakan
tugas
Menteri Pertahanan
Keamanan RI
Tanda tangan
Sdr. Soebagio/anggota
DKP Yth:
Surat ini tolong
dipelajari dan diteliti
H.M.
Soeharto
Dan
ditindak lanjuti:
Terimakasih.
Tanda
tangan
Wiranto
***************
0 0 0 0 0 0******************
|