http://www.mesias.8k.com/konspirasi.htm
Konspirasi dan
Genosida:
Kemunculan Orde Baru dan
Pembunuhan Massal1
OLEH BONNIE
TRIYANA2
Gestapu 1965:
Awal Sebuah Malapetaka
Pada hari kamis malam
tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari
berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira
tinggi Angkatan Darat. Hanya
satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup
atau mati ke hadapan Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka
yang diculik tak pernah dihadapkan kepada Soekarno. Dalam aksinya,
gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal saja. Keenam jenderal
tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen. S.
Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I Pandjaitan, Brigjen.
Sutojo Siswomihardjo dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal
Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri dengan melompat
ke rumah Duta Besar Irak yang terletak persis disebelah
kediamannya.
Di
pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi
diumumkan melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman
itu memuat pernyataan bahwa sebuah gerakan yang terdiri dari pasukan
bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari
aksi coup d´etat. Menurut mereka, coup d´ètat ini sejatinya akan
dilancarkan oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965,
bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI yang
ke-20.
Empat
hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu
diketemukan di sebuah sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai
Lubang Buaya. Di sela-sela acara penggalian korban, Soeharto
memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh aktivis
PKI didukung oleh Angkatan Udara.
Sehari setelah penemuan
jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat meng-ekspose foto-foto
jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut
mengalami siksaan di luar prikemanusiaan sebelum diakhiri
hidupnya.3 Pemakaman korban dilakukan secara
besar-besaran pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan
pidato bernada emosional, ia sendiri kehilangan seorang putrinya,
Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung tanpa dihadiri
Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam
penafsiran.4
Pemuatan foto-foto
jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberi-kan
sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di
sana-sini orang-orang tak habis-habisnya membicarakan penyiksaan
yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan
memotong kemaluannya.5
Segera setelah media
massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita
tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan
besar-besaran pada PKI. Di Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum
selesai dibangun diluluhlantakan. Beberapa orang pemimpin PKI
ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami
sasaran.
Secara de facto, sejak
tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan.
Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik,
lebih dalam lagi ia layaknya seorang kapten dalam sebuah team sepak
bola yang tak pernah menerima bola untuk
digiring.
Strategi dan taktik
Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan
mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat
gerakan perwira-perwira „maju“ ¨ itu
kocar-kacir.
Sehari setelah menerima
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan
surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran
serta pelarangan PKI dan organisasi onderbouwnya di Indonesia.
Inilah coup d´etat sesungguhnya. Bersamaan ini, dimulai drama
malapetaka kemanusiaan di Indo-nesia.
Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan Anggota
dan Simpati-san PKI di Daerah.
Di daerah-daerah,
kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan dan
pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua
anggota organisasi massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan
PKI pun tak luput mengalami hal serupa.
Pembantaian dilakukan
kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang
Islam atau lainnya.7 Di sini, tentara merupakan pendukung
utama. Masyarakat merupakan unsur korban propangadis Angkatan Darat
yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di beberapa tempat
memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan
masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantai-an massal menjadi
ajang balas dendam musuh-musuh PKI yang berkali-kali melaku-kan aksi
sepihak penyerobotan lahan-lahan milik tuan tanah di sana. Aksi
sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di
masyarakat. Pasca
Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian yang terpendam
sekian lama.8
Apa
yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di
Jombang dan Kediri. Namun kedua daerah ini
memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis menuduh
umat Islam telah mengobarkan „Jihad“ untuk membunuh orang komunis
dan mempertahankan tanah miliknya atas nama Allah, sedangkan umat
Muslim menuduh PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan
penghinaan terhadap agama Islam.9 Saling tuduh ini
merupakan manifestasi konflik kepentingan diantara dua kelompok.
Bagi PKI, tanah
merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk
menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan
kaum Muslim menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk
menyerang balik. Dua hal ini memang berujung pada kepentingan
ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua kelompok
ini berhasil membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya
pada titik temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-sama
ngotot.
Berbeda dengan di
Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih
tepat dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh
militer terhadap massa PKI. Di daerah lain yang menjadi ladang
pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di belakang
kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang
peranan aktif dalam pembunuhan massal.
Purwodadi ialah sebuah
kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang.
Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan
salah satu basis komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin,
tokoh komunis yang terlibat dalam Madiun Affairs tahun 1948, pun
tertangkap di daerah ini.
Kasus Purwodadi sempat
mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis
kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari
Harian Haagsche Courant dan E. Van Caspel10, Princen
meninjau secara langsung keabsahan berita pembunuhan massal yang
didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto yang kali
pertama menyampaikan adanya pembunu-han besar-besaran ini. Romo
Sumarto melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia
mendengarkan pengakuan dari seorang anggota Pertahanan Rakyat
(Hanra) yang turut dalam pembunuhan
massal.11
Digunakannya unsur Hanra
dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih mudah
diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat.
tak terjadinya konflik horizotal di Purwodadi menyebabkan militer
harus turun tangan langsung untuk melakukan pembunuhan massal. Di
Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai senjata bagi
kelompok-kelompok sipil. Selanjut-nya mereka hanya memberikan
dukungan-dukungan baik dalam penangkapan mau-pun dalam hal penahanan
Anggota dan Simpatisan PKI.
Pembunuhan dan
penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam
dua periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang
dilakukan tahun 1965. pada peristiwa ini ukuran penangkapan ialah
jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang memiliki indikasi
anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI.
Penangkapan periode
pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi
penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki
hubungan dengan PKI atau apapun itu sepanjang berbau komunis dapat
dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang paling efektif kendati
jumlah korban tentu sangat banyak.
Dengan cara ini penguasa
Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang terhadap
penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar
anti-komunisme.12 Dari sudut pandang manapun terlihat
jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk kekuasaan
tanpa aroma komunisme sedikitpun.
Kedua, penangkapan dan
pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode ini,
ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba
asal-asalan. Hanya karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia
faksi Ali Sastroamidjojo- Surachman militer sudah dapat
menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap
Soekarno Sentris atau dikenal sebagai
SS.13
Operasi penangkapan pada
tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik (Kodim)
0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini
diberi nama Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh
anasi-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama (SS)
ditangkap.
Tak
jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun
ini dapat dipahami sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama.
Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang berusaha untuk mengukuhkan
kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, kekuatan anti
Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya.
Pada
perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini
didesain sebagai massa mengambang atau Floating Mass. Mereka tak
dibiarkan memasuki sebuah organisasi politik tertentu selama kurun
waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),14
namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan
Karya (Golkar). Konsep massa mengambang sendiri ialah
sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo, Panglima Kodam
VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini dikembangkan oleh
pemikir dari Center for Strategic and
International Studies (CSIS), sebuah lembaga think-tanks Orde Baru
yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali Murtopo dan Soedjono
Hoemardani, dua orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan
Soeharto.15
Tak berlebihan jika
kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida.
Genocide menurut Helen Fein16 adalah suatu strategi
berupa pembunuhan, bukan semata-mata karena benci atau dendam,
terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan politik untuk
meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan
para pembunuh.
Penangkapan dan
pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban.
Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap
bahkan dibunuh. Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak
Sp.:
Saya hanya pemain
sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya
dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat
mendekam di Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di
Pati, saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya anggota
PKI17
Ini membuktikan ekses
negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan
oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di
Purwodadi ialah sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi
militer.18
Operasi militer
merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam
mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi
pemerintah pusat. Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas
gerakan perlawanan daerah terhadap pusat. Penguasa Pusat (Baca:
Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja sementara daerah
ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari
interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat
tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer memiliki arti
strategis dalam menjaga kekuasaan pusat atas kekayaan
daerahnya.
Kebijakan operasi
militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717
sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno,
Komandan Kodim dikenal sebagai orang yang keras dan
berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap
selama tahun 1968.
Seorang saksi bernama
Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun
1968. Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil
yang terletak 25 Km di Selatan Purwodadi: Saya ditempatkan di sebuah
kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang tahanan.
Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat.
Yang tersisa hanya saya dan dua teman saya ¨21 di kemudian hari ia
mendengar kabar bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot
atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi mereka
yang kaya dan memiliki hubungan khusus dengan para perwira militer,
sogok atau suap kerapkali terjadi demi menyelamatkan suami, anak
atau sanak saudaranya yang ditahan militer
Purwodadi.
Tak heran jika pada
waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari
uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah
menjadi kebiasaan jika seorang penguasa militer merupakan pelindung
yang ampuh untuk apapun. Seorang pengusaha misalnya, ia dapat bebas
berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing pada penguasa
militer setempat22. bukan isapan jempol
jika penguasa militer di daerah memiliki pengaruh
besar.
Figur kepemimpinan
militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki
pengaruh yang cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan
jika seorang Komandan Kodim (Dandim) diangkat menjadi Bupati. Ini
dilakukan atas pertimbangan kemanan dan realisasi dari Dwi Fungsi
ABRI.
Fenomena tersebut
dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan bagi
perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki
kesem-patan menapaki jenjang karir yang lebih tinggi. Para perwira
ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I atau II.
Orde Baru menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi
penempatan perwira-perwira mentok ini.23
Pada masa Orde Baru,
Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat
Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan
suasana aman dan stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca
Gestapu 1965 ialah dengan mencegah timbulnya kembali kekuatan
komunisme di Indonesia.24
Ada kesan dengan menahan
sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri. Dengan
cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan
terkendali. Pemerintah Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh
yang paling utama dalam pembangunan. Selama hampir 32 tahun, bahaya
laten komunis di-dengung-dengungkan sebagai sebuah momok yang
menakutkan. Ini
ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September Partai
Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI
yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap
tahunnya.
Kekhawatiran
yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat
begitu jelas inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak
segan-segan melemparkan stigma PKI pada organisasi-organisasi yang
berlawanan dengan kebijakannya. Kasus 27 Juli 1996 memperlihatkan
secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan ketakutan
masyarakat akan komunisme.25
Penahanan
ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 ¡V
1980-an (dalam beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba)
juga bagian dari usaha Orde Baru mencegah penularan komunisme pada
masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru, Nusa Kambangan dan penjara-penjara di
tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk melepaskannya.
Segera setelah men-dapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti
Internasional, pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan
politik dengan klasifikasi A, B dan C.26
Pemerintah
memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap
anggota dan simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana
Sudomo mengatakan bahwa pelepasan tahanan politik di saat itu
merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.27
Senada
dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di
dalam sebuah kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi
mengata-kan bahwa bila mereka dikembalikan ke masyarakat akan
menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan
berontak.28
Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa
setelah penangkapan atas dirinya, keluarganya mengalami penderitaan.
Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi istri dan
anak-anaknya.29
Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada
Bapak S. yang saat itu di dalam Kamp di
Purwodadi.
Penahanan
atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma
mendalam30
bagi mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup
yang serba kekurangan. Di Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam
kesederhanaan akibat penahanan dan pembunuhan terhadap anggota
keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI. Bahkan di
sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai “kampung janda” karena
suami-suami mereka diciduk oleh militer.
Hingga
kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang
meninggal dalam peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun
waktu tahun 1965-1968. H.J.C Princen mengatakan bahwa korban tewas
ada sekitar 850 s/d 1000 orang. Sementara itu menurut perhitungan
Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban
berkisar 6.000 jiwa.
Berapapun
jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak
terampuni. Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari
perulangan peristiwa serupa.
Litsus dan Label KTP:
Kontrol atas Mantan Tahanan Politik
Penderitaan tidak
berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari
pembuangan di pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya,
aparat militer masih saja melakukan pengawasan pada diri mereka dan
keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan Pulau Buru
menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah
pulang dari Pulau Buru pada tahun 1979.
Sepulangnya dari Pulau
Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang saya
bawa dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang
membutuhkan. Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan
memanggil saya untuk diinterogasi ¨31
Pengawasan yang extra
ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah
satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru
menetapkan untuk memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu
Tanda Penduduk (KTP) para mantan tahanan politik.
Tindakan lainnya, selama
Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan
memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk
yang satu ini pemerintah menetapkan Penelitian Khusus (Litsus)
kepada calon pegawai negeri.
Seorang
mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label
ET dalam KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah “elek
terus” (Indonesia: Jelek
Terus).
Menyitir apa yang pernah
dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun
diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama
apapun, sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya
pasti akan tumbang dengan sendirinya.*
_________________
1. Makalah ini dibuat dalam
rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for
In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober
2002.
2. Penulis adalah Koordinator
Kajian dan Diskusi pada Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass)
dan Mahasiswa Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Kini sedang
menulis skripsi tentang pembantaian massal anggota dan simpatisan
PKI di Purwodadi.
3 Bandingkan dengan
Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah
Pembantaian yang Terlupakan 1965-1966 (Jakarta: Kepustakaan Gramedia
Populer, 2000) Hal. 8
4 Meskipun mungkin karena
pertimbangan keamanan, ketidakhadiran itu tetap dianggap sebagai
skandal. Lihat
Hermawan Sulistyo dalam Ibid..hal. 8.
Mengutip dari John Hughes dalam Indonesian Upheaval (New York: David
McKay, 1967) hal. 137-138.
5
Untuk lebih
lengkap, periksa Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan
Wanita di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999)
Hal. 498.
6
Dalam pledoinya
Kolonel A. Latief menceritakan bahwa sesungguhnya Soeharto telah
mengetahui bahwa akan ada sebuah gerakan yang akan menangkap Dewan
Jenderal. Lihat Kolonel A. Latief dalam Pledoi Kolonel A.Latief
Soeharto Terlibat G.30.S (Jakarta: ISAI, 2000), hal.
129.
7
John D. Legge
dalam Sukarno Biografi Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2001) Hal. 457.
8
Untuk diskusi
lebih lanjut lihat Kata Pengantar Soegijanto Padmo pada Aminudin
Kasdi dalam Kaum Merah Menjarah (Yogyakarta: Penerbit Jendela,
2001)
9 Sedari awal semangat
agama masuk dalam konflik tanah. Kelompok NU menuduh PKI dan BTI
telah menyerang sekolah-sekolah agama dan menghina Islam, sementara
kaum Muslim dituduh telah mendorong pengikutnya untuk mengganyang
“kaum atheis“ dan mempertahankan milik mereka atas nama Allah.
Untuk
lebih lanjut lihat Hermawan Sulistyo dalam op.cit., hal. 146 mengutip dari Rex Mortimer
dalam The Indonesian Communist Party and Landreform, 1959-1965
(Clayton, Victoria: Center of Southeast Studies, Monash University,
1972), hal. 48.
10
Harian Sinar Harapan,
edisi 3 Maret 1969.
11
A Javanese Catholic
priest, Father Sumarto, had pieced together an account of the
massacre from the confession of conscience stricken Catholic members
of the Civil Defense Corp, who had been forced to take for it. Untuk
diskusi lebih lanjut periksa Brian May dalam The Indonesian Tragedy
(Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd, 1978), hal.
205
12
Memorandum Intelejen
CIA, “Indonesian Army Attitudes toward Communism” Directorate of
Intelligence, Office Current Intelligence, 22 November 1965, case
#88-119, Doc. 119, butir 1.
13
Wawancara dengan Bapak
S., seorang Sekretaris Sarekat Buruh Kereta Api (SBKA) Stasiun
Purwodadi. SBKA, menurut versi Orde Baru, adalah onderbouw PKI.
Bapak S., mengatakan bahwa penangkapan dan pembunuhan yang paling
besar justru terjadi pada tahun 1968. Tentara dapat menangkap
orang-orang hanya karena menjadi anggota PNI Ali Sastroamidjojo
& Surachman (PNI-ASU) atau motif dendam
lainnya.
14
General Widodo
mantained that party activity in the villages disrupted the hard
work and unity nescessary for development. Far better to let the
population “float”¦ without party contact in the five year period
during elections”.diskusi lebih lanjut lihat Hamis McDonald dalam
Suharto´s Indonesia (Blackburn, Victoria: Fontana Books, 1980), hal.
109.
15
Lihat Dewi Fortuna
Anwar, Policy Advisory Institutions: “Think &Tanks” ¨ dalam
Richard W. Baker (ed) et.al., Indonesia The
Challenge of Change (Pasir Panjang, Singapore: ISEAS and KITLV,
1999), hal. 237.
16
Helen Fein,
Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State
Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and In
Indonesia. 1965 to 1966,
dalam Contemporary Studies of Society and History, Vol. 35, No. 4,
October 1993, Hlm. 813. Dikutip dari Hermawan Sulistyo dalam
loc.cit..Hal. 245-246
17
Wawancara dengan Bapak
Sp.
18 Harian Sinar Harapan, Selasa
11 Maret 1969.
19 Interdependensi antara
kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional menimbulkan dua
hal. Pertama, negara dan raja harus mengontrol harta kekayaan kawula
guna menghindarkan ancaman politis dari mereka. Kedua, kawula yang
secara politik dan fisik berada di bawah harus dieksploitasi
sedemikian rupa¡Klebih lanjut periksa Onghokham dalam Rakyat dan
Negara ( Jakarta: LP3ES dan Pustaka Sinar
Harapan, 1991), hal. 103.
20 "Pak Tedjo itu
kelihatannya berambisi menjadi Bupati Grobogan. Ia
dulu sering berceramah kemana-mana tentang Pancasila. Ia memang
terkenal galak“. Wawancara dengan Bapak A
21
Wawancara dengan Bapak
Wt
22
Dalam banyak hal, sipil
tampaknya lebih tergantung pada militer baik secara politik,
kekuasaan maupun ekonomi, ketimbang sebaliknya. Untuk hal ini lihat
Indria Samego dalam TNI di Era Perubahan (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1999), hal. 34. Juga lihat Harold Crouch dalam General and
Business in Indonesia, Pacifis
Affairs, 48, 4, 1975/76.
23
Replika selama masa
Orde Baru, dengan munculnya kriteria daerah A, B dan C, secara
politik sangat menguntungkan ABRI, terutama dalam penjatahan
mengenai kepala daerah tingkat I dan II. Kriteria A merupakan daerah
yang sangat rawan secara politik, sehingga jabatan politik (Bupati
maupun Gubernur) harus dipegang oleh orang militer. kriteria B setengah rawan, dapat diisi oleh sipil
maupun militer, tapi kenyataannya banyak diisi oleh militer.
Sedangkan kriteria C adalah kriteria daerah aman, secara konsep
dapat diisi oleh sipil tetapi kenyataannya justru sering diisi pula
oleh militer. Untuk diskusi lebih
lanjut lihat M. Riefqi Muna dalam Persepsi Militer dan Sipil Tentang
Dwifungsi: Mengukur Dua Kategori Ganda. Dimuat dalam Rizal Sukma
et.al.., dalam Hubungan Sipil ¡V Militer
dan Transisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta : CSIS, 1999), hal.
50.
24 Kebangkitan komunis tidak
saja dikhawatirkan akan datang dari dalam negeri pun dari luar
negeri. Pada tahun 1971, ketika kampanye Pemilu sedang dilakukan,
beberapa orang diplomat Uni Soviet berkunjung ke Jawa Tengah.
Panglima Kodam VII/Diponegoro di Semarang hampir-hampir melarang
kunju-ngan mereka ke daerahnya. Hal tersebut ditanggapi oleh menteri
luar legeri dengan mengeluarkan larang kunjungan ke daerah-daerah
bagi diplomat negeri komunis itu. Untuk hal ini periksa Harold
Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1999), hal. 376.
25 Pada waktu itu, Kasospol
ABRI, Letjen. Syarwan Hamid melekatkan label komunis pada Partai
Rakyat Demokratik (PRD). PRD dituduh sebagai dalam di balik
kerusuhan tersebut. Hingga kini, kasus pengrusakan terhadap markas
PDI (sekarang PDI-Perjuangan) itu belum
tuntas.
26 Kategori A diberikan pada
mereka yang dianggap terlibat secara langsung pada peristiwa Gestapu
1965, kategori B berarti mereka yang dianggap memberikan dukungan
pada Gestapu 1965 dan kategori C dilabelkan pada mereka yang
mengetauhi peristiwa Gestapu secara langsung atau tidak. Pada bulan
Septem-ber 1971, Jenderal Sugiharto mengatakan pada wartawan bahwa
jumlah tahanan politik kategori A ialah 5.000 orang, untuk kategori
B menurut Pangkopkamtib sekitar 29. 470
dan kategori C menurut Jenderal Sudharmono ada sekitar 25.000 orang
tahanan. Untuk perihal ini silahkan lihat Amnesty International
dalam Indonesia an Amnesty
International Report (London: Amnesty International Publication,
1977), hal. 31-44.
27 Lihat Hamish McDonald
dalam Ibid.,
hal.219-220.
28
Harian
Indonesia Raya, Rabu 12
Maret 1969.
29
Wawancara dengan Bapak
S.
30
Untuk lebih lengkap
periksa Liem Soei Liong, It¡¦s the Military, Stupid! Dalam Freek
Colombijn dan Thomas Lindblad (ed) et.al.,
Roots of Violence In Indonesia (Leiden: KITLV,
2002), hal. 199.
31 Wawancara dengan Bapak
Rk.
*********** 0 0 0 0 0
**********
"AKU
KERNET"
Ucapanku yang
menyelamatkanku dari pembantaian di Sei
Ular.
Aku, Hadiwijaya, asal
Cepu - Jawa Tengah merantau ke Tanah Deli di tahun 1963 dan bekerja
di Perkebunan Saentis PPN Sumut I. Perkebunan ini berada di
Keca-matan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera
Utara, yang lokasinya di pinggiran Kotamadya
Medan.
Aku bekerja sebagai
buruh cangkol di perkebunan tembakau ini yang dikemudian hari
diangkat menjadi centeng. Diperkebunan ini aku bergabung dalam
Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia
(Sarbupri).
Di tahun 1965 terjadilah
apa yang dikenal sebagai G30S. Dan pada tanggal 15 Oktober 1965 aku
ditahan di Puterpra Percut Sei Tuan. Setelah 3 bulan berlalu, pada
suatu malam di bulan Ramadhan tanggal 20 Pebruari 1966, aku beserta
20 orang lainnya dan diantaranya ada seorang perempuan, dipanggil
keluar. Jam waktu itu sekitar 01.00 WIB dan kami seluruhnya
diperintahkan oleh pengawal yang ber-pakaian sipil tapi bersenjata
api laras panjang, untuk naik ke mobil prah bermerek Fargo milik
perkebunan khas pengangkut tembakau. Mobil ini baknya berdinding
tinggi dari kayu dan punya atap dari terpal. Di atas mobil, kedua
jempol tangan kami diikat kawat dan tangan berada di belakang tubuh.
Mobil kemudian melaju ke arah kota Lubuk Pakam + 25 km dari Medan.
Dalam mobil kami 21 orang dikawal oleh 2 orang berpakaian sipil
bersenjata api laras panjang. Setelah sampai di Lubuk Pakam, sopir
mobil turun dan diganti dengan sopir dengan pakaian sipil tapi punya
senjata api serta tambahan pengawal seluruhnya berpakaian sipil tapi
bersenjata sebanyak 5 orang. Kemudian mobil bergerak ke kota
Perbaungan + 18 km dari Lubuk Pakam. Setibanya di ujung jembatan Sei
Ular, mobil dihentikan dan pengawal semua turun sedang mesin mobil
tetap dihidupkan malah di gas keras-keras. Kemu-dian salah seorang
pengawal tersebut menyuruh kami turun satu persatu ber-dasarkan
nama-nama yang ada dalam daftar yang ada pada
mereka.
Aku selama dalam
perjalanan berhasil membuka ikatan kawat pada kedua jempolku, tetapi
selama berada di atas jembatan Sei Ular tidak dapat melihat keluar
karena tingginya dinding bak mobil, begitu juga aku tidak dapat
mendengar apapun karena kerasnya bunyi mesin
mobil.
Setelah turun ke 20
orang kawan-kawanku sesama tahanan, pengawal yang ber-tugas sebagai
juru panggil menghardikku "Kau siapa !?" dan secara spontan aku
menjawab "Aku kernet", "Kenapa kau tidak turun di Lubuk Pakam?", aku
menjawab "Aku tidak disuruh turun".
Akhirnya semua pengawal
naik kembali, mobilpun memutar arah kembali ke Lubuk Pakam dan
disini seluruh pengawal serta sopir yang bersenjata turun dan sopir
perkebunan naik. Mobilpun berangkat kembali ke Puterpra Percut Sei
Tuan.
Di sini akupun turun dan
masuk kembali ke tahanan, aku serta kawan-kawan taha-nan lain tidak
ada berbicara sama sekali.
Di kemudian hari aku
beserta yang lain-lainnya dipindahkan ke T.P.U.C jalan Medan -
Binjai km 7 Medan. Di bulan Desember 1970 aku dibebaskan dari
tahanan.
Medan, 30 September
2003
Dikutip
oleh
Ida Hertati Makmun
Duana
*************** 0 0 0 0
0 0******************
Kompas, Minggu 31 Juli
2005
Cerpen dengan latar
belakang tragedi 65
Menunggu
Telinga Tumbuh
INDRA TRANGGONO
Depan Gedung Komnas HAM
pagi hari. Tubuh
laki-laki itu muntah dari bus kota bersama para penumpang
lainnya. Kecemasan mengambang di bola matanya. Memasuki kompleks
gedung, laki-laki itu berjalan tersaruk-saruk membawa kertas
bertumpuk-tumpuk. Tampak dari atas, tubuhnya ditelan pilar-pilar
kokoh. Mema-suki lorong gedung, ia berjalan menuju suatu ruang.
Bajunya basah. Ada perasa-an setengah gemetar yang mencuat dari bawah
sadar. Ia menimbang-nimbang dalam bimbang, sambil menimang dokumen
lusuh itu.
Setelah
hampir 40 tahun, sejak peristiwa berdarah itu berlalu, untuk pertama
kali-nya perempuan itu mendatangi tempat itu. Ia datang bersama anak
laki-lakinya, dengan gumpalan rindu dan rasa sedih yang menekan.
Senja dirasakan-nya gemetar dengan kelelawar yang terbang
menyambar-nyambar. Para kele-lawar muncul dari lubang lebar, dalam,
dan gelap yang lebih akrab disebut luweng.
”Her, aku masih
mendengar jeritan bapakmu. Masih terngiang-ngiang. Gemanya sangat
panjang. Kamu juga dengar?” bisik perempuan itu seusai menabur bunga
di luweng itu.
”Di sinikah Bapak
hilang?” ujar Her pelan, gemetar.
”Bukan hilang. Tapi
dilenyapkan….”
Pada usianya yang hampir
75 tahun, bola mata Ibu masih tetap sama: dalam dan hitam.
Organ-organ
tubuh Ibu yang lain boleh menua, tapi tidak
matanya. Seperti puluhan tahun lalu, tatapan mata Ibu tetap terasa
menghunjam dan mencekam. Di sana kutemukan rongga yang
menyerupai lorong panjang, dalam, gelap, dan
sunyi.
Suatu
pagi, Ibu meneleponku, ”Her, kalau kamu
tidak mengajar, antar Ibu nyekar bapakmu, besok pagi.” Aku pun
dengan penuh semangat menyambutnya. Aku bisa minta izin kepada
kepala sekolah tempat aku mengajar sebagai guru
sejarah.
Ketika pagi masih
separuh tumbuh dan embun masih terpahat di daun-daun, kami berangkat
ke makam Bapak, dengan colt station sewaan. Mobil pun terus melaju,
menembus desa demi desa. Ketika mobil itu hendak menikung di sebuah
jalan, buru-buru Ibu mencegah. Ia minta mobil berjalan lurus. Aku
kaget. Tapi kutahan. Sepanjang perjalanan, kami terdiam. Kulihat
puluhan atau ratusan pohon melintas-lintas di kaca
jendela.
”Maaf Bu, bukankah makam
Bapak di desa yang tadi kita lewati?”
”Bukan.
Tapi di sana. Di Karang Bolong. Masih
jauh.”
Aku
sebenarnya ingin terus terang kepada Herjuno dan anak-anakku yang
lain: Darsono, Nastiti, dan Murti. Tapi aku takut mereka kaget.
Sesungguhnya makam yang dulu sering kami ziarahi itu bukan makam Mas
Drajat, ya bapaknya Herjuno itu. Makam itu kosong. Waktu itu,
setelah Mas Drajat dikabarkan meninggal di tahanan, aku merasa
bingung dan cemas. Cemas karena jasad Mas Drajat tidak pernah
diserahkan kepadaku. Kata petugas, ”Yang
penting Ibu tahu kalau Pak Drajat sudah meninggal. Soal jasadnya,
itu urusan negara.”
Urusan
negara? Kenapa mengubur jasad suami sendiri harus dilarang? Apa
salah Mas Drajat terhadap negara hingga dia tidak mendapatkan hak
untuk dikuburkan secara layak? Bagaimana jika saudara, teman, atau
handai tolan menanyakan soal kematiannya? Apakah aku juga akan
menjawab, ”Itu urusan negara”? Apakah
negara punya telinga? Bukankah ia hanya punya mulut dan tangan untuk
membentak dan memerintah?
Maka,
diam-diam kubangun makam tipuan agar orang-orang tahu bahwa suamiku
meninggal secara wajar dan terhormat. ”Makam” itulah yang kemudian
mem-bebaskan aku dari kepungan pertanyaan soal kematian suamiku. Aku
terbebas? Tidak juga. Hingga kini, rasa pedih terus
merajamku.
Sesungguhnya
Mas Drajat meninggal bukan di tahanan. Bukan. Menurut Swang-gani,
anggota Gerwani yang lolos dari pembantaian, suamiku meninggal
dengan cara yang sangat menyedihkan. ”Bersama tahanan lainnya,
suamimu dilempar-kan hidup-hidup ke luweng di Karang Bolong.
Dari
tempatku bersembunyi, aku mendengar jeritan mereka…,” ujarnya dengan gemetar.
Benarkah rasa kalap itu
telah melampaui batas hingga mereka dengan beringas memperlakukan
suamiku seperti batang pisang? Atau nasib suamiku sendiri yang
terlalu naas hingga ia harus tewas dengan cara yang begitu
mengenaskan? Atau hidup ini telah begitu kikir dan tidak berbelas?
Termasuk terhadap aku dan anak-anakku yang puluhan tahun dihukum
hanya karena kami dianggap punya noda sejarah. Apakah noda itu
benar-benar ada? Siapa yang membuatnya? Atau ia hanya diciptakan dan
dipelihara demi sikap patuh yang diwajibkan?
Seperti kota-kota yang
lain, ketika ”revolusi dan ideologi” dipuja bagai dewa, langit kota
kecil itu pun selalu menyala. Seperti siang itu, bendera dan
panji-panji partai berkibar-kibar, diiringi sorak-sorai. Bagai
tepung terigu ditebah angin, debu mengepul di jalanan. Aroma kemarau
bercampur bau keringat diisap ribuan orang. Mereka mengelu-elukan
pawai para pemuda yang berderap-derap. Wajah para pemuda itu tampak
mengeras, kaku seperti baja. Tangan mereka terkepal. Kata-kata
”revolusi”, ”ganyang nekolim”, ”hidup Nasakom”, dan yel-yel lain pun
berloncatan penuh tanda seru.
Waktu itu, partai-partai
saling bersaing. Ada PNI, ada Masyumi, ada NU, ada PKI, dan ada
PSI.
Dalam zaman yang gemuruh
itu, kami hidup menepi. Tinggal di kampung dalam suasana guyub
(dalam pergaulan yang tulus, kami bisa saling minta garam atau
ngutang minyak goreng). Kami menempati rumah besar, warisan mertua.
Sebuah rumah bergaya limasan, dengan pendopo seluas lapangan bulu
tangkis. Di bagian belakang, ada ruang keluarga yang dikelilingi
deretan kamar.
Di pendopo itu, Mas
Drajat menambahi kesibukannya sebagai guru SD dengan mengajar
anak-anak miskin untuk membaca dan menulis atau berhitung, secara
cuma-cuma..
Rupanya kegiatan itu
menarik perhatian Pak Tular, seorang tokoh PKI di kota kami. Dia
selalu datang mengenakan pakaian dari kantong gandum yang dijahit
kasar, khas jahitan pasar. Pernah saya dengan iseng bertanya soal
itu. Dia menjawab ringan, ”Dik Rohani ini
gimana to? Negara kita ini masih berduka dan melarat. Mosok
saya tega pakai baju berkolin atau tetoron dan celana dril….
Kan nggak sopan
to.”
Suatu
ketika, Pak Tular meminta izin untuk menggunakan pendopo kami.
Katanya untuk rapat partainya. Mas Drajat terdiam. Ia memandangku.
Aku pun terdiam.
”Bagaimana?
Boleh kan?”
Suara Pak Tular terdengar sangat berat.
Suara itu seperti punya tenaga yang menyihir kepala kami untuk
mengangguk.
”Terima kasih. Terima
kasih. Dik Drajat dan Dik Rohani ini sudah memberikan sumbangan yang
berarti bagi revolusi….” Tawa Pak Tular
berderai.
Kami hanya saling
memandang.
Ternyata pendopo kami
tidak hanya untuk rapat, tapi juga menjadi pusat kegiatan partai.
Ada latihan ketoprak. Ada latihan menari dan menyanyi. Ada
pendidikan bagi kader-kader partai. Pendopo kami selalu ramai.
Bahkan kegiatan belajar anak-anak yang selama ini ditangani Mas
Drajat telah diambil alih mereka. Mas Drajat pun tidak
keberatan.
”Hati-hati dengan Pak
Tular,” pesan bapakku ketika aku
mengunjunginya ber-sama Mas Drajat.
”Kami kan hanya
meminjamkan tempat…. Apa salahnya?” kataku. Wajah bapak-ku tampak
masam.
Beberapa bulan kemudian,
lewat RRI, kami mendengar ada pergolakan di Jakarta. Beberapa
jenderal diculik. Beberapa tokoh PKI diciduk dan ditahan. Tidak
sampai seminggu, suasana yang mencekam pun merembet ke kota kami, ke
kampung kami yang menjelma menjadi kampung hantu. Mayat Pak Tular
dan kawan-kawannya ditemukan di pinggir Kali Mambu, dengan rajaman
senjata di seluruh tubuh mereka. Setiap saat itu, bau mayat tercium
di mana-mana.
Sehabis isya, mendadak
rumah kami digedor-gedor banyak orang.
”Ganyang
Drajat!!!”
”Perkosa saja
istrinya!!!”
”Gantung PKI
itu!!!”
”Habisi keluarganya!!!
Pokoknya tumpes kelor!!!”
Dengan jiwa yang
kutegarkan, aku menemui mereka. Kukatakan bahwa Mas Drajat bukan
anggota PKI.
”Bohong! Dasar Gerwani,
kamu!!”
”Jangan ngawur kamu!”
Amarahku meledak. Aku sendiri tidak paham, kenapa mendadak aku jadi
begitu berani? Padahal sesungguhnya, aku gemetaran melihat parang,
kelewang, bambu runcing, atau lonjoran besi yang mereka
acung-acungkan. Dan ajaib, bentakanku
menundukkan wajah mereka. Pak RT mampu menyabarkan mereka. Akhirnya,
kerumunan pun bubar.
Esoknya, pada dini hari,
kudengar suara derap sepatu lars menghajar ubin pendopo. Pintu rumah
kami digedor-gedor. Keras. Sangat keras. Dengan geme-tar, aku
membuka pintu. Beberapa laki-laki berseragam memandang kami dengan
tatapan menghunjam. Tatapan mata mereka sedingin moncong
senapan.
Mas Drajat keluar dari
kamar. Dia sangat tenang. Aku memeluknya. Dia mencoba memberikan
penjelasan, ”Saya tidak tahu apa-apa….
Sungguh.” Namun orang-orang itu langsung menggelandangnya. Tubuh Mas
Drajat menghilang diringkus kegelapan. Itulah terakhir kali aku
mencium bau tubuhnya, terakhir kali mende-ngarkan degup jantungnya.
Aku hanya ingat kata-kata terakhir Mas Drajat,
”Jaga kandunganmu.”
Aku pun bergegas membawa
Darsono, Nastiti, dan Murti lari keluar. Menembus malam. Menuju
rumah Bapak. Dua tangan ibuku menjelma sayap induk ayam yang
melindungi anaknya dari terkaman elang. Di rumah itu, aku melahirkan
Herjuno. Sebulan kemudian, seorang petugas memberi kabar: suamiku
mening-gal di tahanan.
Aku tak bisa lagi
menangis. Dadaku
sesak.
”Bangun
Her, kita sudah sampai.”
Herjuno tergeragap
bangun. Kami keluar dari mobil.
”Mana makam
Bapak?”
”Di
sana.”
”Itu bukan makam Bu,
tapi luweng.”
Herjuno sangat kaget.
Bahkan mungkin terguncang. Namun, ia cukup pintar menyembunyikan
perasaannya. Kami pun berdoa, sambil menggigit kuat-kuat kenangan
pahit akan Mas Drajat.
Kantor Komnas HAM, pagi
hari.
Herjuno berjalan menuju
ke sebuah ruang, membawa dokumen setebal kece-masan ibunya, sedalam
luweng abadi yang menyimpan jeritan bapaknya. Ia berharap negara
berani untuk punya telinga, hingga sedikit ramah terhadap nasib
orang semacam ibunya dan keluarganya, yang sepanjang hidup harus
me-nanggung ’dosa sejarah’.
Sampai di depan pintu
sebuah ruangan, langkahnya tertahan. Ia hendak berbalik, namun
dokumen itu seperti meronta-ronta dan memaksanya masuk. Dengan
tenang, ia menemui seseorang. Ia hanya punya impian sederhana yang
kelak akan dikabarkan kepada ibunya, ”Bu…, kini telinga negara telah
tumbuh….”
Yogyakarta,
2005
*********** 0 0 0 0 0
**********
Ngebon
Kambing Di Ladang Tebu
(
Kisah Edi Sartimin, Korban stigma PKI)
“Ibu saya, Siti Hamidah,
dari keturunan Tiawchu bermarga Lie. Itu petani. Orang tua laki laki
bapak dari keturunan Konghu, Tan Tiang Seng. Itu tukang. Dulu kalau
teman tanya margamu apa. Saya bilang setan. Se itu artinya marga dan
Tan itu marga saya. Jadi saya bilang setan,” kata pak Edi, sapaan
akrab Edi Sartimin, nama yang dipakainya selain nama asli, Tan Hoek
Tjum.
Hampir tidak ada aktivis
mahasiswa era 98 yang tidak kenal Edi Sartimin, atau setidaknya jika
tak kenal namanya, familiar dengan seorang kakek yang setiap hari
naik sepeda dengan sebuah kamera dibahu, dan hampir selalu memakai
topi ala Che Guevara. Jika rindu pak Edi, datang saja ke kantor
DPRDSU. Jika melihat sebuah sepeda tua berwarna biru, diparkir
lengkap dengan kunci roda, carilah, Edi pasti ada di sekitar gedung
besar itu. Disana Edi bisa melakukan beberapa hal. Ada kalanya
melakukan orasi, ikut hanyut masyuk dalam aksi unjuk rasa, namun
terkadang keluar dari barisan dan menjepretkan kamera Ricoh
500GX-nya. Hasil jepretan yang biasanya dibeli oleh teman teman
seperjuangan itu menjadi cara unik pak Edi untuk bertahan hidup
hingga saat ini.
Pertamakali menghirup
udara bebas- dari penjara- tahun 1972, Edi mengawali hidupnya
sebagai buruh bangunan, namun beberapa bulan kemudian berhenti. Atas
inspirasi dari seorang kawan bernama Rahmat, seorang juru photo dan
juga eks Tapol, Edi membeli sebuah kamera merk Seagul. Sembari
belajar dari Rahmat, Edi berharap dapat bertahan hidup dengan
menjadi tukang photo jalanan. Edi biasa mangkal di sekolah MAN I dan
II Medan. Edi memperoleh pencarian yang cukup untuk menghidupi
dirinya selama bertahun-tahun.
Namun jalan hidup yang
normal (atau diatas normal?) ini rupanya tidak lama menjadi milik
Edi. Tahun 1988, salah seorang tukang photo saingan Edi, melaporkan
kepada kepala sekolah bahwa Edi adalah eks Tapol. Hal itu membuat
kepala sekolah melaporkan Edi kepada aparat dan melarang Edi untuk
masuk ke lingkungan sekolah. Berita itu cepat menyebar dan membuat
Edi dibenci banyak orang termasuk di lingkungan tempat tinggalnya.
Tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya oleh karena tidak diterima
oleh lingkungannya, dengan berat hati Edi menjual kameranya,
mengganti identitas dan pergi merantau ke Pekan Baru.
Ditempat baru mengawali
hidupnya sebagai centeng rumah remang-remang milik seorang mantan
Tentara yang masih kenal dengan Edi. Sang teman berjanji tidak akan
mengungkapkan identitasnya kepada orang lain. Untuk pertama kalinya
sejak keluar penjara, Edi dapat mengurus KTP tanpa tanda ET ditempat
sang mantan tentara penolong itu. Karena sudah merasa ‘bersih’, dan
dengan harapan dapat mengadu nasib dengan mencari pekerjaan yang
lebih baik, secara halus Edi meminta keluar dari kafe maksiat itu.
Setelah mendapat ijin
keluar dari sahabatnya itu, Edi memulai pekerjaan barunya, bergabung
dengan penggarap hutan. Berteman dengan binatang-binatang hutan,
sinso, dan tiga hingga lima orang teman setiap hari berada ditengah
hutan melakukan penebangan-penebangan liar. Sesekali ketemu dengan
orang Sakai atau orang Kubu yang masih telanjang. “Pak Edi pernah
dikeroyok orang Sakai, terus melarikan diri menembus hutan
sendirian. Pak Edi juga pernah tertimpa pohon lapuk karena getaran
sinso hingga pingsan ditengah hutan itu.
Tidak betah dengan
kehidupan liar itu, tahun 1994, Edi memilih kembali ke Medan. Maksud
hati ingin bertemu keluarga, anak dan cucu di Tanjung Morawa,
lagi-lagi Edi tidak diterima. “Dasar tidak tau berterimakasih,
syukur syukur kau tidak digorok dulu,”
demikian kata kata keluarga kepada Edi. Dengan berbagai
pertimbangan, Edi kembali melakoni hidup sebagai penebang kayu di
Pekan Baru. “Pekerjaan saya layaknya kerbau beban, menggerek
gelondongan itu dengan memakai tali yang dililitkan didada, makanya
fisik saya sehat” kata Edi.
Tidak diakui oleh istri,
anak dan seluruh keluarganya tidak menyurutkan semangat hidup Edi. «
Saya tidak hidup sebatang kara ».Walau keluarga mencampakkan pak
Edi, pak Edi punya banyak anak « yang mengakui saya sebagai bapaknya
». Mereka
pintar-pintar, banyak juga mahasiswa. Mereka semua keluarga saya.
Walau
demikian, Edi tetap memantau dari jauh keluarga biologis-nya. Mantan
istrinya , almarhum Misnem, kawin dengan
seorang Tionghoa. Pak Edi sudah punya cucu bernama Rrn yang sudah
duduk di kelas tiga SLTA di Tanjung Morawa, dari putri kandungnya
Ssn.
Dengan mencoba bertempur
dengan ingatan, Edi menuturkan awal penderitaan yang kelak mengubah
totalitas hidupnya ini. Edi Sartimin adalah anggota TNI Angkatan
Darat dari pasukan khusus atau Batalyon Raiders dengan pangkat
terakhir Kopral Satu. Sebelum masuk tentara, Edi akrab dengan
kehidupan jalanan di Medan, sembari bersekolah di Herstel RK, Jl
Sindoro Medan, sebuah sekolah milik Belanda. Orang tua Edi sesuai
dengan marganya adalah seorang mekanik. Kerap Edi membantu
perbengkelan orang tuanya itu. Suatu kali, tahun 1957, tanpa
sepengetahuan orang tuanya, Edi melamar sebagai anggota tentara.
Walaupun mendapat tentangan utamanya dari ayahnya setelah mengetahui
Edi lulus masuk tentara, Edi tetap mengikuti masa latihan yang
dipusatkan di SKI Siantar ( sekarang Rindam), hingga akhirnya
sepuluh tahun kemudian, Edi dihadapkan dengan tuduhan yang sama
sekali diluar bayangannya.
Tiga hari sebelum
ditangkap, pistol Edi telah lebih dulu diambil dengan alasan akan
ditukar yang baru. Pukul 19.30, tanggal 19 September 1967, pulang
nonton dari Deli bioskop, Edi ditangkap oleh tiga orang tentara dari
Asrama Yon Para, jauh hari setelah peristiwa G 30 S PKI. Tentara
yang masih teman dekat Edi itu mengaku disuruh oleh komandan
batalyon Para, Mayor Besar Rino K, dengan alasan terlibat G 30 S
PKI.
“Tiga
hari pertama adalah neraka penyiksaan bagi saya. Sejak sampai di
kamp, saya sudah melihat teman teman saya juga ditangkap, disiksa
dan ditelanjangi. Kami semua dibuat
telanjang bulat, ditunjang, dan tidak dikasih makan. Pada hari
ketiga kami semua disuruh buat surat wasiat kepada keluarga, karena
akan dibunuh. Semua. Banyak orang menangis sambil menulis surat
surat itu. Ternyata itu mop saja, supaya mereka tahu apa yang kami
tulis disitu, namun demikian, satu persatu kami juga diambil dan
tidak pernah kembali. Hari hari di tahanan adalah masa yang
mendebarkan, karena ada saja yang diambil pada malam hari untuk
dibunuh. Orang orang yang tergabung didalam Komando Aksi, yakni
preman-preman yang diorganisir oleh tentara selalu datang pada malam
hari. Dengan persetujuan tentara yang menjaga tahanan, tahanan bisa
diambil dan dibunuh oleh Komando Aksi itu. “ Pak, ngebon kambing
pak,”Begitu orang orang komando aksi meminta kepada tentara penjaga,
supaya orang orang yang dituduh PKI itu bisa mereka ambil untuk
dibunuh,” tutur Edi. Mereka dibawa ke berbagai tempat untuk dibunuh
dan dipersaksikan kepada khalayak ramai sebagai bentuk agitasi.
Mayat mayat itu sengaja diletakkan di jalanan kota, di sungai
seperti sungai Wampu, sungai Deli dan Sungai Ular, serta di
perkebunan terdekat seperti kebun tebu dan tembakau di pinggiran
kota. Mayat mayat itu tidak dikuburkan, dibiarkan dimakan oleh
binatang seperti anjing di pinggir jalan.
Edi menjalani hukuman
tanpa proses hukum formal yang jelas, pun mengakhiri-nya dengan
tidak jelas pula tahun 1972, setelah menjalani hukuman di berbagi
lokasi tahanan di Sumatera Utara seperti Rutan Suka Mulia, Tanjung
Kasau dan Jalan Gandhi. Keluar dari tahanan, Edi masih harus
menjalani wajib lapor dengan KTP bercap OT/ET. Pilihan adalah kata
yang tepat untuk menggambarkan jalan selanjutnya yang ditempuh Edi
setelah berkali-kali ditolak oleh keluarganya.
Tahun 97, untuk kedua
kalinya Edi memulai pekerjaan sebagai tukang photo, dengan memilih
lokasi mangkal di Taman Muara Indah Varia Tanjung Morawa,Tamora,
tempat wisata kecil bagi warga Medan. Seiring dengan perkem-bangan
kamera kini, Edi mengaku sudah kesulitan mendapatkan order. “Karena
kamera pocket dan kamera digital itu, saya sulit mencari pelanggan.
Sejak awal tahun 2000 lalu, aku sudah jarang ke Tamora, saya lebih
sering meliput dan mengikuti aksi-aksi sekarang”, kata Edi.
Belakangan, Edi banyak membangun komunikasi dengan orang orang muda
dan aktivis mahasiswa. Tercatat Edi pernah menjadi anggota PRD,
kemudian mengundurkan diri dan bergabung dengan PDS, dan sejak tahun
2004 bergabung dengan Komite Aksi Korban Pelanggaran HAM 65 Sumut
( KKP HAM Sumut).
“Sekarang saya punya
harta yang sangat mahal, satu sepeda, dan sebuah kamera. Inilah
harta sekaligus alat saya untuk bertahan hidup. Yang masih pak Edi
bingung, kedua benda mahal ini mau diwariskan sama siapa kelak kalau
aku mati”. Kamera dan sepeda Edi, terlihat setua umurnya yang sudah
68 tahun. Jaman bisa sudah abad millenium, namun kesederhanaan Edi
dengan kedua benda keramatnya, mengingatkan setiap orang atas aroma
jaman 60-an. “Setiap hari, saya naik sepeda sejauh tiga puluh
kilometer”.
, dunia masih
terbalik-balik. Yang satu ini "tersangka" yang diloloskan karena
"tidak cukup" bukti, sedang yang jutaan korban '65 harus meringkuk
dalami tahanan belasan tahun sebagai "tersangka" tanpa bukti, bahkan
tetap harus hidup sebagai pe-sakitan sampai sekarang setelah 40
tahun bersama sanak keluarganya.
Inilah kenyataan pahit,
sangat tidak adil yang kita hadapi sebagai
kenyataan!
Salam,
ChanCT
***************
0 0 0 0 0 0******************
Kisah
Para Perempuan Korban 1965 (1-2)
”Genjer-genjer”
Menyeret Sumilah ke Plantungan
Oleh
: Fransisca Ria Susanti
Pengantar
Redaksi:
Penjara
Plantungan di Kendal, Jawa Tengah, menjadi saksi bisu dari kisah
tragis para perempuan Indonesia yang diisolasi
di bekas Rumah Sakit Lepra tersebut. Peristiwa Gerakan 30 September
1965 telah menjadikan mereka sebagai "tumbal" hanya karena tudingan
terlibat atau dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Minggu
(24/7), para eks tahanan politik (tapol) Plantungan menggelar
"reuni" di pendopo Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) di
Bugisan, Yogyakarta. SH menurunkan kisah
mereka dalam dua tulisan yang dimuat Jumat dan Sabtu (30/7).
Yogyakarta –
Genjer-genjer mlebu kendil wedange gemulak/Setengah mateng dientas
yong dienggo iwak/ Sego nong piring sambel jeruk ring
ngaben/Genjer-genjer dipangan musuhe sego. (Genjer-genjer dimasukkan
dalam kuali panas/ Setelah setengah matang diangkat untuk lauk/Nasi
di piring dan sambel jeruk di atas cobek/Genjer-genjer dimakan
bersama nasi) Bait di atas adalah penggalan lagu Genjer-genjer karya
seniman Banyuwangi, Muhammad Arif dan dipopulerkan oleh Bing Slamet.
Anda pernah mendengarnya atau barangkali menyenandungkannya
pelan-pelan?
Generasi yang hidup di
era 1960-an akrab dengan lagu ini. Di film “Gie” yang kini diputar
di bioskop-bioskop Jakarta, dendang Genjer-genjer juga terdengar,
dilantunkan para simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjelang
peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.
Jika Anda melantunkan
lagu yang bercerita soal kemelaratan warga Banyuwangi di masa
pendudukan Jepang itu sekarang, tak akan ada dampak apa-apa, kecuali
mungkin tatapan aneh lingkungan sekitar yang menduga Anda sebagai
anak yang dilahirkan dari rahim ibu pengikut Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani) atau setidaknya simpatisan dari PKI. Namun jika
lagu itu dinyanyikan menjelang peristiwa G30S, maka petaka menjadi
takdir yang menghampiri.
Sumilah,
perempuan asal Prambanan, Yogyakarta adalah salah satu contoh dari
takdir itu. Gadis Sumilah yang waktu itu masih berumur 14 tahun sama
sekali tak tahu asal muasal kenapa pagi tanggal 19 November 1965
itu, ia bersama 47 orang (tujuh perempuan) lainnya diharuskan
berkumpul oleh lurah desanya di sebuah lapangan. Kemudian mereka
diangkut oleh truk ke penjara Wirogunan. Sepanjang jalan, Sumilah
mencoba mengingat apa kesalahannya, tapi tak juga ketemu.
Satu-satunya yang melintas di ingatannya adalah kesukaannya menari
bersama teman-teman sepermainannya dengan iringan Genjer-genjer.
“Saya suka. Nada lagu itu enak sekali,” ujarnya mengenang, Minggu
(24/7) siang di pendopo Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI)
di Bugisan, Yogyakarta. Namun
justru kesukaan inilah yang menjadi malapetaka baginya. Ia tinggal
di hotel prodeo selama 14 tahun, tanpa ada tuduhan maupun
pengadilan. Mula-mula, ia tinggal di penjara Wirogunan, Yogyakarta. Setiap hari, ia hanya diberi makan
jagung beberapa butir dan kadang-kadang sayur lembayung.
Ia
menjalani pemeriksaan di bawah sejumlah tekanan. Saat ditanyakan
jenis tekanan atau siksaan yang ia alami selama pemeriksaan, Sumilah
melengos. Pandangannya menerawang. Kenangan itu terlalu menyakitkan.
Enam bulan lamanya, Sumilah berada di Wirogunan, sebelum kemudian
dipindahkan ke penjara Bulu di Semarang dan terakhir di Plantungan
pada tahun 1971.
Di
Plantungan inilah, Sumilah yang menjadi tahanan termuda, mengetahui
bahwa ia adalah korban salah tangkap. Sumilah yang seharusnya
menjadi target penangka-pan adalah seorang guru SD asal Kulon Progo,
Yogyakarta yang menjadi anggota
PGRI Non-Vaksentral. Kedua Sumilah ini sempat berada bersama di
penjara Wirogunan. Meski begitu, Sumilah yang hanya jebolan kelas 4
SD tidak dilepaskan oleh petugas. Dan saat Sumilah bocah ini harus
berada di bui selama 14 tahun, Sumilah lainnya yang menjadi target
hanya menempati penjara Wirogunan selama tiga tahun. Empat puluh
tahun setelah penangkapan yang ironis itu, keduanya terlihat duduk
bersila, berdampingan di pendopo SMKI, Minggu (24/7) siang itu.
Entah apa yang mereka bicarakan dalam acara reuni eks tapol
Plantungan itu.
Seandainya
masa lalu begitu menyakitkan untuk diceritakan, barangkali keduanya
tengah berbincang tentang hidup yang harus mereka jalani di usia
senja sekarang.
Sumilah
asal Prambanan kini menjalani hidup dengan laki-laki bekas kader
Pemuda Rakyat (PR) yang menikahinya setelah ia keluar dari penjara
tahun 1978. Dikarunia dua putra, laki-laki dan perempuan, Sumilah
kini menghabiskan hidupnya dengan berjualan sate di areal depan
Prambanan. “Saya bertemu dengan suami saya di Muntilan. Saya waktu
itu berjualan sate di tempat bulik saya dan ia merupakan salah satu
pembeli,” tutur Sumilah mengenang.
Satu-satunya
syarat yang diajukan Sumilah saat laki-laki itu melamarnya hanyalah
supaya laki-laki itu bersedia menikahinya secara Katolik. Sementara
kisah pahit masa lalu mencoba mereka lupakan. Di depan kedua anaknya, cerita tersebut juga tak
dikatakan. Sampai kemudian, saat Syarikat (organisasi nonpemerintah
di Yogyakarta yang memiliki kepedulian terhadap para korban
peristiwa 1965) berniat mendokumentasikan kisah Sumilah dalam film
dokumenter “Kado Untuk Ibu”, anak perempuannya yang duduk di bangku
SMA, baru mengetahui tragedi yang menimpa ibunya.
Gadis
yang besar di era reformasi itu pasti tak menyangka bahwa hanya
gara-gara sebuah lagu, ibunya harus menghabiskan 14 tahun masa
hidupnya di balik jeruji penjara. Sayangnya, 40 tahun setelah
kesewenang-wenangan itu berlalu, negara ini tak juga menemukan aktor
yang bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. Jalan
rehabilitasi terhadap para korban pun tak juga mulus.
Nn
***************
0 0 0 0 0 0******************
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0507/29/sh03.html
Kisah
Para Perempuan Korban 1965 ( 2 - 2
)
Sumpah
Iman di Tengah Siksaan
Oleh
: Fransisca Ria Susanti
YOGYAKARTA
- Adegan Getsemani saat Yesus begitu ketakutan dan menginginkan agar
proses penyaliban yang akan menimpanya tak terjadi, seperti diputar
ulang di Plantungan, Kendal sekitar awal 1970-an. Bedanya, doa ini
disampaikan di tengah berlangsungnya siksaan dan diucapkan oleh
Sumarmiyati, perempuan asal Yogya-karta yang dipenjarakan oleh
pemerintahan Soeharto hanya gara-gara ia menjadi anggota Ikatan
Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), sebuah organisasi yang dicap
underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sumarmiyati
bahkan menyatakan sumpah, jika ia diberi kekuatan untuk bisa
mengatasi siksaan dan diberi kesempatan untuk menikah dan punya
anak, maka satu anaknya akan ia persembahkan untuk Tuhan. Sebagai
penganut Katolik, sumpah “persembahan” ini adalah izin untuk
membiarkan anaknya menjadi biara-wan.
Bersama
perempuan lainnya, Sumarmiyati dimasukkan dalam penjara Orde Baru
tanpa pernah diadili pasca Peristiwa Gerakan 30 September (G30S)
1965. Desember 1965, perempuan tersebut dimasukkan ke penjara karena
keterlibatannya di IPPI. Tapi kemudian dilepaskan pada April 1966.
Saat ia dikeluarkan, seorang pastor menampungnya dan
menyekolahkannya hingga ia memperoleh ijazah untuk mengajar di
Sekolah Dasar di Janti, Yogyakarta.
Namun pada April 1968, Sumarmiyati kembali ditangkap atas tuduhan
melakukan gerilya politik (gerpol). Bantahan terhadap tudingan ini
sama sekali tak diperhatikan. Tak ada satu pun pengadilan yang
digelar untuk membuktikan tudingan ini. Sumarmiyati dijebloskan ke
penjara, untuk kedua kalinya, hingga tahun 1978. Ia berpindah-pindah
dari penjara Wirogunan, lalu ke Bulu dan terakhir di
Plantungan.
Dalam
film dokumenter “Kado untuk Ibu” yang digarap oleh Syarikat
(organisasi nonpemerintah yang memperjuangkan nasib para korban
peristiwa 1965), Sumarmiyati bertutur bagaimana ia dan tapol
perempuan lainnya ditelanjangi dan dipaksa untuk menciumi penis para
pemeriksanya. “Kami disuruh melakukan itu karena menurut mereka kami
layak diperlakukan seperti itu,” tuturnya getir.
Saskia
Eleonora Wierenga dalam studinya tentang “Penghancuran Gerakan
Perempuan Indonesia” menyebutkan
bagaimana Orde Baru sengaja menciptakan stigma bagi perempuan yang
terlibat atau diduga simpatisan PKI. Penciptaan stigma tersebut
diperkuat melalui media massa yang ada saat itu, di
antaranya harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.. Dalam koran-koran tersebut, aktivis Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani) –
organisasi yang dicap underbouw PKI - digambarkan turut terlibat
dalam pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya dengan melakukan
tari-tarian saat pembantaian dilakukan. Mereka bahkan dilukiskan
sebagai perempuan jalang yang menyetubuhi para jenderal tersebut
sebelum dibunuh.
Drama
Kecengengan
Guna
menguatkan image tersebut, rezim Soeharto bahkan meminta para
seniman menggambarkan adegan tarian para aktivis Gerwani ini di
relief Monumen Pancasila Sakti. Pencitraan ini melahirkan
stigmatisasi yang menyakitkan bagi para aktivis politik perempuan
yang dekat dengan PKI, juga para perempuan yang ditangkap hanya
karena diduga simpatisan organisasi tersebut..
Namun bagi Sumarmiyati,
stigma ini tak berarti banyak bagi dirinya ketika pada November
1978, dua bulan setelah ia keluar dari Plantungan, sang pacar yang
juga baru keluar dari penjara datang melamar. Setidaknya, hidup
serumah dengan laki-laki yang memahami pilihan politiknya, membuat
Sumarmiyati lebih kuat dalam menjalani hidup. Selain itu,
lingkungannya pun bisa menerima. Bahkan ia mendapat-kan dispensasi
dari kawan-kawan di organisasi gerejanya untuk meminjam uang kas.
Padahal salah satu syarat peminjaman saat itu adalah melampirkan
“surat bersih diri” (surat
keterangan tidak terlibat G30S) dari kelurahan.
Dan
sesuai dengan sumpah yang ia ucapkan saat berada dalam siksaan, satu
dari dua orang anak Sumarmiyati kini sedang melanjutkan studi di
seminari tinggi. Jika ia berhasil menyelesaikan studi tersebut, maka
ia akan ditahbiskan menjadi pastor.
Sumarmiyati
dan juga ratusan perempuan yang hadir di forum reuni eks tapol
Plantungan di pendopo Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI),
Bugisan, Yogyakarta, Minggu (24/7) siang itu, masih merekam
kesewenangan rezim Orde Baru dengan jelas di ingatan. Namun hidup
terus berjalan. Persoalan keseharian membuat bayang-bayang kenangan
yang menyiksa itu sedikit kabur.
Sumini
Martono, aktivis Gerwani Wonosobo yang jadi tapol selama 10 tahun,
adalah contoh lain dari ketegaran itu. “Saya ditangkap dengan janji
akan dilepaskan setelah suami saya ditangkap. Tapi setelah suami
saya ditangkap, saya tak juga dilepas. Dan saat saya sudah
dikeluarkan, suami saya ternyata sudah hilang,” ungkapnya. Hilang,
dalam bahasa para tapol, adalah dibunuh. Suami Sumini memang
terbukti dibunuh oleh para aparat Orde Baru dan mayatnya dihanyutkan
di sebuah luweng di Wonosari. Tempat ini dikenal sebagai tempat
pembantaian para aktivis yang diduga sebagai anggota atau simpatisan
PKI pasca perisiwa G30S.
Saat
menceritakan kisah tersebut, Sumini menyampaikannya dengan enteng.
Tapi bukan berarti ia tak merasa kehilangan. Hanya saja, ketika
sebuah penderitaan sudah tak tertahankan dan tak ada jawaban yang
bisa diberikan atasnya, maka satu-satunya yang bisa dilakukan adalah
menjalani hidup dengan kekuatan yang tersisa.
Ketegaran
yang ditunjukkan Sumarmiyati dan Sumini serta ribuan eks tapol
Plantungan membuat keluhan anggota DPR dan pejabat negara saat ini
tentang gaji yang minim tampak seperti drama
kecengengan.
Sinar Harapan 29 Juli
2005
*************** 0 0 0 0
0 0******************
"joseph"
<harjo@wanadoo.nl>
Fri,
14 Oct 2005 23:07:20 +0200
DUSTA
TARI PORNO DI BUKIT DURI.
GAMMANomor
: 33-3-09-10-2001
Sulami,
Wakil Sekjen DPP Gerwani, narapidana politik 20 tahun penjara,
bertutur kepada GAMMA. Ia percaya Soeharto terlibat G-30-S.
Lihatlah, rambutku sudah memutih. Sorot mataku pun redup. Padahal,
tengok foto ini, saat bersalaman dengan Presiden Soekarno pada 1962,
ketika beliau berulang tahun di Istana, aku masih oke, ya? Kini,
usiaku 75 tahun. Saya sedang sibuk dengan Yayasan Penelitian Korban
1965-1966, baik yang sudah mati, masih hidup, dan keluarga mereka.
Duh, banyak yang nganggur karena dituduh tak bersih diri. Mencari
jodoh saja sulit. Yang sempat tunangan enggak jadi nikah. Matilah
hak asasi dan hak perdata mereka. Traumatis.
Kami
mendata kuburan para korban dan keluarganya. Kami berhasil
membongkar kuburan- kuburan di Blora, Jawa Tengah, pada Juni 1998.
Di hutan.
Setelah digali sampai dua meter dalamnya ternyata ada 51
kerangka.
Waktu yayasan itu
dideklarasikan di LBH Jalan Diponegoro Jakarta pada 1999 lalu, BBC
London menginterviu malam dan paginya disiarkan. Setelah itu kami
didatangi 30 wartawan. Klipingnya kami kumpulkan. Lalu, kami
diinterviu sebanyak 68 kali oleh media dalam dan luar negeri.
Akibatnya, teman-teman yang merasa kehilangan keluarganya
ramai-ramai menjadi sukarelawan di Jawa, Bali, Sumatera, dan
Sula-wesi.
Saya ingin bisa
menggelar satu perkara. Soal pembunuhan, umpamanya di Boyolali, di
situ kehilangan rakyatnya kira-kira 8.000. Itu bisa kami tunjukkan
kepada keluarga yang mati itu. Terus kami minta kepada Komnas HAM
untuk membentuk KPP HAM khusus korban 1965-1966. Katanya, masih
belum bisa dilaksanakan karena ada Tap. MPRS Nomor 25 itu. Padahal,
ketetapan itu dibentuk secara tidak sah. Yang membentuk itu bukan
presiden dan orang-orang Bung Karno yang di DPR/MPR GR waktu itu.
Ada 126 orang atau lebih yang sudah dikeluarkan dari sana dan
diganti oleh orang-orangnya Soeharto.
Memang, kalau kita
dengar keterangan Kol. Latief dan Pak Soebandrio yang menyimpulkan
bahwa Soeharto memang tahu peristiwa G-30-S, kami kaget. Dulu, Pak
Latief, kan, salah satu pelaku pembunuhan para jenderal itu. Saya,
kan, tidak mengerti dulu-dulunya bagaimana dia. Ngerti-nya setelah
dia keluar dari penjara dalam keadaan fisik yang begitu rusak. Saya
mengerti sebab musababnya. Kalau umpamanya laporan Latief kepada
Soeharto pada waktu itu ditanggapi dengan baik dan dia melaporkannya
ke Pak Yani sebagai atasannya dan kepada Presiden Soekarno sebagai
panglima tertinggi, tidak akan terjadi peristiwa itu. Itu kalau
diikuti berapa lama imperialis Amerika ini ingin membunuh Bung
Karno. Sementara itu, soal keterlibatan Soeharto yang bekerja sama
dengan Amerika, kami rasa itu sangat mungkin. Kami bahkan
mengumpulkan kliping-kliping yang ada hubungannya dengan
CIA.
Pengakuan Heru Atmodjo
juga begitu. Dan jeleknya, Pak Harto itu dalam usaha perjuangannya
menjatuhkan Bung Karno --dalam hal ini kerja sama dengan kekuatan
asing-- tega menghalalkan segala cara yang luar biasa kejam.
Saya
yakin bahwa Soeharto memang terlibat dalam G-30-S. Lalu, saya
cocokkan dengan tulisan bekas orang kedutaan Amerika, The Impossible
Dream. Di
situ alurnya sudah jelas sekali.
Dulu saya sering bertemu
Bung Karno. Saya mendengar dari keluarga istana bahwa Pak Harto
waktu itu dimarahi Pak Yani. Dia lalu menghadap Bung Karno dan minta
keluar dari tentara. Dan ketika ditanya
Bung Karno, dia jawab karena Pak Yani tidak senang kepada Pak Harto.
Terus Bung Karno ngecek (menurut seorang jenderal yang ada di
istana) dan Yani kemudian mengatakan, "Ya, Pak, saya enggak suka
kerja sama dengan Mayor (ketika itu Soeharto berpangkat mayjen)
itu."
Ketika Soeharto bertugas
di Diponegoro, di situ, kan, Pak Yani juga sudah kelihatan tidak
menyukai Soeharto seperti yang disampaikan Pak Bandrio dalam
bukunya. Saya memang mendengar soal barter yang dilakukannya saat di
Diponegoro. Nah, setelah peristiwa itu, Soeharto diperiksa di kodim.
Yang memeriksa itu seorang kapten CPM dan saya kenal. Belakangan,
sang kapten itu ditangkap. Ngegebukinya itu bukan main. Istri dan
anaknya disuruh nunggu. Itu setelah 1965. Kapten itu dibalas oleh
orang-orangnya Soeharto.
Dalang G-30-S, menurut
Bung Karno, kan, ada tiga macam. Tapi, yang santer hanya dari
Soeharto. Cuma, kalau membaca, banyak liku-likunya. Kalau sekali dua
kali enggak mengerti apa betul Pak Harto, PKI, atau Bung Karno.
Kalau Bung Karno terang tidak. Sebab, pagi-pagi kami bertemu di
depan Kementerian Penerangan. Bung Karno saat itu dari rumahnya
Dewi. Nah, itu saya anggap beliau sedang menuju istana. Sejak itu
kami enggak ketemu lagi dengan Bung Karno. Jadi enggak mungkin ia
berada di belakang peristiwa itu.
Lantas, kalau PKI
sendiri, yang mengherankan adalah PKI itu tempatnya orang
pintar-pintar dan orang perjuangan sejak zaman Belanda. Dia, kan,
tahu perhitungannya bahwa pemilihan umum mendatang yang sebentar
lagi akan dimenangi PKI. Dan menang itu
akan membawa perubahan macam-macam. Jadi, kalau umpamanya buatan
PKI, kok, ya geblek temen. Buat apa? Apa PKI itu terpancing? Ya,
enggak ngerti, Tapi, sekarang kami kumpulkan data mengenai ini. Soal
kemungkinan didalangi PKI itu kecil sekali.
Kalau Soeharto, itu
dimungkinkan karena dia musuh PKI sejak dia jadi Pangdam Diponegoro. Sementara itu,
hubungan PKI dengan Bung Karno sedang baik, dan sama Soeharto
mungkin jelek. Di situlah yang kami sangsikan.
Sudahlah. Yang saya
harapkan adalah pelurusan sejarah dan menuntut Pak Harto, karena itu
semua atas perintahnya. Misalnya, perintah kepada rakyat Jawa Tengah
untuk membantu Sarwo Edhie dalam operasinya. Saya masih punya
kliping koran-korannya.
O, ya, saya pernah
bertemu dengan wakil keluarga korban Tanjung Priok, Pak Benny Biki.
Beliau berkata, "Kita ini memiliki perbedaan yang fundamental. Saya
lain dengan Bu Lami. Tapi, kita mengalami penindasan sama-sama.
Jadi, mari kita kerja sama mendapatkan solusi yang baik. Saya juga
tidak setuju tempat Bu Lami diobrak-abrik, diancam, dan didatangi
Komando Anti-Komunis. Coba, rumah saya di Tangerang dibakar. Pak
Benny Biki bilang dia enggak setuju dengan cara-cara begitu Terus terang, saat 30
September 1965, saya enggak mengerti karena pada waktu itu Gerwani
ada kesibukan, mau kongres pada Desember 1965. Saya sangat sibuk dan
enggak ada hubungan dengan G-30-S. Tapi, bukti itu tidak dipakai
oleh pengadilan. Apa yang saya ceritakan pada malam 30 September dan
1 Oktober itu enggak dipakai semua. Padahal, itu ada alibinya, yaitu
teman saya yang namanya Sujinah, yang bertempat tinggal di Kantor
Gerwani di Jalan Matraman 51 Jakarta. Sebagai wakil sekjen, saya
memang bertempat tinggal di situ, siang-malam menunggu sekretariat.
Kami tidak sempat memikirkan keadaan waktu itu karena kami juga
sedang ujian. Saya mengambil D-3 di Akademi Bakhtaruddin. Itu pun
tidak dipercaya. Jadi,
saya simpulkan bahwa pengadilan itu memang pengadilan target.
Putusan itu sudah ada di kantong hakim. Tinggal ketok
aja.
Tapi,
koran-koran memberitakan lain waktu itu. Saat itu wartawan
diharuskan bikin berita begitu. Apalagi memang ada
semacam larangan buat koran yang lain untuk memberitakan peristiwa
itu berbeda. Dan, beberapa koran lainnya yang dibawah militer turut
dilindungi, seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Kliping
koran yang saya punya juga begitu.
Saya tahu peristiwa
G-30-S itu dari teman-teman pengurus setelah kejadian. Saat
pencarian mayat itu (para jenderal, Red.) pada 4 Oktober 1965 dan
saya menonton orang ramai di jalan itu pada 4 Oktober. Sesudah itu
Gerwani diburu dan kami tidak berani lagi di kantor. Apalagi, kantor
kami dikepung. Setelah 6 Oktober saya betul-betul tidak berani
berada di kantor. Lalu, saya pergi. Sebenarnya saya mutar-mutar saja
di Jakarta hingga 11 Agustus 1967 ketika saya
ditangkap.
Anehnya, saya baru
diadili pada 1974. Lalu, dihukum 20 tahun penjara tanpa kesalahan
yang jelas. Syukurlah, akhirnya saya dibebaskan bersyarat pada 1984
dan wajib lapor hingga 1986.
Saya ingat berita koran
waktu itu mendiskreditkan kami. Karena itu, sakit hati sekali.
Misalnya,
soal tarian para anggota Gerwani di Lubang Buaya itu. Padahal, itu
nari-nya di aula penjara Bukit Duri. Ya, tari genjer-genjer di
tengah kehidupan porno. Jadi, disuruh nari-nari, lalu dipotreti dan
difilmkan untuk pengadilannya Pak Band (Soebandrio, Red.). Itu yang
dibawa dalam pengadilan Pak Ban. Betul-betul
fitnah.
Yang
keterlaluan, ada seorang pelacur dari Senen Jakarta yang
buta huruf ditangkap patroli karena tanpa KTP. Dia dipaksa mengaku
anggota Gerwani dan dalam BAP mengaku berada di Lubang Buaya dengan
tugas memberi konsumsi seks kepada 200 tentara. Ia bubuhkan cap
jempol karena takut bedil. Ada pula Inah, seorang istri oknum
yang dicurigai ikut menjadi pelatih di Lubang Buaya. Lalu,
dicomotlah seorang gelandangan di bawah jembatan Kebon Sirih Jakarta
hanya karena dia bernama Sainah dan digebuki agar mengaku sebagai
Inah, istri si pelatih itu. Dan orang seperti merekalah yang
dijadikan saksi. Pokoknya, banyak kebohongan.
BLU
dan Budi Kurniawan
***************
0 0 0 0 0 0******************
Surat
Terbuka Pramoedya Ananta Toer
kepada Keith
Foulcher
Jakarta, 5 Maret
1985
Salam,
Surat 26 Februari 1985
saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja untuk
teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih.
Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri
saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum manikebuis pada taraf
sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada serangan sambil
merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka
tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami
oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya, belum
lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan
dan perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah
mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan meminjam
kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten and forgiven" dan
revisiannya: "We've forgiven but not forgotten." Saya hanya bisa
mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang tepat,
seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung
sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik--di sini
Indonesia--bukan
semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu prosedur nasional
dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan. Tak
seorang pun di antara para manikebuis pernah menyatakan simpati --
jangan bayangkan protes -- pada lawannya yang dibunuhi, kias atau
pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap seniman nasional
Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman
daerah yang tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang.
Di mana itu pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno
mengatakan: Yo sanak, yo kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah -- masih
menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego
patine.
Masalah
pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua
pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah
masalah ikutan daripada-nya. Saya sendiri berpendapat, memang belum
selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi
Indonesia. Karena memang belum ada
distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan yang selesai. Maka
para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional cenderung dinamai
dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan.
Pertentangan manikebu
dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal polemik. Memang keras, tapi
tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang satu jalan untuk
mendapat-kan kebenaran umum, yang bisa diterima oleh umum? Bahwa
pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh orang-orang Lekra
sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul saya belum bisa
diyakinkan. Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror telah
dilakukan orang-orang Lekra terhadap beberapa orang, antaranya
Bernard IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya
sendiri, IJzerd-raad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak pernah mengkoreksi tulisannya.
Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia setelah kegagalan
pembe-rontakan PRRI-Permesta, kemudian minta kewarganegaraan
Belanda. Mungkin ia merasa begitu pentingnya bagi Indonesia sehingga
dalam usianya yang sudah lanjut merasa berkepentingan untuk
mendirikan kebohongan terutama untuk menyudutkan saya. pada hal
dalam polemik-polemik tsb. saya hanya menggunakan hak saya sebagai
warganegara merdeka untuk menyatakan pen-dapat. Dan saya sadari hak saya. Seperti sering kali
saya katakan: kewarga-negaraan saya peroleh dengan pergulatan bukan
hadiah gratis.
Dan apa sesungguhnya kudeta
gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak tahu. Sekitar tanggal 24
bulan lalu saya menerima fotokopi dari seorang wartawan politik
Eropa dari Journal of Contemporary Asia, tanpa nomor dan tanpa
tahun, berjudul: "Who's Plot--New Light on the 1965 Events,"
karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya baca uraian
dari orang yang tak berpihak. Juga itu informasi pertama setelah 20
tahun belakangan ini. Rupa-rupanya karena ketidaktahuan saya itu
saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2 bulan +
hampir 6 tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa pernah
melihat dewan hakim yang mendengarkan pembelaan saya. Memang sangat
mahal harga kewarganegaraan yang harus saya bayar. Maka juga
kewarganegaraan saya saya pergunakan semak-simal mungkin. Itu pun
masih ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini saya
tulis dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan
saya.
Sekarang akan saya
tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia waktu meletus
peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya akan
ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu
banyak kesalahan.
Pada 1 Oktober 1965
pagihari saya dengar dari radio adanya gerakan Untung. Kemudian
berita tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum itu pengumuman
naik pangkat para prajurit yang ikut dalam gerakan Untung dan
penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas letkol.
Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum sudah
mengurusi pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa? Saya lebih banyak di
rumah daripada tidak. Kerja rutine ke luar rumah adalah dalam rangka
menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan sangat
kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya "diangkat" jadi
"penasihat." Jadi di rumah itu saja saya "ketahui" beberapa hal yang
terjadi dari suara-suara luar yang datang. Mula-mula datang Abdullah
S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru saja bekerja di sebuah
surat kabar Islam yang baru diterbitkan, dan yang sekarang saya lupa
namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak mengungsi ke
tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang
sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika
datang ke rumah menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas
ditutup karena keadaan tidak aman. Ia menyerahkan honor lipat dari
biasanya. Beberapa hari kemudian datang pegawai dari pabrik pensil,
juga menyerahkan honor, juga lipat dari biasanya, karena pabrik
terpaksa ditutup, keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang
memberitakan, rumah Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah
lain. Ia juga memberitakan tentang cara massa bergerak. Mereka
menyerang rumahtangga orang, kemudian datang para petugas berseragam
yang tidak melindungi malah menangkap yang diserang. "Saya yakin
Bung akan diperlakukan begitu juga,"
katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku. "Kesalahan bung, karena
bung tokoh." Itu saja? Tempatku di sini, kataku
akhirnya.
Seorang penjahit, yang
pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian saya oleh tetangga
anggota PNI-- penjahit itu juga tetangga--menawarkan tempat aman
pada saya nun di Brebes (kalau saya tidak salah ingat). Saya ucapkan
terimakasih. Mengherankan betapa orang lain dapat melihat,
keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain datang dan menganjurkan
agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa yang saya harus
larikan? Diri saya? dan mengapa?
Kemudian
datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia langsung
masuk ke belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak
mengu-langi kebiasaannya. Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya
masih ingat kata- kata yang saya ucapkan kepadanya: saya seorang
diri dari dulu, kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan
saya hadapi seorang diri; tempat saya di sini.
Keadaan
makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan. adalah tepat bila ia dan anak-anak untuk
sementara menginap di rumah mertua. Papan nama saya, dari batu
marmer, bertahun-tahun hanya tergeletak, sengaja saya pasang di
tembok depan dengan lebih dahulu memahat tembok. Sebagai pernyataan:
saya di sini, jangan nyasar ke alamat yang
salah.
Di tempat lain isteri
kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk keselamatan saya.
Sementara
itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan ensiklopedi sastra
Indonesia. Dalam keadaan
lelah saya saya beralih mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya padamkan dan saya
duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik saya
yang pulang ke Indonesia untuk
menyiapkan disertasinya, Koesalah Soebagyo
Toer.
Kemudian
datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00.
Tahu-tahu rumah saya sudah dikepung. Lampu pagar dari 200
watt--waktu tegangan hanya 110, namun dapat dianggap terlalu mewah
untuk kehidupan kampung--saya nyalakan. Di depan pintu saya lihat orang lari menghindari
cahaya. Mukanya bertopeng. Tangannya mem-bawa pikar. Malam-malam,
dengan topeng pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu
habis dirampoknya dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu
pikiran jahat. apa boleh buat karena suara-
suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer mengangkuti
anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh berteriak-teriak
menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat sendiri. Saya percaya,
karena pelda (atau peltu?) yang tinggal di
depan rumah saya, sudah dua malam berturut- turut bicara
keras di gang depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri,
Soekarno sudah tidak ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada
malam kedua ia buka mulut keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya
merasa itu ditujukan pada saya, rokok kretek saya cabut dari bibir
dan saya lemparkan padanya. Terdengar ia melompat sambil memekik.
Jadi kalau saya punya pikiran jahat seperti itu bukan tidak pada
tempatnya. Nah, setiap lampu pagar saya matikan, muncul gerombolan
di depan pintu. Bila saya nyalakan lagi mereka lari. Jelas mereka
muka-muka yang saya telah kenal. Tak lama kemudian batu-batu kali
tetangga samping, yang dipersiapkan untuk membangun rumah,
berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin dilemparkan oleh tenaga
satu orang. Paling tidak dua orang dengan jalan membandulnya dengan
sarung atau dengan lainnya. Kalau anak-anak saya masih di rumah,
terutama bayi 2 bulan itu, saya tak dapat bayangkan apa yang bakal
terjadi. Batu besar berjatuhan di
dalam rumah menerobosi genteng dan langit-langit. Jadi benar-benar
orang menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat pengepel dari
kayu keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian
Joebaar Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di
sini, di tempat saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu
gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan kedua untuk
bertahan adalah memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat
seumur hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari
senjata.
Dengan suara cukup keras
saya memekik: Ini yang kalian namai berjuang? Kalau hanya berjuang
aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini caranya. Datang ke
sini pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini
ini?
Ingar-bingar terhenti.
Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar batu kali menyambar
paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang sekaligus hancur.
Lemparan batu menjadi hebat kembali. Lampu pagar sengaja dihancurkan
dengan lemparan juga.
Saya
dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya dengar
juga suara orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun
cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak
lama kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya.
Waktu saya lihat ke dalam rumah adik saya sudah tidak ada.
Rupanya ia
meloloskan diri dari pintu pagar belakang dan langsung memasuki
tanah sang dukun cinta.
Dan betul saja kata
teman itu: kemudian datang orang- orang berseragam. Metode kerja
yang kelak akan terus- menerus dapat dilihat. Mereka terdiri dari
polisi dan militer. Saya belum lagi sempat menggunakan tongkat dan
samurai saya, mereka belum lagi memasuki pekarangan rumah
saya.
Komandan militer operasi
dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka masuk dan langsung
menyalahkan saya: sia-sia melawan rakyat. Kontan saya jawab:
Gerombolan, bukan rakyat.
Setelah mereka memeriksa
seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak mari kami amankan, segera
pergi dari sini. Saya berteriak memanggil adik saya. Dia muncul,
entah dari mana. Dijanjikan akan diamankan, saya siapkan naskah saya
Gadis Pantai untuk diselesaikan dan mesin tulis. Pada seorang polisi
dalam team itu saya bertanya: kenal saya? Kenal, pak. Tolong
selamatkan semua kertas dan perpustaka-an saya. di situ adalah
perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai
menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi
Soekarno-Sartono-Thamrin masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia
berjanji untuk menyelamat-kan.
Mereka giring kami
berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan mengepung di samping
dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris, golok, belati. Benar,
alat negara itu tidak menangkap gerombolan penyerbu, malah menangkap
yang diserbu. Dan sebanyak itu dikerahkan
untuk menumpas satu-dua orang. Hebat benar membikin momentum qua
perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah,
sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang
dan menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan
menje-rat leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di
kepanduan. Tali mati. Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan
yang akan dibunuh semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal
akan mati dalam keadaan seperti ini. Lebih indah bila dengan
bertarung di atas tanah tempat saya tinggal. Melewati jembatan depan
rumah sakit umum pusat Koptu Sulaiman menghantamkan gagang besi
stennya pada mataku. Cepat saya palingkan kepala dan besi segitiga
itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang pipi.
Saya memahami kemarahannya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada
atasannya, karena tak boleh ikut memasuki rumah saya. Mereka bawa
kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang sedang piket adalah
seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada perwira itu saya
minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan. Kalau
Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi jangan dirusak. Ia
menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah kompleks
perumahan yang saya tak tahu kompleks apa. Dari jendela nampak
puncak emas Monas. Kemudian saya dapat mengenali rumah itu; hanya
masuknya tidak berkelok-kelok melalui kompleks, tetapi langsung dari
jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama saya pernah menemui
Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara
Bukitduri.
Piket mengambil semua
yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin tulis, juga samurai yang
tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal seorang diri rolex
saya dikembalikan, berpesan supaya jangan kelihatan, sembunyikan
baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan tempat di mana sudah
menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang adalah Daryono dari
suatu SB (entah SB apa) dan seorang perjaka jangkung tetangga
sendiri. Piket yang mengembalikan jamtangan itu memasuki ruangan
tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papantulis besar tertulis
dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan menghapus tulisan
itu sambil berguman: apa saja ini!
Seorang bocah berpangkat
kopral, bermuka manis, menghampiri dan menanyai ini-itu. Saya
tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan pukulan dan tempeleng,
kemudian pergi. Kurang lebih dua jam kemudian saya lihat Nissan
patrol datang dan menurun-nurunkan barang. Beberapa contoh ditaruh
di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di lantai. Saya
kenal benda-benda itu: kartotik file saya sendiri, dokumentasi
potret sejarah, malah juga klise timah yang saya siapkan untuk saya
pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti perpustakaan dan
dokumen-tasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun telah
dibongkar, 5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi suratkabar.
Angka-angka itu saya dapatkan dari sarjana perpustakaan yang sekitar
dua tahun membantu saya.
Tangkapan-tangkapan baru
terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa jalan dan dilemparkan ke
lantai. Kemudian datang tangkapan yang langsung mengenali saya. Ia
bertanya mengapa saya berlumuran darah. Baru waktu itu saya sadar
kemejaku belang-bonteng kena darah sendiri, demikian juga celana,
yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan. Dialah yang
bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa menyerbu dan
merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang sedang sarat
berbuah digoncang buahnya. Tak
ada satu cangkir atau piring tersisa. Rumah bung tinggal jadi
bolongan kosong blong.
Jangan
dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang teringat
adalah satu kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal: Tingkat
budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup rendah,
memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada
kata-kata lain lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri
kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia keadilan sebagai belasan.
Dalam
tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia
kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan,
yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan
aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila
orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya
sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau
yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat,
pengalaman yang mengajarkan.
Di antara orang
kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak bisa dan tidak
boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika--saya sudah tidak
ingat dari Mali, Ghana atau Pantai Gading--yang waktu naik mobil
pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa
itu bukan utopi? Saya jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan.
Setiap waktu bom waktu kolonial bisa meletus. Itu kami tidak
kehendaki. Nampaknya Nasakom sebagai kenyataan masih dalam
pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom gagal? Bukankah itu berarti
punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom tersapu? Jawabku: Kami
hanya bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau
Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan nasionalis, agama
maupun komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak
ingat.
Pagi itu-itu diawali
kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa sepatu, semua lututnya
berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R. Moedigdo, yang saya
tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan Jepang. Dia pun tak
terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka baru datang dari tangsi CPM
Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas kerikil jalanan. Menyusul
datang power. Orang- orang militer melempar-lemparkan tangkapan baru
itu dari atas geladak dan terbanting ke tanah. Ruangan telah penuh-
sesak dengan tangkapan baru, sampai di gang-gang. Itu berarti
semakin banyak erangan dan rintihan. Di antaranya terdapat sejumlah
wanita. Sedang gaung dari pers yang menyokong militer sudah sejak
belum ditang-kap, tak henti- hentinya menalu gendang untuk
membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan organisasi massanya:
Gerwani di Lubangbuaya memotongi kemaluan para jendral dan melakukan
tarian cabul dan semacamnya, tipikal buah pikiran orang yang tak
pernah mempunyai cita-cita. Bulu kuduk berdiri bukan karena tak
pernah menduga orang Indonesia bisa membuat kreasi begitu
kejinya.
Kemudian datang waktu
pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan, yang sepanjang jam,
siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan. Juga dari mulut
wanita. Memang ruang yang saya masuki waktu itu tidak seriuh
biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di pojokan seorang
KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki
bersepatu bot menginjak kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di
antara jari-jemari pemuda malang itu disisipi batang pensil dan
tangan itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan
bertanya: Ada apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah
saya, diperiksa oleh seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan
Adil.
Di luar dugaan
pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan seperti
dideritakan pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu tenang
dan sopan, dan mungkin cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai
dengan pertanyaan mengapa saya
berdarah-darah.
Jawab:
terjatuh.
Tapi
itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan. Pertanyaan: Bagaimana
pendapat tentang gerakan Untung?
Jawab:
tidak tahu sesuatu tentangnya.
Pertanyaan:
Apa membenarkan gerakan itu?
Jawab:
Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan- kenyataannya
yang authentik mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan
bisa menjawab pertanyaan itu.
Sebelum
meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa hal
sebelum penangkapan saya. Pertama: sejak semula saya sependapat
bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah
gerakan dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu tetap
bertahan sampai sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim
dalam Journal of Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan
pembunuhan semakin hari semakin banyak dan menekan. Kedua: seorang
perwira intel pernah datang berkunjung khusus untuk menyampaikan,
bahwa militer akan memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai
tikus. Tiga: dua mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang
baru dibangun, masih lengang, di sekitar kampus. Keempat:
pemeriksaan terhadap para tangkapan berkisar pada dua hal, pertama
keterlibatan dalam peristiwa Lubangbuaya, kedua keanggotaan Pemuda
Rakyat dan PKI. Kelima: beberapa hari sebelum penangkapan seorang
pegawai Balai Pustaka mengumumkan dalam harian Api Pancasila di
Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda Rakyat. Karena sebagai
pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai Pustaka, jadi saya datang
menemui direktur BP -- waktu itu Hutasuhut, kalau saya tidak salah
ingat -- dan mengajukan protes karena BP dipergunakan sebagai
benteng untuk menyebarkan informasi yang salah tentang saya.
Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis itu tinggal
beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa plagiat
Hamka ia pernah mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan
hanya sebagian daripadanya saya umumkan.
Dan
memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting
Pemuda Rakyat. Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore ruangan
belakang juga menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya
pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset
mengingat). Setiap Kamis malam
ruangan depan dipergunakan untuk tempat diskusi Grup diskusi Simpat
Sembilan. Setiap pertemuan didahului dengan pemberitahuan pada
kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat dituduhkan
illegal.
Keenam: seseorang
menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah orang lagi, kalau
diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya, akui saja ya--tidak
peduli benar atau tidak; soalnya mereka tidak segan-segan membikin
orang jadi invalid seumur hidup untuk menjadi tidak berguna bagi
dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya. Dan, tidak semua
orang tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang tidak mampu
mengingat--hampir 20 tahun telah liwat.
Jadi waktu pemeriksa
menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab
ya.
Pertanyaan: Apakah
percaya negara ini akan jadi negara
komunis?
Jawab: Tidak dalam 40
tahun ini.
Sebabnya?
Faktor geografi dan
konservativitas Indonesia.
Cuma itu sesungguhnya
isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama dalam penahanan itu
harian Duta Masyarakat memberitakan reportase tentang penyerbuan
gerombolan itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah Kertapati, di mana
disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku curian dari musium
pusat dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi pemeriksaan
berpusat pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah meminjam satu
beca majalah, harian dan buku dari musium pusat. Yang belum saya
kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan harian Medan
Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun baik, akan
bisa ditemu-kan, bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih banyak dari
pada yang masih saya pinjam.
Dengan demikian
pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini dapat dicek
pada proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada instansi
yang berwenang.
Bila ada selisih,
soalnya karena waktunya sudah terlalu lama.
Mungkin Bung bertanya
dari mana saya tahu ada berita dalam Duta Masyarakat yang menuduh
saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul seorang kapten di ruang
tempat serombongan tahanan. Ia langsung mengenali saya, sebaliknya
saya mengenal dia sebagai sersan di RTM tahun 1960. Ia bertubuh
tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya suwing. Saya tak dapat
mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi aku di kamar kapalselam
(sel isolasi) di RTM itu. Banyak
mengobrol, antara lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam
Peristiwa Madiun. Pagi itu ternyata ia
berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana Sjam. Itu untuk
pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera membatalkan
pertanyaanya dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan, tentu tidak
tahu siapa dia. Ramahnya luarbiasa, bawahannya diperintahkannya
untuk mengambilkan kopi dan menyedia-kan veldbed untuk saya. Dan hanya perintah pertama yang dilaksanakan.
Setelah ia pergi seorang sersan gemuk yang terkenal galak, dari
Sulawesi, kalau tak salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya
dengan ramahnya dan menyuruh saya membaca Duta Masyarakat
itu.
Nah Bung, setelah
pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur. Sebelum pergi saya
minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik saya, karena baru
saja datang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya. Ia luluskan
permintaan saya, diketikkan surat pembebasan. Sebelum pergi ia saya
titipi jam tangan saya, untuk dipergunakan belanja istri
saya.
Di Guntur hanya untuk
didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong para tangkapan.
Sepatu sampai sikatgigi dan ikatpinggang. Waktu itu baru saya sadari
di dalam kantong saya masih tersimpan honorarium dari Res Publika
dan pabrik pensil. Semua dirampas dengan alasan: nanti dalam tahanan
agar tidak dicuri temannya. Dari guntur kami dibawa ke Salemba.
Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus tertekuk, tidak boleh
berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam pelataran-pelataran
penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang militer. Waktu
sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho, Pak Pram, di
sini ketemu lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal
bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan biru-tua dalam bulan
November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam
sedan itu saya, setelah diminta "diwawancarai" oleh Sudharmono,
mayor BC Hk. Dan peltu atau pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah
Rompis.
Sejak itu berkelanjutan
perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak sipil saya selama
hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu orang pun dari kaum
manikebuis itu terkena lecet, tidak kehilangan satu lembar kertas
pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup dalam andaian,
sekiranya kaum kiri menang. Dari menara andaian itu mereka
menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan,
pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan,
suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa kemenangan.
Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerjapaksa, mereka
satu jam pun tidak pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat
saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru,
banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main.
Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul
keberingasan.
Tentang A.K.M. sendiri
pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946, di sebuah hotel di
Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya sedang dalam sebuah
missi militer. Ia datang ke hotel itu dan ngomong-ngomong dengan
pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena waktu itu ia redaktur
majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut.
Pertemuan kedua ialah di
Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai Balai Pustaka yang
dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah penyerahan
kedaula-tan ia jadi sep saya dalam kantor yang sama--ya saya sebagai
pegawai negeri dengan pengalaman semasa revolusi sama sekali tidak
diakui, karena semua pegawainya bekas pegawai kekuasaan Belanda.
Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata ia masih dalam hidup
dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain tetap membiakkan
pengalaman kecil-mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung
dalam menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik tolaknya tetap
andaian. Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara
berdepan, dari dulu sampai detik saya menulis
ini.
Dalam pada itu yang
dirampas dari saya sampai detik ini belum dikembalikan. Rumah saya
diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat kapten sampai mayor
atau letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada orang lain. Itu
pun hanya rumah kampung, namun punya nilai spiritual bagi keluarga
dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya
ceritakan.
Saya mendirikannya pada
tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria seorang pengarang adalah
15 persen, langsung dipotong oleh penerbit. Waktu saya menyiarkan
protes tentang tingginya pajak yang 15 persen, tidak lebih dari
seminggu kemudian perdana menteri Djuanda menaikkannya jadi 20
persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga pendirian rumah itu
melalui ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu kayu dari meter
kubik pertama hingga sampai sepuluh dst. Saya merencanakan rumah
berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda motor saya, BSA
500cc.--sepeda motor militer
sebenarnya--juga dikurbankan. Tiba-tiba mertua lelaki datang dan
mengecam: mengapa mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya.
Menyusul
perintah: tembok! Ternyata bukan asal perintah. Ia tinggalkan pada
saya dua puluh ribu rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan, katanya
lagi. Maka jadilah rumah tembok yang terbagus di seluruh gang.
Ternyata tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa
mengerti, seorang pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan
desas-desusnya. Satu pihak mengatakan, saya telah kena sogok Rusia.
ada yang mengatakan RRT. Teman-teman yang dekat
mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang
tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri.
Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah
saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari
penjara Belanda. yang saya lakukan lebih
daripada apa yang saya janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya
adalah rumah terbagus di seluruh kompleks, sekali pun hanya
berdinding kayu jati. (Sekarang memang jati lebih mahal dari
tembok).
Kami
sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau 7
tahun. Orang yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun.
Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa
membuktikan rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ.
Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja
rumah itu, separohnya berikan pada penghuninya. Dan saya bilang:
saya tidak ada prasangka orang yang menghuni rumah saya itu dari
golongan pelacur. Walhasil sampai sekarang tetap begitu
saja.
Baik,
kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami. Saya
sama sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan semua
pengala-man indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal, malah
menjadi fondasi bagi seorang pengarang.
Apa
yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa
dibandingkan yang saya alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958
sepulang dari Konferensi Pengarang A - A di Tasykent lewat Tiongkok
saya tidak diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat
Mandalay,
Burma. Artinya, dengan
kesulitan tak terduga. Sampai di Rangoon pihak Kedutaan RI tidak mau membantu memecahkan
kesulitan saya. Apa boleh buat, tidak ada jalan bagi saya daripada
mengancam akan memanggil para wartawan Rangoon dan
Jawatan Imigrasi Burma, memberikan pernyataan, bahwa ada kedutaan
yang tak mau mengurus warganegaranya yang terdampar. Mereka terpaksa
mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari Rangoon kemudian
datang surat yang menuntut macam-macam.
Saya hanya menjawab dengan caci-maki dengan tembusan pada menteri
luarnegeri, waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu
masih tersimpan dalam arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan
hari saya menghadap Bung Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan
Konferensi di samping juga bingkisan dari Ketua Dewan Menteri
Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, kepadanya, disaksikan oleh beberapa
orang, diantara-nya Menteri Hanafi. Tak terduga dalam
pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian dengan Bung Karno. Ia
memberi saya suatu instruksi dan saya menolak, karena sebagai
pengarang saya punya porsi kerja sendiri. Pertikaian ini kemudian
melarut, yang saya anggap wajar, sampai akhirnya atas perintah
Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih keras di
Cipinang, karena menentang PP 10. Hampir satu tahun dalam penjara,
kemudian dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan satu nafas
dengan para pemberontak PRRI-Permesta sebagai hadiah terbebasnya
Irian Barat. Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution
itu-itu juga memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan
pada angkatan perang dalam melawan PRRI di
SumBar.
Penahanan
1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya yang
melakukan adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama sekali
tidak ada setitik pun keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya
menuliskan apa yang saya anggap saya ketahui, dan berdasarkan
padanya pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas, lengkap. Alamat
saya pun jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat
memindahkan rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak
diberikan kepada saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan
surat pada Bung Karno melalui
Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala redaksi
Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk mendapat
hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah sebagai
penipu. Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak
meneruskannya, dengan alasan ada orang lain menyimpan tembusannya.
Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu
masih tersimpan.
Dapat
Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih tidak
berarti dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri
alami.
Saya
heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyatakan keheranannya
mengapa namanya dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional.
Terasa lucu dan naif, selama ia sendiri tidak punya kekuasaan untuk
menentukannya. Katanya Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu dari
halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak memberi
penjelasan.
Di
halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang
Taslim Ali. Saya sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan
Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang yang "selalu menterornya
dengan meletakkan pestol di atas meja" -nya itu adalah saya.
Pramoedya Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal
28 November 1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3): "Achdiat pernah
bercerita, bahwa Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan
meletakkan pistol di meja." Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa
yang saya temui dan saya teror? Kiranya, kalau Goenawan tak
berandai- andai, A.K.M. sendiri yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan
nasional memang pernah saya bersenjata api. Suatu hari dalam 1958.
Bukan pestol, tapi parabellum. Tempat: dalam sebuah jeep dalam
perjalanan antara Bayah dengan Cikotok. Saksi: seorang letnan
angkatan darat. Ia membutuhkan bantuan saya untuk menyelidiki benar-
tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda sebelum
meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan
kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka. Mengapa bersenjata?
Karena sebelumnya sebuah kendaraan umum telah dicegat DI, dibakar.
Dan bangkainya masih nongkrong di pinggir jalan. Sebagai pengarang
saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan
peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari
menit, bahkan detik. Dan saya pun tidak pernah bisa diyakinkan ada
orang datang untuk menteror Taslim Ali. Apa yang bisa didapatkan
dari dia? Sebaiknya
A.K.M. menyebut jelas siapa nama penteror itu.
Di
halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: "di depan rumahnya saya sempat menyusukan selembar
10 ribu rupiah ke dalam kepalannya. Dia agaknya begitu terharu,
sehingga nampak matanya basah tergenang," dan "saya tahu Pram tentu
butuh duit ketika itu." Memang agak janggal menampilkan saya saya
semacam itu. Pada waktu itu saya tidak dapat dikatakan dalam
kesulitan keuangan. Segera setelah pulang dari Buru sejumlah bekas
tahanan Buru datang pada saya minta
dibantu memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan. Memang
pihak gereja telah banyak membantu, dan saya menghormati dan
menghargai jasanya pada mereka dengan tulus. Tetapi selama status
dan namanya bantuan barang tentu tidak mencukupi kebutuhan apalagi
untuk keluarganya. Jadi saya dirikan sebuah PT pemborong bangunan,
sebuah usaha yang bisa menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M.
datang ke rumah telah 36 orang ditampung, sebagian berkeluarga.
Tidak kurang dari 5 rumah dikerjakan, di antara 2 rumah mewah.
Ada
di antara mereka menumpang ada saya. Usaha ini telah dapat memberi
hidup (terakhir) 60 orang dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu?
Beberapa
kali datang intel, yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi
tempat berkumpul tapol. Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi
ultimatum untuk menyediakan uang sekian ratus ribu dalam sekian
hari. Seseorang datang dan
mengibar-ngibarkan kartu identitasnya sebagai intel Hankam. Seorang
datang mengaku sebagai pegawai sospol Depdag dengan tambahan
keterangan, teman-temannya orang Batak banyak, dan orang tidak
selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan
mereka. Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak
kalah banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut
tenaganya karena tua. Mereka belum terbiasa dengan teknik baru
pembangunan rumah sekarang. Mereka tidak terbiasa dengan material
baru dan pengerjaannya. Di samping itu kerjapaksa berbelas tahun
tanpa imbalan tanpa penghargaan, setiap hari terancam hukuman, telah
berhasil merusakkan mental sebagian dari mereka. Dalam pekerjaan
yang mereka hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang
impian berbelas tahun dalam posisinya sebagai budak-budak Firaun
adalah terlalu indah. Seorang yang di Buru mempunyai setiakawan
begitu tinggi dan diangkat jadi kepala kerja, kemudian lari membawa
uang, dan bukan sedikit. Seorang yang relatif masih muda, suatu
malam datang dengan membawa truk dan mengangkuti material bangunan
yang telah tersedia dan menjualnya di tempat lain dengan harga
rendah untuk dirinya sendiri. Seorang lagi yang juga tergolong muda,
sama sekali tanpa ketrampilan tukang, mendadak mengorganisasi
pemogokan dengan tuntutan berlipat dari hasil kerjanya. Pick-up
Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman Savitri, dalam 3 bulan sudah
berban gundul dan penyok-penyok.
Pukulan lain yang tak
kurang menyulitkan datang. Memang sudah diselesaikan sekitar 8 rumah
dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua di antara yang dibangunkan
rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya, mengetahui kedudukan hukum
kami lemah. Berkali-kali Savitri minta pertanggungjawaban atas
bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya tak mampu lakukan itu.
Tidak lain dari saya sendiri yang akan merasa malu, dan semua harus
saya telan sendiri. Akhirnya saya perintahkan pembubaran PT itu
tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban pada teman- teman
Savitri.
Nah Bung, seperti itu
situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu, yang sama sekali
tidak pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M. untuk
memperindah gambaran tentang dirinya. Semua kebaikan tidak akan
sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun tentu saja
tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti
mempunyai motif. Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai
investasi, yang setiap waktu dikutip ribanya, sekalipun hanya riba
moril, itu memang betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa
di dunia ini tidak pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru
dan sejumlah orang yang datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya
dari 60 sampai 100 ribu, di antaranya 3 mesin tulis, yang
tiga-tiganya langsung diteruskan untuk tapol yang lebih memerlukan.
Demikian juga halnya dengan uang pemberian. Saya pribadi praktis
tidak ada uang dalam kantong. Itu akan kelihatan bila berada di luar
rumah. Di Buru pun ada sejumlah pemberi, dari lingkungan dalam dan
luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu. Dalam keadaan sulit di
Buru pun orang normal tidak bisa tinggal jadi penerima saja.
Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan
tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali
berturut satu kardus besar berisi kacamata, dan pakaian untuk saya
pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.) Maksud saya hanya untuk
menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi
baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan
menerima adalah kebiasaan yang perlu
dinyatakan.
Jangan dikira saya
menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog bagi saya tetap
lebih menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya dialog adalah
pencerminan jiwa demokratis. Tetapi ucapan all forgiven and
forgotten atau we've forgiven but not forgotten, benar - benar
produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari
kompleks inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar
dirinya.
Tentang Pancasila di
hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali menyarankan untuk
membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno, khususnya
sekitar sebab mengapa presiden RI membubarkan konstituante itu.
Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima Pancasila sebelum
dapat interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non-
formal.
Dalam hubungan ini saya
teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah di alun-alun Klaten
pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan pada suatu golongan
masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi redaksinya) yang
membaca kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu, Ketuhanan yang Maha
Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan yang Maha Esa;
Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan yang Maha Esa.
Dia tidak dalam keadaan bergurau.
Selama 14 tahun dalam
tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi kebenaran, lebih dari itu.
Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih tepatnya dengan istilah
orde baru santiaji, orang tidak menyinggung sila-sila lain sesudah
sila pertama, kalau menyinggung pun hanya sekedar penyumbat botol
kosong: beragama dan tidak beragama berarti sembahyang. Tidak
bersembahyang berarti tidak pancasilais, bisa juga anti-pancasila.
Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan untuk menter-jemahkan alam
pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu membebaskan diri
dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, pangkat dan
tanda-tandanya--dan bagi suku Jawa cukup lengkap di dideretkan dalam
sastra wayang.
Berdasarkan pengalaman
sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh
Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan nasionalisme.
Baru
pada 1946 saya pernah mendapat tugas untuk memberi penerangan
tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan. Selanjutnya tetap tidak
ada pertautan antara Pancasila dengan
Revolusi.
Saya
menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini,
sekali pun dengan Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami
di-buru-kan sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan
sesuatu protes. Dan pertanyaan kemudian, apakah ia tetap
berpandangan demikian--artinya tak perlu melaksanakannya dalam
praktek--pada waktu kepentingan dan keselamatan jiwanya terancam?
Bicara di lingkungan aman memang lebih mudah untuk siapapun, dan:
tanpa pembuktian. Dalam hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di
hlm. 7 sebagai pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana
Australia saya mempunyai
kisah.
Pada 1984, Mr. Moh. Roem
terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM. Seorang dokter
menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan kedatangan saya.
Saya tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak Roem atau ambisi
si dokter itu saja. Langsung saya berangkat bersama dengannya. Di
ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih dihubungkan pada alat
pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat
sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi. Menghadapi orang
dalam keadaan gawat tentu saja saya tidak bicara apa-apa. hanya
beliau yang bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya harus
mengundurkan diri untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan
sendiri. Terlalu banyak yang disampaikannya pada saya untuk orang
dalam keadaan gawat seperti itu. Satu hal yang berhubungan dengan
Pancasila dan demokrasi Barat, dan beliau sebagai ahli hukum,
adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu dipertimbangkan dengan adil,
tidak seperti selama ini dinilai. Dalam sejarah kita telah
dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya karena demokrasi
parlementer Barat.
Nah, Bung Keith, inti
persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya menggunakan hak
saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada pada kaum
manikebu. Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka tak
punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu
secara formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap
menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang
perlu disanggah. Sedang
ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan
politik terakhir. Beberapa minggu kemudian beliau meninggal
dunia.
Saya
belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya di
luar hubungan dengan surat terbuka Achdiat K.
Mihardja.
Tak
lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari
M.L., yang intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja
saya mendapat kesan kuat, pembicaraan kita Bung teruskan padanya.
Terima kasih, bahwa hal-hal yang tidak jelas sudah dibikin terang
olehnya.
Untuk
tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan khusus
ataupun umum ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya menyetujui
kehidupan bipoler. Saya membenarkan adanya dua superpower, bukan
saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani politik
ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya seluruh
dunia akan jadi bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya dan
kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi. Dalam tingkat nasional saya
menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau
tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak
berkembang. Demokrasi dengan
opposisi adalah juga pernyataan makro nurani politik nasional. Dia
adalah juga pencerminan mikro nurani pribadi manusia, yang
tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan dengan serba naluri
tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun
tidak.
Semoga surat kelewat
panjang ini--lebih tepat usaha pendokumentasian diri sendiri--ada
manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila
diperbanyak.
Salam pada semua yang
saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang pernah saya
kecewakan.
Belakangan ini kesehatan
saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan ramuan tradisional yang
ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan melalui tes urine dengan
benedict kadar gula yang positif dalam 24 jam dapat menjadi negatif,
yang tidak dapat saya peroleh melalui sport dan kerja badan selama 2
minggu.
Salam hangat untuk Bung
sendiri dan keluarga.
Tetap
(tanda tangan).
Pramoedya
Ananta Toer
Sumber:
Demi Demokrasi 2 (1985)
***********
0 0 0 0 0 0 **************
Membangkit
Batang Terendam
Menebus
Kembali Sejarah Puisi Indonesia
Oleh:
Alex Supartono
Judul:
Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil .
Tim
Penyunting: Asahan Alham, Mawie Ananta Jonie, A. Kohar Ibrahim,
Carra Ella Ouwman, Sobron Aidit, dan Hersri
Setiawan
Penerbit:
Amanah Lontar (Jakarta) bekerja sama
dengan Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (Amsterdam),
tahun 2002
Jumlah
halaman: xiv + 253 halaman
ASAHAN
Alham (dulu Asahan Aidit), adik bungsu Ketua CC PKI terakhir Dipa
Nusantara Aidit, dikirim belajar ke Moskwa tahun 1961. Ia lulus tahun 1966.
Nama Aidit yang dia sandang menghentikan langkahnya pulang. Ia
memilih tinggal melanjutkan studi di Moskwa. Perpecahan dalam
Gerakan Komunis Internasional antara garis Moskwa dan garis Peking
memuncak, dan orang-orang Indonesia di negara-negara ini terseret ke
dalamnya.
Asahan mengambil
jalannya sendiri: pindah ke Vietnam untuk melanjutkan sekolah.
Perang menuntun Asahan bergabung dengan pejuang pembebasan Vietkong
sambil kuliah dari satu goa ke goa lain dan bermain biola dalam
ensamble pasukan seksi penghibur. Tahun 1978 ia mempertahankan
disertasinya dalam bahasa Vietnam. Ia menikah dengan seorang
perempuan Vietnam dan memiliki seorang putra. Enam tahun kemudian,
mereka berpindah mukim ke Belanda, sampai
sekarang.
Kisah Asahan cuma satu
di antara cerita perjalanan para eksil Indonesia yang berusaha
direkam dalam kumpulan puisi ini. Babak demi babak hidup mereka
mengalir searus perubahan politik internasional sampai sekarang.
Sebagian besar kini melabuhkan diri di Swedia, Jerman, Belgia,
Perancis, bahkan Belanda, walau dengan dada yang sesak tersumbat (A.
Kembara, Kehadiran, hlm 5).
Ketidakpastian arah
perjalanan mereka setelah Tragedi 1965 di Indonesia, melahir-kan
persahabatan, juga perselisihan. Perpecahan
antara garis Moskwa dan garis Peking mempengaruhi hubungan eksil
Indonesia di kedua tempat
ini. Banyak perselisihan yang tak lekang dimakan zaman, beberapa
malah membawanya ke liang lahat. Ada juga yang sebaliknya, seperti
kata Satyadharma dalam Salaman (hlm 207), “menertawakan pertengkaran
sebagai kebodohan masa lalu”. Bait-bait yang terkumpul dalam kusajak
(begitulah mereka menyebut “kumpulan sajak”) ini adalah catatan
sebuah persahabatan yang tumbuh mengatasi permusuhan yang berkembang
di komunitas mereka. Asahan yang dari Moskwa, bersama Mawie yang
dari Peking dan Hersri yang sempat mengecap pembuangan tahanan
politik Pulau Buru bersama penyair lainnya ketemu dan membangun
Kreasi dan Arena-dua jurnal sastra-yang mereka terbitkan dengan
kerja keras dan dedikasi purna
Bersama-sama
para penyair ini berusaha saling mendukung usaha mencipta. Bila
kondisi kantung dan kesehatan mengizinkan dan urusan kerja bisa
ditinggalkan, mereka berkumpul di salah satu rumah untuk saling
mendengarkan karya dan berdiskusi. Seperti cerita Mawie dalam Baca
Sajak Tutup Tahun (hlm 139) “Agam baca sajak tentang mati, Asahan
baca puisi tentang kenangan pada dara, Hersri bicara tentang Jitske
dan aku baca sebuah surat musim bunga”. Sesekali
kesempatan ini mereka pakai sebagai tempat berkumpul dengan
kawan-kawan lama yang kebetulan sedang melawat ke Eropa seperti saat
mereka menjamu Pramoedya Ananta Toer dan
rombongannya.
Walau
hampir semua dari mereka menguasai beberapa bahasa, mereka tetap
menulis semua karyanya dalam bahasa Indonesia. Lebih dari
itu, kebanyakan karya mereka sepertinya ditulis hanya untuk orang
Indonesia dan
tentang Indonesia, baik dalam
kenangan, perjuangan, ideal, juga impian. Dengan “bahan baku” seadanya dari pemberitaan media massa yang
keberpihakan pemberitaannya sering jadi hambatan untuk merasakan apa
yang tumbuh di tengah semua gejolak yang terjadi di Tanah Air,
mereka tidak peduli. Mereka seolah abai dengan tahunan hidup di
Rusia, Cina, Vietnam, Jerman, Ceko, Hongaria,
Perancis, Belanda, Swedia, Albania, dan Kuba.
Bumi yang
mereka injak, tak lebih dari seka-dar sampiran. Karakteristik
menonjol eksil Indonesia, dan penulis-penulisnya, adalah keterpakuan
mereka pada Tanah Air, yang pada gilirannya menjadi semacam pagar
kreativitas.
***
SOAL ini mungkin bisa
sedikit terjelaskan kalau ditoleh latar sejarah mereka menjadi
eksil. Saat peristiwa tahun 1965 terjadi, mereka sedang berada di
luar negeri dengan berbagai tujuan, mulai dari tugas belajar,
anggota sekretariat organisasi internasional, sampai menjadi
delegasi suatu perayaan. Informasi yang simpang siur, identifikasi
diri dengan ide-ide kiri yang sedang ditumpas kelor di Tanah Air,
membuat mereka harus menunda kepulangan. Penundaan terus berlanjut
seturut makin digdayanya penguasa baru. Pokok penting di sini adalah
perkara “penundaan kepulangan”, karena di atas kesadaran inilah
semuanya mereka bangun. Sampai akhir tahun 1980-an, kewarganegaraan
Indonesia enggan mereka lepaskan. Mereka memilih berstatus
pengungsian politik daripada harus berganti kewarganegaraan, dengan
keyakinan suatu saat akan pulang. Anjak usia senja jualah kemudian
yang berhasil memaksa mereka berganti kewarganegaraan, sebagai
syarat mendapat pensiun. Sekarang ketika kesempatan pulang datang,
usia pula yang menghambat untuk mulai membiasakan lagi jongkok di
toilet dan uang pensiun yang tidak bisa dikirim ke Tanah
Air.
Dalam dunia
tulis-menulis, latar di atas tentu saja berbicara banyak. Tidak ada
dorongan bagi mereka belajar bahasa setempat untuk kebutuhan
menulis, karena “toh akan pulang”. Tak mengherankan kalau dalam
pengantar singkat buku ini, Asahan Alham memaparkan kesulitan
mengumpulkan puisi dengan tema kehidupan di pengasingan. Akhirnya
yang terkumpul adalah tema-tema yang menunjukkan bahwa mereka adalah
penulis eksil: kampung halaman, kegelisahan melihat situasi politik
Tanah Air, perjalanan tanpa tujuan dan akhir, atau kabar kepada
sahabat di Tanah Air. Mereka berkarya dengan kesadaran sebagai orang
yang sedang berada di luar negeri, bukan tinggal. Memori dan kabar
dari Tanah Air lebih dominan sebagai sumber inspirasi dari pada
keseharian nyata di negeri orang. Ingatan adalah satu-satunya tempat
identitas bisa mereka jangkarkan karena secara legal mereka kini
bukan orang Indonesia lagi dan komunitas Indonesia yang “resmi”
berada di luar negeri pun menolak mengakui mereka. Harta mereka
adalah “cermin sekeping” (Soepriadi Tomodihardjo, Cermin di Dinding,
hlm 187) yang sekali waktu memantul-kan bayang nenek moyang yang tak
lagi bisa mereka akui tanpa rasa getir.
***
PARA penulis eksil
adalah generasi yang tumbuh ketika “Indonesia” adalah suatu tanda
kemenangan dan identitas baru. Semua penulis memiliki idealnya
sendiri tentang Indonesia dan itu yang mereka tunjukkan dalam
karya-karyanya, entah dalam wujud nasihat atau rasa bangga akan
generasi muda, ataupun kesedihan mendapati kondisi Indonesia yang
betul-betul lain ketika mereka berhasil pulang untuk menengoknya
kembali. Indonesia yang ada di pikiran adalah kampung halaman dengan
sanak saudara yang ramah, bukan parade kaya-miskin dengan jurang
sedalam perut bumi.
Kekhususan penulis eksil
ada pada bagaimana kesadaran mereka yang khusus itu
terepresentasikan dalam karya. Apakah itu menjadi propagandis yang
verbal atau haru-biru yang cengeng, Apakah itu sastra tinggi atau
sastra maki-maki, Apakah itu mengkhianati kaul dua tinggi (tinggi
mutu ideologis dan tinggi mutu estetis) yang pernah mereka sumpahkan
sebagai garis demarkasi kualitas karya seni, itulah sastra eksil
Indonesia, yang adalah bagian sejarah sastra Indonesia. Bukan untuk
berkilah soal pertanggungjawaban kualitas, seperti yang dimintakan
Asahan dalam pengantar: “Tanpa menyadari kekhususan seniman eksil,
karya-karya mereka akan mudah diremehkan orang” (hlm
xi).
Pembicaraan tentang isi
dan mutu mengandaikan adanya pencatatan dan dokumentasi, bukan saja
tentang karya, tapi juga mengenai riwayat kehidupan mereka. Sayang
sekali tujuan perekaman ini belum bisa terpenuhi oleh buku ini.
Selain banyaknya kesalahan penulisan nama yang cukup mengganggu,
kefatalan lain adalah sajak-sajak yang ditampilkan tidak dicantumi
tahun dan tempat mereka ditulis. Padahal karya-karya ini adalah
pantulan keadaan politik internasional dan nasional yang mengubah
hidup mereka orang seorang. Sebenarnya pokok tersebut bisa dikejar
di kata pengantar, di mana paling tidak konteks ruang dan waktu
lebih kurang bisa dipaparkan. Namun, pendahuluan yang ditulis Asahan
Alham masih sibuk menjelaskan akibat tanpa menerangkan sebab,
sehingga terkesan apologetis. Di luar cacat-cacat itu, selebihnya
buku ini benar-benar prima, mulai dari fisik material (kualitas
cetak, jenis kertas, penjilidan) sampai sistematika (ada indeks
judul dan indeks baris pertama).
Selama tinggal di Uni
Soviet atau RRC, para penulis ini sangat miskin informasi tentang
dunia luar. Akses mereka terhadap komunikasi dan informasi hanya
mungkin tersedia dengan seizin pemerintah setempat. Keadaan ini
berubah total ketika mereka pindah ke Eropa Barat pada paruh pertama
tahun 1970-an. Apa yang ditulis A Kohar Ibrahim tentang
perjalanannya naik kereta api membelah benua Eropa dalam Transit dan
Pemeriksaan (hlm 24-25) mustahil dipahami tanpa mengingat konteks
tempat dan waktu sajak-sajak itu diciptakan. Juga catatannya tentang
pesan Utuy Tatang Sontani yang sering mengamati Kohar dan
kawan-kawannya mengelola koran dinding di Nanchang, RRC. Pencantuman
tahun juga memungkinkan sajak-sajak yang dikumpulkan diatur dalam
urutan yang memungkinkan pembaca melihat naik turunnya hidup si
penyair dan menjelaskan mengapa, misalnya, sajak Asahan Alham
berjudul Kenangan Kelabu, 1970 diletakkan lebih dahulu daripada Desa
Can Huu Ha Tay, 1968. Karya-karya periode awal eksil Indonesia
hingga akhir tahun 1960-an biasanya disiarkan dalam berbagai berkala
yang dibiayai (dan diawasi) pemerintah setempat (Suara Rakyat
Indonesia di Tiongkok, Tekad Rakyat di Uni Sovyet, API di Albania),
sehingga tidak mengherankan kalau isinya pun selalu seragam:
kesetiaan pada ideologi komunis atau makian pada imperialis. Tapi,
ada juga berkala sempalan yang berusaha independen, yang sayangnya
berumur pendek dan ruang kebudayaannya sangat sedikit. Ketika mereka
mulai eksodus ke Eropa Barat, kondisi keuanganlah yang jadi
pembatas. Kebanyakan karya mereka kumpulkan sendiri, diperbanyak
dengan fotokopi, sebatas kemampuan kocek penulis dan
kawan-kawannya.
Kadang ada karya yang
bisa sampai ke Tanah Air melalui berbagai jalur klandestin, dan
beredar di kalangan terbatas dari tangan ke tangan. Si empu dan
khalayaknya ditalikan oleh solidaritas yang bisa jadi adalah
romantisme, sedikit urusannya dengan estetika. Penulis eksil waktu
itu adalah paria, bagian sebuah perjalanan sejarah yang disumputkan.
Sekarang si paria menjadi si anak hilang, sedikit demi sedikit
diangkat ke permukaan, pertanda songkok yang menutupi periode yang
menyakitkan itu mulai dibuka dan luka itu mulai diakui, kalau
mungkin coba disembuhkan. Seperti “membangkit batang terendam”,
penerbitan buku ini seperti menebus pusaka yang pernah digadaikan
sejarah.
***
PENERBITAN buku ini
adalah bagian dari kerja penyembuhan itu, seperti juga penerbitan
karya penulis eksil yang dilakukan dalam setahun terakhir ini.
Lantas diteruskan dengan pencatatan-pencatatan lain yang sudah lama
menunggu, agar kita bisa tahu tentang apa yang terjadi dengan
nama-nama mentereng di era tahun 1950-an dan 1960-an yang tak akan
pernah kembali seperti: Utuy Tatang Sontani (meninggal di Moskwa, 17
September 1979), Suparna Sastra Diredja (meninggal di Amsterdam
1996), Basuki Resobowo (Amsterdam 1998), wartawan senior Suryono
(Amsterdam 2000), Noor Djaman, Edi Supusepa, Emha, dan masih banyak
yang lain.
Pencatatan tentang
fenomena eksil Indonesia juga bisa jadi seperti mengumpulkan mutiara
yang hilang. Kebanyakan eksil Indonesia adalah orang-orang pilihan
pada jamannya, yang dikirim untuk tugas belajar oleh pemerintahan
Soekarno. Mereka sekarang adalah peneliti, dokter spesialis
transplantasi alat reproduksi laki-laki, ahli metalurgi, ahli kimia
pertanian, atau pencipta kurikulum pendidikan untuk anak yang
menderita kelainan yang diakui keahliannya di tempatnya berada. Buku
ini seharusnya juga menjadi sebuah mula untuk terus mencatat banyak
yang tersisa. Sehingga kita paling tidak tahu, bahwa ahli atom nomor
satu Hongaria sekarang, yang mewakili Hongaria di Komisi Bom
Hidrogen Eropa dan yang membangun banyak reaktor atom di
negara-negara di Afrika Utara, bernama IGA Asrama Manuaba, putra
Bali yang dikirim Soekarno belajar ke sana 40 tahun
lalu.
Alex
Supartono dan Lisabona Rahman, Anggota Tim Penelitian Komunitas,
Pers, dan Sastra Eksil Indonesia
Sumber:
KREASI No6/2002
***************
0 0 0 0 0 0******************
Orde
Baru, Candu bagi Penguasa
Oleh
.
Haryo Sasongko
Karl
Marx, bapak komunisme, filsuf politik Jerman itu mengatakan, agama
adalah candu bagi rakyat (religion is the opium of the people).
Raymound Aron, wartawan dan ahli filsafat politik Prancis
mengatakan, marxisme adalah candu dari kaum intelektual (Marxism is
the opium of the intellectuals). Dia juga mengatakan, kalau candu
Kristen membuat orang bersikap pasif, candu komunis mendorong orang
berevolusi (the Christian opium, makes the
people passive. Communist opium, incites
them to revolt).
Edgar
Snow, penulis Amerika mengatakan, di Rusia agama adalah candu bagi
rakyat. Di Cina, candu adalah agama bagi rakyat.. Untuk rakyat Indonesia, Orde Baru
adalah candu bagi penguasa. Penguasa yang mana? Tentu saja penguasa
yang resminya bukan Orde Baru, tetapi tidak resminya meneruskan
politik Orde Baru. Mereka yang berkuasa setelah Bapak Orde Baru
tumbang selalu menyebut dirinya "bukan Orde Baru" tetapi di dalam
otaknya, juga penalarannya, tetaplah Orde Baru. Karena otak dan
nalar mereka memang sudah dipenuhi candu warisan Bapak Pembangunan .
Sebagai
akibatnya, era Reformasi sesungguhnya merupakan era Orde Baru yang
dibarukan kembali. Suatu proses daur ulang politik dari
serpihak-serpihan sampah yang bukan hanya tak berguna tetapi juga
mengandung banyak virus yang kemudian disajikan kembali ke tengah
rakyat berupa politik lama kemasan baru yang tak sesuai dengan
cita-cita Reformasi. Tidaklah aneh bila di masa Reformasi
stigmatisasi terhadap sesama anak bangsa masih melestarikan
stigmatisasi yang telah dicanangkan oleh penguasa Orde Baru. Ini
terlihat bukan saja pers mulai kembali kehilangan kebebasannya,
suara kalangan mahasiswa kembali dibungkam, tetapi sejarah yang
berlumuran darah di masa Orde Baru juga tetap menjadi sejarah
berlumuran dendam di masa Reformasi.
Contoh
konkrit adalah para korban stigma "pemberontakan PKI" yang selama
era Reformasi selalu menemui jalan buntu untuk mendapatkan kembali
hak perdatanya, serta dipulihkan martabat dan hak sosialnya sebagai
warganegara Indonesia. Mereka yang
telah kehilangan segala-galanya selama berada di bawah pemerintahan
otoriter rezim Orde Baru, tak dapat memperoleh kembali sebagian
kecil, apalagi semua yang hilang itu. Mereka juga masih tetap
dihalangi untuk mempergunakan hak politiknya, apalagi yang berkait
dengan wilayah legislatif. Karena itu tetap terjadi penolakan
terhadap mereka (dan keluarganya) untuk menjadi caleg dengan
berbagai alasan, antara lain mengkhawatirkan akan terjadinya
"pemberontakan PKI" lagi. Kenapa ada kata "lagi", sementara
bukti-bukti sejarah justru semakin kuat membuktikan tidak pernah
terjadi "pemberontakan PKI". Siapa yang sebenarnya menyiapkan
pemberontakan untuk kemudian merebut kekuasaan dari tangan Presiden
Soekarno pada tahun 1965 dan terlaksana sejak keluarnya
Supersemar?
Komunisme, dipandang
sebagai candu yang dikawatirkan akan meracuni otak dan nalar rakyat.
Padahal yang terjadi, para penguasalah yang otak dan nalarnya telah
kecanduan politik stigmatisasi takut pada hantu komunis. Ideologi
yang sebagai dasar sistem pemerintahan di berbagai belahan bumi ini
telah tumbang secara mondial. Orang yang dihantui ketakutan terhadap
sesuatu yang sudah tidak ada, itulah orang yang otak dan nalarnya
telah dipasung oleh candu. Usulan pencabutan TAP MPRS XXX/66
diinterpretasikan sebagai "kebangkitan kembali PKI". Class Action
untuk mendapatkan kembali hak perdatanya, diterjemahkan sebagai "Mau
menghidupkan kembali komunisme". Ya, semua hidup ketakutan pada
hantu yang tak pernah dilihatnya.
Karena itu, di sepanjang
jalan yang melintasi beberapa kota (antara lain di Jawa Tengah
bagian selatan), masih bertebaran spanduk bertuliskan "Waspadai
Bahaya Laten Komunis". Kenapa tidak ada spanduk "Waspadai Bahaya
Laten Orde Baru"? Padahal justru inilah candu yang benar-benar
berbahaya, yang akan memasung kembali hak-hak rakyat yang telah
terjadi selama Orde Baru berkuasa.
Atau, inilah mungkin
bukti nyata bahwa para penguasa di era Reformasi tak lebih dari
kepanjangan tangan kepentingan politik Orde Baru? Pemimpin Orde Baru
boleh lengser, tetapi penerus mereka hanya langsir untuk kembali . Dan di era Reformasi ini, semua sudah
menjadi nyata. Di masa Orde Baru, kebenaran telah dimanipulasi oleh
kekuasaan. Di masa Reformasi, kekuasaan telah memanipulasi
kebenaran. Lain kalimatnya, sama hakekatnya. Mengutip judul sinetron
yang ditayangkan di layar televisi: "Awas di Sini ada Setan!" Banyak
yang menonton, tetapi tak ada yang menemukan di mana gerangan si
setan berada, kecuali hanya dalam khayalan.
***************
0 0 0 0 0 0******************
ASAHAN
ALHAM AIDIT:
Roman
Memoar
"ALHAMDULILLAH"
III
(15)
tanah
Pemukiman
Moskow
- 1965 – Peking
Dari
R, saya menerima secarik kertas yang pengirimnya adalah tante Annie.
Kata awalnya terasa agak lucu: "Beste Sulaiman Divendal". Saya telah
diberi marga oleh tante Annie, orang yang saya tumpangi. Apakah ini
satu sinyal dari tante bahwa saya sudah harus memikirkan sebuah nama
famili buatan karena tante Annie dan teman-temannya telah mulai
memikirkan soal naturalisasi saya, setelah mendapat izin tinggal
resmi, yang mereka bilang itu sangat perlu agar saya bisa merambat
secara kuat dan dilindungi hukum di pemukiman yang akan saya jadikan
tanah air ke dua ini. Tapi isi surat,
cumalah meminta agar saya datang ke Haarlem, ke rumah beliau untuk
mengambil sepeda yang telah beliau beli untuk saya pakai. Tante
Annie memang selalu memikirkan semua keperluan saya yang saya
sendiri bahkan tak terpikirkan.
Di
satu permulaan musim gugur yang berangin dan kelabu saya berangkat
dengan sebuah bus menuju kota
Haarlem. Ketika akan memasuki
kota Haarlem, ada sebuah hutan atau
taman hutan yang saya lalui. Dedaunan mulai berguguran dan bertukar
warna. Saya lalu teringat akan sajak-sajak Pushkin. Dia seorang
penyair Rusia pemuja musim gugur yang digambarkanya sebagai pesta
warna dedaunan yang berjatuhan ke bumi diiringi symphonie alam
bersuasana puitis dan melankolik. Di kantong saya ada sebuah Walkman
I, anak R yang sedang memutar konsert 4 musimnya Antonio Vivaldi.
Musim gugur Belanda memang tidak seindah musim gugur Rusia dan
bahkan tidak seenak musim gugurnya Rusia, memang. Tapi saya lebih
merasakan suasana puitis alam Belanda di musum gugur. Mungkin oleh
Vivaldi yang telah becampur dengan anak bini saya di dalamnya yang
masih di luar keberadaan mereka di tengah saya. Saya lalu mematikan
walkman saya ,karena sudah terasa gejala
serangan melankolik yang bagaikan seorang diabetik dalam situasi
hypoglucose yang memerlukan gula, lemah lunglai yang ahirnya lumpuh.
Setibanya
di rumah tante Annie, di tangga masuk ke atas, sudah saya lihat
sebuah sepeda yang akan saya terima nanti itu. Tidak baru, tapi dan
saya menyenanginya. Kami ngobrol bertiga, dengan Oom, yang tampak
lebih tua dari tante Annie, bertubuh tinggi dan masih aktif
mengitari kota Haarlem dengan
Brommer-nya. Tapi kehadiran Oom tidak lama dan segera dia permisi
naik ke atas meninggalkan kami berdua, seolah dia tahu, tante Annie
hanya untuk saya, setiap saya datang ke rumah
mereka.
-
"Hei, Sulai, apa yang kau ketahui tentang "Biro Khusus " dalam tubuh PKI dan apakah kau juga
pernah kenal dengan itu Syam Kamaruzzaman"?. Pertanyaan Tante Annie
memang bisa muncul mendadak di tengah pembicaran yang bagaimanapun.
Bahkan kadang-kadang di dalam tram atau bus yang sedang ramai
penumpangnya. Dan sekarang ketika
sedang menikmati sepotong taart yang beliau
sajikan.
-"Saya
tidak tahu apa dan siapa itu, Tante. Yang saya tahu, itu cuma omong
kosong yang dibikin Suharto yang harus diperankan oleh Syam. Seperti
Nero memfitnah orang Kristen yang membakar kota
Roma".
-"Kapan
pertemuanmu yang terahir dengan Aidit?".
Pikiran
saya lalu terbang ke Cina, ke Peking pada bulan Agustus 1965. Ketika
sebagian besar teman-teman saya pada berlibur ke Eropa Barat, Berlin
Barat dan Belanda terutamanya, tapi saya menukar dollar yang kami
terima dari Kedutaan menjadi rubel untuk beli karcis kereta ke
Peking. Ada sebagian teman yang mengangap
saya orang sinting.
Dan
memang sayapun merasa sinting, mengapa tidak, ke Barat adalah selera
remaja, kebebasan, barang kelontong: baju dan kaos kaki nylon,
sepatu milyuner, bumbu-bumbu pedes Indonesia, dasi-dasi Trevira,
Ray-ban, Parker, perca-perca lingeri buat pacar-pacar Rusia dan
selebihnya didjual dengan harga super mahal di sekitar pintu masuk
asrama Universitas. Sedangkan kalau ke Peking, yang akan saya temui
adalah cuma abang saya yang sudah bertahun tahun menjadi spesialis
di sana, cuma memburu kerinduan, dan saya hanya menjadi orang asing
dua kali lipat, bahasanya, budayanya dan hanya satu yang seperti di
rumah sendiri: makan! Saya punya bakat besar memakan semua makanan
Cina dan bakat itu sudah saya miliki sejak saya berusia 12 tahun
yang dimulai dari Pasar Senen , lalu Glodok dan terus merembet ke
berbagai restoran Cina yang terenak. Saya tumbuh dan membesar oleh
makanan Cina dan saya telah menjadi fanatik melebihi abang sulung
saya sendiri. Tapi cuma di bidang makanan ini saja. Dan saya
memutuskan ke Cina karena selera saya bukan selera remaja seperti
selera teman-teman saya mahasiswa lainnya. Selera saya adalah selera
perut dan pilihan saya adalah Cina sebagai kiblat dan Peking sebagai Mekkah kerajaan makan saya.
Mengapa
harus menolak dibilang sinting, bukankah saya sendiri yang telah
membuktikannya.
Baru beberapa hari saya
bertemu keluarga abang saya yang menjadi spesialis di sana, saya
lalu mendapat panggilan mendadak dan harus meninggalkan hotel di
mana diinapkan (gratis, dibayar Negara) yang kalau tak salah hotel
itu "Min Chu Fan Tien" yang hidangan makanannya melebihi dari yang
pernah saya impikan ketika masih di Moskow. Dari hotel, saya harus
pindah ke sebuah Guest House atau rumah tamu Partai karena di sana
abang sulung saya yang ketua Partai sedang menjadi tamu Partai
sebuah negara raksasa yang ketika itu sedang cekcok besar dengan
sebuah Partai yang juga raksasa yang bernama Uni Sovyet di mana saya
sedang belajar. Pertemuan itu sama sekali di luar dugaan saya,
karena ketika saya masih di Moskow, memang abang sulung saya sedang
mengadakan kunjungan di Rusia dengan delegasinya yang cukup besar
untuk barangkali cekcok di sana dengan Suslov, teoretikusnya PKUS.
Dugaan saya itu berdasarkan penglihatan saya dari dekat: muka abang
saya masih tampak merah, matanya juga merah, persis ketika ia baru
cekcok dengan istrinya di rumah ketika saya masih tinggal bersama
mereka dulu itu. Orang adik beradik tentu mengenal urat nadi hingga
suara hati masing-masing.
-"Tengkar?" , tanya saya
ketika baru saja melepaskan tangan dari salaman rindu dan tak di
sangka-sangka itu.
-"Ya, tengkar. Bukan
cuma tengkar. Tengkar besar. Bagus, kau ke mari, Sulai. Cina juga
perlu dilihat".
-"Tadi sebelum kemari , saya diperingatkan agar siap-siap
dimarain".
-"Siapa yang bilang
begitu !",
-"Antara lain,
Sobron".
-"Dia yang patut
dimarain"
-"Ya, dia bilang juga
sudah".
Hari pertama bersama
abang sulung saya, saya masih setempat tidur dengannya dan barulah
kemudian di kamar tidurnya yang luas dan besar itu ditambah lagi
satu tempat tidur untuk saya. Semua kegiatan delegasi, saya diajak
ikut serta. Dari sinilah saya mengetahui betapa mesra dan
antusiasnya Partai Cina menerima delegasi Partai Komunis Indonesia.
Sebuah persahabatan yang tak mungkin habis diceritakan, betapa erat
dan kentalnya persahabatan dua Partai seolah dua saudara kembar yang
tak akan pernah bercerai lagi. Saya turut mernikmati kemanjaan yang
oleh tuan rumah meskipun saya bukan anggota delegasi Partai dan
hanya sebagai adik bungsu dari sang Ketua. Sobron bukan main irinya,
tapi perasaan itu sudah sangat biasa dirasakannya sejak di Indonesia
dulu. Abang sulung saya sering mengucapkan sikapnya di depan kami
adik-adiknya bahwa ia tidak membedakan yang satu dengan yang lain.
Sama, tidak ada peng-istimewaan. Tapi dalam praktek, tetap saja ada
diskriminasi yang itu saya sendiri yang menikmatinya. Mungkin karena
saya memang lebih banyak mendampinginya dalam kerja-kerjanya sehari
hari ketika di Jakarta dulu atau mungkin juga saya punya sifat yang
lain dengan abang-abang saya yang lainnya sebagai manusia non
politik sehingga berbicarapun sangat terdengar lain di tengah-tengah
24 jam atmosfir politik dalam dumia yang tak saya kenal itu. Dan saya selalu leluasa.
Suatu hari, abang saya
mengatakan kepada saya bahwa saya harus tinggal di rumah (saya sudah
tidak boleh keluar sendirian) karena hari itu delegasi Partai akan
menemui Ketua Mao. Untuk itu katanya saya belum punya hak.
Sebetulnya saya cukup kecewa karena sebuah pemikiran yang sederhana
saja: kalau sudah sama-sama menjadi tamu Partai begini, kenapa tidak
sekalian saja , menemui Ketua Mao-pun diikut sertakan. Tapi sekali
ini abang saya benar-benar mendiskriminasi saya dan itu saya kira
juga baik, paling tidak untuk tidak menumpuk ke-irian Sobron.
Tapi
saya tidak dibiarkan sendiri di rumah yang bagaikan istana itu.
Seorang nona dengan sebuah pelampung telah mengatur semuanya untuk
kami berdayung di danau yang luas dalam wilayah rumah tamu itu.
Tentu ini nona bukan datang begitu saja dari langit untuk menghibur
saya yang sedang sendirian tidak kebagian jatah ketemu dengan Ketua
Mao. Ini juga sebuah pengaturan dari kebijakan tuan rumah yang
sangat menyenangkan saya. Sayangnya ini nona manis tidak bisa bicara
Inggris, atau mungkin tidak diperbolehkan. Tanpa bahasa tapi banyak
senyum, banyak menuntun tangan saya dan imbalan dari saya
satu-satunya cumalah: sie,sie,sie,sie dan
sie-sie hingga membuat dia tertawa terpingkal-pingkal. Saya duga
mungkin ia telah menawarkan sesuatu secara bergurau yang merugikan
saya dan jawaban saya tetap saja sie-sie. Saya bayangkan mungkin dia
menanyai saya apakah setuju kalau saya dia pukul dengan pendayung
yang sedang dipegangya dan saya menjawab: sie-sie. Tapi sungguh dia
sangat manis. Dan kalau saya bandingkan kecantikannya dengan gadis
manis peranakan Indonesia Cina, yang saya temui di bus-bus atau di
tengah kota Peking ,yang masih bicara Indonesia dengan lancanya,
maka kecantikan mereka yang peranakan itu, tidaklah berlebih lebihan
kalau saya katakan ,setara dengan seorang Miss Universe yang tidak
resmi. Percampuran ras sering melahirkan kwalitas ekstra: atau yang
terpintar di dalam klas, tercantik di seluruh sekolah atau yang
tersehat dan terganteng di antara teman-temannya. Di bidang
pertanian umpamanya, buah atau ubi hasil cangkokan selalu lebih
manis, lebih besar dan lebih bagus kwalitasnya. Bahkan Mie Peking
yang mie asli itu rasanya jauh lebih kurang dari Mie di Pasar Senen
yang bumbu-bumbunya sudah campuran dengan bumbu-bumbu pribumi. Yang
kita perangi bukan perbedaan ras tapi kesombongan ras kalau itu
memang ada.Tapi setidaknya, kecantikan nona Cina yang totok sekarang
ini, yang sedang berkayuh dengan saya dalam perahu kecil hanya untuk
berdua, bisa melupakan sejenak atau mungkin sangat banyak jenak,
pacar saya yang ada di Jakarta. Betapa bahagia yang saya rasakan
hari itu. Kami tertawa tanpa mengerti satu sama lain dan hanya
dengan bahasa badan. Dan ketika kami akan berpisah, dia lalu
menanyai saya dan cepat saya jawab: sie-sie. lalu ia memukuli belakang saya dengan geramnya
sambil tertawa. Mungkinkah yang dia tanyakan pada saya itu kira-kira
begini: "Sukakah kamu saya cemplungkan ke dalam air danau ini?"
Dan dengan
senang hati saya jawab: "SIE-SIE".
*********** 0 0 0 0 0
**********
ASAHAN ALHAM
AIDIT:
Roman
Memoar
"ALHAMDULILLAH"
Bagian
III (16)
Merambat
Tanah Pemukiman
Moskow
- 1965 - Peking
(II)
Di
antara anggota Delegasi Partai yang paling saya kenal adalah bung
Ajis. Dia seorang supir abang saya. Bung Ajis orangnya sederhana
tapi punya kewibawaan, berdisiplin tinggi, ramah tapi juga serius.
Bung Eko Darminto, bekas pengawal pribadi abang saya kemudian
disekolahkan di Moskow bersama saya, adalah seorang yang berbadan
besar tinggi, berkulit gelap, tampak perkasa dan memang dia pernah
jadi anggota CPM, juga sangat segan pada bung Ajis. Bung Ajis tidak
semata hanya seorang supir tapi juga seorang kawan yang mengemban
tanggung jawab tinggi atas keselamatan abang saya yang juga bekerja
sama dengan bung Eko Darminto. Pertemuan kami yang tidak di
sangka-sangka itu dimulai dengan pergurauan lama kami: "korek
sambel" yang entah bagaimana secara spontaan terucapkan bersama
ketika kami bersalaman pada waktu ketemu di Guest House. Soalnya
ketika Bung Ajis disekolahkan di Uiversitas Rakyat yang mengambil
Jurusan bahasa Inggris, suatu hari ia bertanya pada saya: "Bung
Sulai, saya kok selalu mendengar dosen Inggris saya sering
mengucapkan "korek sambel" setiap dia akan memberikan contoh, apa
sih artinya". Saya cepat menduga pertanyaannya yang lucu itu.
"Itukan maksudnya "For example" kata saya sambil tertawa. Bung Ajis
memang sering melucu, tapi bila sedang melakukan tugasnya, ia sangat
serius dan kadang-kadang bisa galak juga bila sedang dalam tugas
terjadi hal-hal yang kurang beres dan memerlukan reaksi cepat yang
biasanya karena kelengahan atau kelambanan pengawal pribadi abang
saya. Di saat-saat demikian bung Ajis lalu mengambil komando dan
mengambil semua kebijaksanaan. Dia sangat cepat berpikir dan juga
cerdas meskipun pendidikan formalnya sederhana saja, tapi ia selalu
aktif mengam-bil bermacam kursus yang diadakan oleh Partai maupun di
luar. Abang saya sangat menghormati bung Ajis dan memperlakukan bung
Ajis tidak pernah sebagai supir, tapi sebagai kawan yang sederajat,
sebagai orang terdekat ketika sedang bertugas bersama meskipun
berlainan tanggung jawab dan sifat pekerjaan. Untuk saya bung Ajis,
seorang manusia yang sangat menarik untuk dijadikan teman maupun
kawan.
"Sayang bung Sulai tidak
diajak ketemu Ketua Mao, tadi siang". Itu kalimat pertama bung Ajis
ketika kami bertemu kembali sejak ketidak ikutsertaan saya bersama
delegasi menemui Ketua Mao.
"Nah,
bagaimana bung Ajis, ceritanya. Cerita dong, nanti saya juga ganti
cerita bagaimana saya berduaan dengan si Amoi totok si cantik jelita
berdayung dayung di danau".
"Ketua
Mao, orangnya sangat halus dan santun budinya. Bicaranya pelan dan
sangat ramah".
"Apa
saja isi pembicaraan yang penting-penting, bung Ajis?".Tanya saya tidak sabar.
"Mula-mula
bung Aidit menceritakan situasi situasi revolusioner yang sudah
mulai terasa di Indonesia. Rakyat sudah di belakang
Partai dan PKI sudah menjadi Partai yang sangat besar. Ketua Mao
mendengarkan dengan penuh perhatian. Lalu ia menanggapi dengan
tenang dan sopan, katanya, yang perlu diperhatikan adalah kekuatan
Partai di desa-desa, karena di sanalah kekuatan riiel Partai harus
berakar dan dari sanalah revolusi akan dimulai". Masih banyak yang
diceritakan bung Ajis tentang pertemuan antara delegasi PKI dengan
ketua Mao. Itu sedekar pertemuan ramah tamah yang penuh persahabatan
dan tidak membuat pernyataan bersama ataupun persetujuan-persetujuan
tertentu. Bung Ajis merasa bahagia bisa ikut serta dalam pertemuan
itu meskipun pekerjaan atau tugas kongkret dia cuma sebagai seorang
supir abang saya tapi telah menjadi anggota delegasi Partai resmi
yang sederajat dengan semua anggota delegasi Partai lainnya yang
adalah petinggi-petinggi Partai. Saya merasa bung Ajis pantas
mendapatkan penghargaan dan juga kehormatan demikian sebagai kawan
separtai yang langsung mendampingi dan menyertai abang saya selama
tugas-tugas penting yang sering-sering berbahaya itu. Cerita Bung
Ajis sangat berkesan pada saya dan pula menambah pengetahuan saya
betapa eratnya Persahabatan antara dua Partai, Cina dan Indonesia
pada waktu itu.
Saya masih diberi
kesempatan untuk ikut serta bersama delegasi untuk meninjau ke
beberapa tempat obyek ekskursi di sekitar kota Peking, terutama ke
pabrik-pabrik dan musium-musium yang sangat menarik dengan
penjelasan yang terperinci dari petugas-petugas dari pihak tuan
rumah. Ada hal yang sangat menonjol selama ekskursi peninjauan itu.
Pengawal pribadi abang saya yang baru (pengganti bung Eko Darminto
yang ketika itu sedang sekolah di Moskow) punya kelakuan yang sangat
aneh. Dia
mengontrol semua anggota delegasi, setiap ada penjelasan tentang
segala sesuatu kepada kami para pengunjng. Pengawal ini mengharuskan
orang mencatat semua yang dibilang petugas atau pembicara dari pihak
tuan rumah. Saya yang punya kebiasaan hampir-hampir tidak pernah
mencatat dalam setiap kuliah, sekarantg diharuskan oleh pengawal
pribadi abang saya yang juga bertubuh besar tinggi yang tidak kalah
perkasanya dengan bung Eko Darminto, untuk mencatat semua dengan
serius. Katanya, untuk menghormati tuan rumah dan menujukkan rasa
rendah hati terhadap mereka. Diapun tidak pandang tingkat kekaderan
seorang anggota delegasi. Semuanya, tidak terkecuali harus mencatat
apa saja yang sedang dibicarkan dan dijelaskan oleh tuan rumah. Saya
merasa abang saya tidak pernah bahagia dengan pilihan para pengawal
pribadinya selama ini. Juga sejak bung Eko Darminto bertugas dulu
itu, ia selalu menderita bila bepergian jauh. Ia tidak bolen ngantuk
apalagi sampai tertidur bila sedang ada dalam kendaraan, demi
kewaspadaan, kata bung Eko, dan abang saya selalu dibangunkan dari
ngantuknya. Padahal ia hanya tidur beberapa jam saja dalam sehari.
Sekarang dalam perjalanan delegasi ini ,
sang pengawal itu selalu tampak dalam keadaan super aktif mengatur
segala-galanya, seakan-akan tanpa pengaturannya, delegasi ini akan
menjadi serombongan anak nakal yang sudah tidak bisa ditertibkan.
Dan celakanya, abang saya punya kebiasaan mengharuskan saya patuh
pada pengawal pribadinya sudah sejak ketika di Jakarta dulu.
Bila ada sesuatu yang agak kontradiktif antara saya dengan pengawal,
saya selalu berada di pihak yang salah dan abang saya selalu
membenarkan pengawal pribadinya. Tapi saya masih bahagia, karena di
antara adik-adiknya sayalah yang paling disayanginya. Buktinya,
Sobron tinggal di rumah, saya turut delegasi.
Ah,
kasihan Sobron, baru kena marah pula.
Rencana
delegasi untuk merlanjutkan peninjauan ke Vietnam, tiba-tiba
dibatalkan. Saya belum sempat melamar pada abang
saya untuk ikut serta. Semangat saya sudah seperti kata
peribahasa: "Seperti
Belanda minta tanah, diberi sejengkal minta sehasta". Tapi sebelum
lamaran diajukan, yang saya sangat optimis akan dikabulkan abang
saya, rencananya sudah digagalkan gara-gara ada tilgram dari
Jakarta, abang saya harus pulang
karena bung sakit keras. Besoknya abang saya dengan delegasi harus
terbang ke Jakarta.
Malamnya
kami masih sempat ngobrol panjang.
"Sulai, kapan kau tamat
sekolah".
"Masih satu
tahun"
"Apa tidak bisa
dipersingkat"
"Mengapa harus
dipersingkat?"
"Terlalu lama
bersekolah, juga tidak baik. Kau harus juga dalam revolusi itu
sendiri".
"Saya harus tamat
dulu"
"Revolusi tidak akan
menunggumu"
"Bang Murad tamat tahun
ini dan dia sudah pulang sebulan lalu".
"Murad sudah pernah ikut
revolusi, kau sama sekali belum"
"Apa
saya sudah harus angkat senjata sekarang
juga?"
"Revolusi
tidak mesti harus angkat senjata. Partai tidak punya
senjata"
"Jadi
saya harus kembali ke pekerjaan saya yang lama. Bukankah bibliotik
sudah ada yang mengurus".
"Banyak pekerjaan lain
yang bisa kau kerjakan dan semua itu
menantimu"
"Pekerjaan
revolusi?"
"Bertanyalah dengan nada
serius".
"Ya, maksud saya, bila
tidak mengangkat senjata, apakah setiap pekerjaan bisa digolongkan
pekerjaan revolusi".
"Itulah, seperti aku
bilang. Terlalu lama bersekolah, itu tidak menguntungkan. Apa yang
kau pelajari di Rusia selama ini".
"Sastra
Rusia".
"Baik. Belajar sastra
tidak akan pernah habis"
"Tapi saya memerlukan
diploma"
"Dulu kau pernah bilang,
diploma-diplomaku yang kau temukan di rumah ayah di Belitung,
setelah kau timbang, beratnya mencapai 2 kg. Adakah satu di antranya
yang pernah aku gunakan untuk melamar pekerjaan?".
"Apakah telah begitu
mendesak, hingga saya harus mempersingkat masa belajar
saya".
"Kau yang harus mendesak
dirimu. Revolusi
mungkin tidak memerlukanmu. Tapi kau ... paling tidak, telah sangat
memerlukan revolusi".
"Baiklah,
sementara saya memerlukan diploma untuk sebagai bukti, saya telah
belajar menurut tugas yang diberikan kepada
saya".
Saya
anggap abang saya telah kalah. Tapi saya lihat mukanya sangat cerah.
Bahkan malam itu saya lihat tidak ada yang dia siapkan untuk pulang
ke Jakarta besok pagi. Kami meneruskan
percakapan dengan tema lain, soal
pertemuannya dengan Ketua Mao, soal keluarga dan macam-macam lagi.
Bekas-bekas kete-gangannya oleh percekcokannya dengan Suslov telah
lama sirna dari wajahnya. Ia tampak relax seperti biasanya meskipun
dikepung oleh tumpukan kesibukan.
Saya turut
mengantarkannya ke lapangan terbang. Di antaranya tentu saja para
kader tinggi dari pihak Partai Komunis Cina. Saya tidak begitu
memperhatikan dan lebih asik melihat-lihat barang-barang yang
dipamerkan dalam lemari-lemari kaca di ruang tunggu dalam wilayah
bangunan lapangan terbang itu. Ketika para delegasi akan menaiki
pesawat dan meninggalkan kamar tunggu, seseorang menarik tangan saya
dan menuntun saya ke barisan delegasi yang sedang menuju pesawat.
Saya perkirakan dia seorang penterjemah yang mungkin berasal dari
Cina peranakan dari Indonesia yang berwajah agak ke-desa-desaan dan
sangat sederhana penampilan-nya. Ketika rombongan pengantar akan
pulang meninggalkan ruangan, orang yang saya kira penterjemah tadi
datang menemui saya dan menyalami saya dengan hangatnya sambil
mengucapkan sesuatu dalam bahasa Cina yang tentu saja tidak saya
mengerti. Saya lalu bertanya pada Sobron, apa yang yang dibilang
orang yang saya sangka penterjemah itu. Sobron bilang:" Itulah PM
Chou En Lai, orang kedua sesudah Ketua Mao di negeri Cina ini". Saya terheran-heran, merasa
tidak masuk akal, seorang Perdana Menteri sebuah negeri raksasa
berpenampilan begitu seder-hana. Lain dan sangat lain dengan yang
biasa saya lihat di dalam gambar. Memang, gambar sering-sering di
ritus, diperindah, diperhalus agar tampak lebih cantik atau bagus.
Ternyata kesederhana-an dalam apa adanya, itu jauh lebih bagus,
lebih mengagumkan. Hari itu, di bulan Agustus 1965, di Peking,
adalah hari terahir saya bertemu dengan abang sulung saya. Beberapa
bulan kemudian dia telah ditiadakan oleh kaum barbaris pemakan
manusia dengan senjata. Saya kehilangan seorang abang, tapi bangsa
saya telah kehilangan peri kemanusiaan.
Asahan
Aidit:
Makna apa dibalik kata
"KEBLINGER" PKI dalam peristiwa G30S-65?
satu dari tiga alasan
terjadinya peristiwa 30S-65 yang dikatakan oleh Presiden Soekarno
adalah "Keblinger"-nya pemimpin PKI. Ini bisa menimbulkanan bermacam
penafsiran, dugaan dan bahkan mungkin memancing kesimpulan, siapa
yang sesungguhnya biang keladi terpenting dalam mencetuskan
peristiwa mandi darah itu.
Sebagai logika umum dari
makna kata "keblingernya" pemimpimn PKI dalam hubungan
keterlibatannya dengan peristiwa September itu bisa diartikan sbb
(sementara):
1. PKI memang terlibat
(meskipun bukan satu-satunya): keblinger!
2. Pemimpin PKI-lah yang
terutamanya yang terlibat: keblinger!
3. PKI melaklukan tindakan
avonturis politik secara spontan: keblinger!
4.
Pemimpin PKI telah
bertindak sendiri di luar garis umum politik Partai (merebut dengan
jalan coup): keblinger!
Dan bahkan sesudah nomor
4 itu masih mungkin ditambah hingga beberapa nomor lagi karena
memang kata "keblinger" membuka kemungkinan yang sangat luas, tapi
untuk memudahkan penganalisaan baiklah dengan 4 faktor itu saja.
Tapi sebagai kesan umum, dari empat faktor isi dari makna kata
"kebilinger"itu adalah tuduhan Presiden Sukarno, bahwa PKI dan
pemimpinnya memang terlibat dan terlibat secara bodoh bahkan bisa
disebut secara gila-gilaan, diluar perhitungan, di luar akal sehat
dan tidak bertanggung jawab.
Teoritis, PKI sebagai
partai Marxis, mengetahui bahwa dalam merebut kekuasaan negara dan
memenangkan revolusi tidak bisa dengan jalan coup tapi di atas dasar
kematangan situasi revolusioner yang sudah matang dan kesiapan massa
rakyat yang luas serta kesiapan Partai revolusoiner itu sendiri
dalam memimpin revolusi di garis terdepan. Jadi dalam situasi yang
tidak keblinger, PKI tidak mungkin tiba-tiba menjadi keblinger dan
lalu secara spontan bertindak melakukan avonturis besar dan maha
berbahaya itu yang juga di luar garis Partai yang mengarah pada
cara-cara demikian. Dalam pendidikan intern Partai-pun PKI selalu
mengharamkan jalan coup atau avonturisme dalam merebut kekuasaan dan
melaksanakan revolusi. Bahkan dalam diskusi-diskusi periodik Partai
hingga ke bawah, jalan terorisme dan avontu-risme, sangat
diharamkan. Lagipula bila dikatakan PKI telah sangat terpengaruh
dengan jalan Revolusi Cina yang menempuh jalan dari desa mengepung
kota, maka cara-cara keblinger yang spontan, di luar garis umum dan
tanpa persiapan yang panjang, tuduhan keblinger itu sangat
diragukan. Karena bila demikian, yaitu ,memang kekeblingeran PKI
telah melakukan kesalahan-kesalahan besar dan prinsip
sbb:
1. Menyalahi dan melanggar
garis umum Partai yang telah ditetapkannya
sendiri
2.
Menyalahi prinsip
Marksis dalam menjalankan revolusi
3.
Menyalahi jalan
Revolusi Cina (Dari desa mengepung kota) yang telah sangat
mempengaruhinya.
4. Meninggalkan massa anggota
yang tidak dipersiapkan dan tidak siap sama sekali untuk menempuh
jalan coup.
5.
Melakukan politik
avonturis secara total dan itulah yang namanya KEBLINGER dalam arti
yang sesungguh-sungguhnya.
Tapi
lalu masaalahnya, apakah memang demikian. Untuk sampai pada
kesimpulan atau tuduhan demikian, harus ada bukti-bukti dan analisa
mendalam yang harus bisa dikontrol dan diklopkan apa memang demikian
adanya di dalam praktek atau dalam kenyataan. Banyak hal-hal yang
hanya orang PKI sendirilah yang bisa menilai sam-pai dimana mereka
bisa dikatakan keblinger atau mungkin hanya tertuduh, terfitnah dan
lalu tidak bisa berbuat apa-apa, tidak mungkin membela diri, tidak
sempat menerangkan situasi dan yang terpenting mereka telah begitu
cepat dihabisi dengan terror. D.N. Aidit cepat dibunuh agar tidak
mungkin diajukan dan membela diri di depan
pengadilan. Puluhan ribu orang-orang yang dituduh PKI dan anggota
PKI di buang ke Pulau Buru dan penjara-penjara lainnya di seluruh
Indonesia tanpa pernah
diadili hingga Suharto terguling. Hak-hak dasar
kemanusiaan puluhan juta korban 65 hingga sekarang belum dipulihkan.
Semua kenyataan ini membuktikan kebenaran yang sesungguhhya di balik
peristiwa S-65 akan selalu ditutup-tutupi yang mula-mula dengan
teror, lalu dengan kebohongan, pembodohan massa rakyat dan sekarang
ini dengan pemutar balikan sejarah melaui tulisan-tulisan, buku-buku
(termasuk yang dibuat oleh penulis asing) yang membikin roman
politik atau sastra jurnalis politik yang lebih menyerupai film-film
Jackie Chan, yang memang enak ditonton tapi tidak bisa diperlakukan
sebagai film-film `yang mengangkat kebenaran
sejarah.
Tapi dalam ketakutan dan
ancaman jiwa yang serius, orang memang bisa keblinger, bisa
mengatakan sesuatu yang lain dari apa yang sesungguhnya yang ada di
hatinya, bisa menipu musuh dan menipu dirinya sendiri untuk
menyelamatkan diri, bisa berhianat, bisa memfitnah teman sendiri
bahkan saudara kandung sendiri di depan musuh yang sedang juga super
blinger tapi kuat dan kejam. Penyelidikan sejarah memang belum
selesai dan memang tak akan pernah selesai bila yang mendominasi
sejarah adalah pihak yang kuat dan sedang berkuasa. Sedangkan
kebenaran tidak jatuh dari langit , tidak otomatis di pihak yang
benar, tapi harus diperjuangkan secara gigih dan pula dengan
kekuatan tertentu yang sanggup beradu dan tidak cuma meratap,
meminta atau cuma dengan keyakinan pasif dan tidak berani tatap
menatap dengan musuh kebenaran.
Tuduhan Presiden
Soekarno terhadap pemimpin PKI sebagai "keblinger" patut dijadikan
studi analisa untuk dikontrol kembali kebenarannya demi untuk
mendapat-kan bahan-bahan obyektif dan terpercaya, apa sebetulnya
dibalik kata "Pemimpin PKI yang keblinger" sebagai salah satu faktor
yang dianggap besar tercetusnya peristiwa G30S-65. Diperlukan
kekritisan dan keberanian menganalisa yang tidak berat sebelah
hingga hasil penyelidikan sejarah, terutama sejarah pemberontakan
G30S-65 tidak seperti sekarang ini:
- Seluruh ORBA merasaa benar kecuali
ORLA dan PKI
- Seluruh bangsa merasa benar kecuali
PKI
- Seluruh Partai-Partai merasa benar
kecuali PKI
- Seluruh anggota PKI
merasa benar kecuali para pemimpinnya
- Seluruh Pemimpin PKI
merasa benar kecuali D.N.Aidit
- Seluruh teroris merasa benar
kecuali yang diteror.
Dan merasa benar di sini
berarti pandai membela diri sendiri dan pandai menyalahkan orang
lain.Sedangkan yang disalahkan adalah yang sudah mati, seperti PKI
yang mati, D.N. Aidit yang sudah mati, para pemimpin PKI lainnya
yang juga sudah mati, ORLA yang sudah mati. Presiden Soekarno yang
masih sempat membela diri karena masih sempat hidup untuk beberapa
waktu dan masih sempat menuduh pemimpin PKI sebagai "keblinger"
tanpa menjelaskan lebih lanjut meskipun dengan sepatah kata, mengapa
"keblinger", apa lagi, apa itu kongkretnya "keblinger" yang
dilakukan oleh Pemimpin PKI. Menyalahkan orang yang sudah mati
memang mudah dan membela diri ketika masih hidup juga tidak sulit.
Yang sulit adalah menyingkap kebenaran, bersikap jujur dan tidak
memikirkan keuntungan dan kese-lamatan diri sendiri semata-mata.
Presiden Soekarno mungkin saja dalam keadaan keblinger juga, di
tengah kepungan musuh-musuhnya dan kehilangan kawan terpercayanya
yaitu PKI sehingga mungkin dalam keadaan yang tidak disengaja telah
menohok teman seiring dengan menuduh Pemimpin PKI sebagai
"keblinger". Dan tuduhan itu akan sangat menguntungkan Orba dan
Suharto dan juga akan punya pengaruh negatif terhadap pendapat umum
Indonesia pada waktu itu maupun sekarang ini bahkan mungkin juga di
masa datang. Tapi dengan menggunakan metode analisa obyektif ,
menggunakan semua bahan dari semua pihak dan tidak terpancing dengan
tulisan yang dari dalam negeri maupun yang dari pihak Barat yang
punya kebiasaan bikin buku tulisan sensasionil, bombastis, dengan
menggunakan roman horror, bukti-bukti palsu yang tak pernah
terbuktikan di depan umum, dengan menempelkan label gelar
kesarjanaan yang dijadikan reklame untuk jaminan mutu tulisannya
yang tidak bermutu, pemikiran kritis, berani jujur dan berani
mengatakan dan memebela kebenaran, tentu setiap penipuan,
kebohongan, manipulasi serta pemutar balikan sejarah akan
terungkapkan juga cepat atau lambat. Para sarjana seperti yang
antara lain Dr. Benedict Anderson dan Prof. Dr. Wertheim yang secara
jujur dan berani mengungkap kebohongan dan pemalsuan rezim Orba dan
Suharto, patut dijadikan pedoman dan patokan untuk mengungkap lebih
lanjut dalam penelitian sejarah G30S-65. Secara sengaja atau tidak
sengaja, kita tidak perlu membikin reklame gratis bagi para penulis
buku yang cuma merekayasa kebohongan, kepalsuan dengan cara
sensasionil bahkan dianggap "spektakuler" pula. Biarkanlah buku-buku
picisan itu bergulir menurut jalan yang dibuatnya sendiri dan tak
perlu dicomot lalu tanpa sadar telah mempromosikannya ke berbagai
media termasuk internet. Pikiran yang sehat dan otak yang segar
harus juga pandai memilih makanan otak yang baik, konsumsi yang
sehat dan orientasi ke rakyat. Kita hidup di tengah sampah dan dekat
sungai-sungai yang kotor serta udara pengap tercemar bermacam racun
kimia politik. Pilihlah tempat-tempat yang masih relatif bersih dari
pencemaran dan jangan suka mencomot barang-barang aneh di jalan yang
tampak terbungkus baik yang mungkin dari seseorang mules perut yang
takut atau segan ke luar rumah atau dari kamar di
malam.
asahan
aidit.
***********************************
Makna apa dibalik kata
"KEBLINGER"pemimpim PKI dalam G30S65
Bapak Asahan Aidit
yth,
Keblinger adalah sok
pinter, tetapi sebetulnya goblok. Sukarno menyimpulkan PKI itu
keblinger, saya berkesimpulan sebagai berikut:
PKI sok pinter, tidak
punya kesabaran revolusioner, tanpa menunggu dipukul oleh Dewan
Jenderal,kemudian melakukan serangan balas, melainkan memukul
duluan, kemudian tidak konskewen melanjutkan serangan ber-tubi2
untuk menghancurkan sisa2 Dewan Jenderal yang masih hidup. Di
sinilah letak kegoblokannya yang mendatangkan malapetaka buat jutaan
manusia yang dianggap pengikut PKI. Sebab PKI sebelumnya pernah
gembar gembor punya pengikut sebanyak 20 juta.
Saya lahir pada 1976,
jadi 11 tahun setelah G30S. Ayah saya adalah anggota pimpinan Dewan
Nasional Pemuda Rakyat, ketika 30 September 1965 berada di Jakarta.
Setelah itu beliau ber-pindah2 rumah tinggal, untuk menghindari
penangka-pan. ini sebelum meninggal dunia, beliau pernah
menceritakan pengalaman kepahit-getirannya sebagai buronan politik
yg lolos dari lobang jarum angkara murka. Menurut bung Ol, jenderal
PKI yg menjadi kepala depda (departemen pemuda), 1965, situasi
revolusioner sudah sampai ke puncaknya, dalam hari2 mendatang akan
terjadi penentuan siapa yang akan menang dalam pertempouran
penghabisan antara PKI lawan DD (Dewan Djenderal). PKI telah
memutuskan, tidak akan menghantam lebih dahulu, sebab akan membikin
PKI menjadi terisolasi dari massa rakyat yang luas. tak mungkin DD
sekali hantam terus hancur lebur. Mereka akan melakukan serangan
balas yang akan membikin Partai kita terhapus dari muka bumi
Indonesia.
Tiba2 terjadilah G30S
yang dipimpin oleh letkol Untung yang dibina oleh PKI dalam jangka
panjang melalui biro khususnya.
Perbuatan Untung ini
jelas melanggar disiplin Partai, dan sangat berbahaya sekali. itu,
termasuk ayah saya sudah mengusulkan agar PKI bangkit mengutuk
letkol Untung sebagai kontrarevolusi yang berkedok revolusioner dan
mengerahkan seluruh partai untuk menghancurkan G30S. tapi sayang
seribu sayang, pimpinan PKI malahan mengeluarkan statement yang
mendukung G30S sebagai masalah intern AD, sebagai gerakan yang
revolusioner. Betul2 goblok sekali PKI ini. saya menjadi kecewa,
tidak mau ikut dikubur bersama PKI, maka ia kabur ke Jawa Timur,
kemu-dian ke Menado, kemudian ke Ambon, dan terakhir balik lagi ke
Jakarta menjadi pedagang sate Madura di kaki lima. Pendek kata sejak
itu ayah saya memutuskan tali temali dengan Pemuda Rakyat dan PKI.
Ini
yang membikin ayah saya selamat sampai beliau meninggal dunia pada
awal Maret 2005 ybl. Ketika awal Oktober 1965, banyak yang pinter yg
melarikan diri dan mengganti identitasnya, bahkan yang ada
kesempatan keluarnegeri pada kabur ke negeri Sosialis untuk minta
suaka politik, masing2 secara pinter menyelamatkan nyawanya dahulu,
tidak mau ikut dikubur bersama pimpinan Partai yang keblinger
itu.
Di
dalam tubuh PKI terdapat beberapa faksi, yang ekstrim kiri yang
diwakili oleh Aidit, yang Marxis Leninis yang diwakili oleh Grup
Bandung (Ismail Bakri) dan yang berada di tengah2nya yang diwakili
oleh Sudisman/Lukman/Njoto/Sakirman dll. Ini cerita ayah, yang
membutuhkan pembuktian oleh bekas pucuk pimpinan PKI yang masih
hidup.
G30S
dicetuskan oleh grup Aidit. Yang melanggar kepoutusan Partai untuk
tidak menghantam duluan. Ini yang membikin Sudisman dan anggota
dewan Harian Politbiro menjadi serba salah, akhirnya mengeluarkan
statement 2 Oktober 1965 melalui Harian
Rakyat.
Sedangkan
Grup Bandung mengeluarkan statement yg mengutuk G30S, mengeluar-kan
majalah intern Suara Demokrasi yang melakukan perdebatan sengit
melawan Mimbar Rakyat yang dikeluarkan oleh CC PKI (baca Sudisman).
Ayah masih sempat baca dokumen2 ini di Surabaya.
Sampai lahirnya Otokritik Politbiro PKI, yang merupakan perdamaian
antara grup Sudisman dan Grup Ismail Bakri. Setelah itu ayah sama
sekali memutuskan tali temali hubungan dengan bekas kawan2nya,
karena tidak mau ikut PKI melancarkan perjuangan bersenjata
menggulingkan apa yang dinamakan rezim fasis Suharto-Nasution. Sebab
ayah tidak mati konyol, ibarat telor melawan
batu.
Demikianlah
cerita tempo dulu yang saya dengar, sebelum ayah pulang ke alam
baka.
Mohon
pak Asahan melempangkan cerita ayah, jika ada yang tidak sesuai
dengan kenyataan sesungguhnya, sekalian kepingin nompang tanyak,
dimana gerangan pak Asahan ketika G30S meletus? Dan bagaimana sikap
pak Asahan ketika itu?
Maria
Harsono, 7 Okt 2005.
Sdr.
Maria Harsono Yb,
Dalam
satu hal saya sangat setuju dengan anda bahwa memang PKI punya
kelemahan di bidang teori, politik dan ideologi dan lalu melakukan
kesalahan-kesala-han besar sebagai akibat kelemahan yang lama tak
terkoreksi secara serius itu. Tapi kita harus membedakan secara
tegas antara kelemahan atau kesalahan intern Partai dengan apa yang
difitnahkan oleh Suharto kepada PKI sebagai dalang pemberon-takan
G30S-65. Itu adalah dua hal yang sangat belainan yang tidak bisa
disimpulkan bahwa PKI telah melakukan pembrontakan dan menjadi
dalang G30S-65. Dalam diskusi-diskusi Partai yang saya ikuti selama
saya belajar di luar negeri sejak tahun 1961, tidak pernah ada
diskusi yang membicarakan persiapan PKI akan meng-coup atau merebut
kekuasaan seperti cara-cara yang dipakai pada peristiwa 30S itu.
Yang selalu menjadi tema diskusi adalah bahwa di Indonesia sudah ada
situasi revolu-sioner yang semakin masak. Ilusi Partai waktu itu
adalah menunggu tanggal main para Perwira Tinggi yang lama
berkontradiksi dan akan saling menggulingkan. Sedangkan pengaruh
Partai dalam tentara dikatakan semakin meluas dan menguat. Dan dari
pemikiran beginilah ilusi memenangkan revolusi denga jalan damai itu
terus berkembang. Dengan kata lain , bila pihak perwira tinggi g
yang revolusioner itu nantinya menang( istilah politik ketika itu
adalah "aspek pro rakyat" dalam" teori dua aspek") maka PKI
berilusi revolusi akan
menang tanpa ikut perang (PKI tidak punya senjata, tidak punya
tentara, tidak punya pasukan bela diri) dan semuanya bersandar pada
"aspek pro rakyat" yang dalam tentara itu. Dan di sinilah salah satu
kesalahan besar PKI yang punya ilusi besar: ingin memenangkan
revolusi dengan menyandar-kan diri pada "aspek pro rakyat "dalam
kekuatan bersenjata yang dinilainya sudah merupakan kekuatan
revolusi yang terpercaya ditambah lagi dengan persekutuannya dengan
Presiden Soekarno, plus massa rakyat yang mendukung PKI, plus massa
anggota PKI yang puluhan juta, simpatisan dan juga sokongan dari
Partai-Partai sekawan seperti dari Cina dan dari negeri-negeri
sosialis lainnya yang cuma berupa sokongan kata dan semangat saja.
Tapi golongan reaksioner Indonesia ternyata lebih pintar, mereka
tahu taktik PKI dan kelemahan PKI sekaligus. PKI yang hanya bermodal
daging ingin memenangkan revolusi dengan tangan kosong, dan cuma
bermodal sokongan dan sorak sorai yang itulah yang kita sebut
sebagai "jalan damai"nya PKI untuk menuju kemenangan revolusi.
Dengan kata lain PKI tidak pernah punya niat, tidak pernah ada
persiapan, dan juga tidak ada kemampuan untuk merebut kekuasaan
dengan kekerasan senjata, kecuali dengan jalan damai seperti yang
sudah digariskan dalan garis umum Partai yang tertuang dalam "Teori
dua aspek". Golongan reaksioner Indonesia sudah lama mengetahui
kelemahan PKI, mengetahui ilusi PKI, dan mereka (terutama yang
memegang senjata) mengetahui titik lemah PKI yang paling dasar:
Tidak punya kekuatan riil yang bisa memberikan perlawanan terhadaap
mereka ( tidak punya tentara, umpamanya seperti yang pernah dipunya
DI-TII, Dewan Banteng, Permesta , yang meskipun ahirnya bisa
ditumpas tapi mereka pernah punya kekuataan riil). Karena itulah
jalan yang paling ampuh untuk menumpas PKI adalah jalan fitnah,
provokasi (ingat provokasi Madiun), Intimidasi, dan penysupan
mata-mata ke dalam tubuh PKI. Ditambah lagi dengan pemborjuasian
dalam tubuh PKI waktu itu yang telah sangat membudaya yang sudah
sangat disedari sendiri oleh PKI. Masih adakah di kalangan orang PKI
yang berani memikirkan untuk merebut kekuasan dengan senjata atau
kekerasan dalam keadaan ideologi yang keropos
demikian?.
Tapi berilusi masih
berani karena itulah mentalitas orang yang baru diborjuasikan. Dan
seperti kita ketahui, Suharto telah menggunakan situasi yang
dinilainya akan sangat menguntungkannya meskipun harus dilakukannya
dengan jalan hianat yang paling besar sekalipun. Dia bikin Untung
adalah suruhan PKI, Syam Kamaruzzaman punya biro Khusus dengan
D.N.Aidit macam-macam lagi ciptaannya yang lain untuk menghancurkan
PKI dengan jalan yang paling hina dan nista sekalipun. Tapi mari
kita lihat kenyataan yang paling besar yang disaksikan oleh setiap
orang di Indonesia dan diketahui oleh dunia luar dengan amat
jelasnya:
- Yang membunuh puluhan
ribu, ratusan ribu bahkan hingga jutaan nyawa manusia Indonesia yang
tidak bersalah adalah Suharto beserta serdadu-serdadu, para algojo
sewaan,massa rakyat yang dia paksa dan Orba-nya dan BUKAN , bukan
Komunis.
- Yang membunuh 7
jendral bukan PKI, bukan Komunis tapi adalah tentara (PKI tidak
punya sebuah pistolpun)
- Yang
memenjarakan puluhan ribu orang yang dituduh Komunis dan semua orang
yang tidak tahu menahu tentang G30S-65 ke seluruh penjara-penjara
seluruh Indonesia dan juga Nusa Kambangan serta Pulau Buru adalah
Suharto dan PKI.
- Yang menjadi
diktator dan melindas demokrasi serta HAM di Indonesia adalah
Suharto dan bukan PKI.
- Yang
melakukan politik diskriminasi rasial (terutama terhadap etnis Cina)
adalah Suharto dan bukan PKI.
-
Yang
meng-coup Presiden Soekarno dan menahannya adalah Suharto dan bukan
PKI.
-
Yang
merebut kekuasaan dan menjatuhkan Pemerintahan Presiden Soekarno
adalah Suharto dan bukan PKI.
Bisakah
kenyataan besar itu dibantah?.
Bahkan
Suharto sendiripun hingga detik ini tidak berani buka mulut untuk
mem-bantahnya.
Bisakah
kita katakan semua yang dilakukan Suharto tsb diatas itu adalah
kesalahan PKI?
Melihat
kesalahan dan kelemahan PKI adalah di dalam intern PKI itu sendiri
dan itu memang jelas ada dan akibatnya telah menghancurkan dirinya
sendiri, para angota dan simpatisannya tapi PKI absolut tidak
melakukan dosa atau pembunuhan terha-dap rakyat Indonesia, hal itu
dilakukan langsung oleh Suharto. Lalu pertanyaan yang saya ajukan,
apakah tuduhan Presiden Soekarno bahwa pimpinan PKI yang "keblinger"
bisa menutupi semua perbuatan Suharto seperti yang tersebut di atas,
meringankan dosa Suharto dan lalu akan ditimpakan pada PKI? atau bahkan sudah
ditimpakan.
Menurut
saya tuduhan "keblinger"adalah tuduhan yang tidak serius, kurang
mencerminkan kebenaran dan bahkan terasa gampang-gampangan
saja.
Mengapa?
- Tindakan
Suharto yang cepat, mendadak, yang dalam waktu sangat singkat
berhasil menangkap hampir semua pimpinan PKI yang masih dalam
keadaan terlena dan menyandarkan bantuan Presiden Soekarno yang
sudah tidak berwibawa, menyebabkan kebingungan besar, panik dan
kehilangan orientasi pada pimpinan PKI. Bisakah dalam keadaan
begini, seseorang, bahkan bila dia seorang pemimpinpun, masih
sanggup untuk merasa diri sok tahu, sok pintar? atau seperti yang dibilang Presiden Soekarno itu
sebagai "keblinger"? Yang paling mungkin terjadi, menurut saya,
dalam keadaan kritis dan bahaya besar itu, seseorang lebih
cende-rung menjadi gagap, bingung, dan bisa kehilangaan orientasi.
Dosakah bila keadaan demikian terjadi pada seorang pemimpin?. Pemimpin yang mana-pun pada ahir-ahirnya
adalah seorang manusia juga, bukan nabi, bukan superman. Dan apakah
ketika peristiwa sudah terjadi, para perwira dalam angkatan
bersenjata yang dulu bersimpati pada PKI, berjiwa revolusiner, lalu
serta merta dihianati dan dikutuk oleh pimpinan PKI? Demi untuk
menyelamatkan PKI sendiri?. Langkah salah
pertama bukan dilakukan oleh PKI tapi oleh intern angkatan
bersenjata itu sendiri. Lalu sebagai akibatnya, apakah Pimpinan PKI
cepat-cepat cuci tangan sambil mengorbankan teman sendiri yang pun
ternyata adalah korban perbuatan Suharto
sendiri.
-
Ketidak
siapan PKI atau lebih tepatnya scenario para perwira yang punya
rencana membunuh 7 jendral itu membuat pimpinan PKI harus memilih
hanya dua pilihan:
.
menyokong
gerakan( setia kawan, pada perwira yang "pro
rakyat")
.
mengutuk
gerakan (menghianati kawan, perwira-perwira yang "pro
rakyat")
Silahkanlah
pilih PKI yang a atau yang b. Yang jelas
PKI tidak bisa tidak memilih keduanya. Bisakah kita katakan
pimpinan PKI telah keblinger dalam pilihan yang mematikan itu. Tapi
jelas di sini ada dua macam kematian: Yang menghianati teman atau
yang setia kawan. Tapi akibat selanjutnya adalah sepenuhnya menjadi
tanggung jawab Suharto karena dialah yang berlaku sebagai algojo
pembunuh ratusan ribu hingga jutaan manusia Indonesia yang tidak
bersalah. Saya merasa bahwa Presiden Soekarno telah memilih kata
yang tidak beruntung itu untuk PKI dalam keadaan PKI sendiri tetap
setia hingga ahir hayatnya kepada Bung Karno. Saya
sebagai pribadi dan adik D.N. Aidit (cuma bahan
pertimbangan):
Saya
tidak yakin kalau D.N.Aidit itu bisa jadi orang kekiri-kirian. Saya
mengenalnya dari dekat, tinggal bersamanya dalam banyak tahun,
serumah, dan juga bekerja untuknya. Secara politik dia tidak punya
sifat kekiri-kirian. Saya sebagai bekas anggota Partai, selalu
sebagai oposisi dalam grup Patai yang mananpun, saya juga tidak suka
dengan sifat kekiri-kirian. D.N.Aidit tidak punya sifat diktator,
terhadap keluarga maupun terhadap kawan-kawan
sendiri.
Kalau saya membaca tulisan
orang lain rentangnya yang menuduh dia
seorang diktataor, saya cuma ketawa. Reputasi pribadinya begitu
drastis direndahkan sesudah peristiwa G30S-65. Tapi saya bisa
memaklumi karena itulah sisa-sisa pemborjuisan di dalam Partai
sebagai akibat jalan damai yang bersuka ria dengan kaum borjuis
besar dan sedikit kebagian harta borjuis. Iri dengki satu sama lain
di antara pimpinan Partai sendiri, sudah menjadi budaya intern
Partai dan lalu diguna-kan musuh untuk mengadu domba seperti
umpamanya antara Aidit dan Nyoto, katanya ada kontradiksi yang
mendalam. Saya tahu persis hubungan Aidit dan Nyoto. Aidit sangat
mengagumi kebrilyanan otak Nyoto terutama dibidang seni dan
hususnya. Aidit tidak punya sifat iri terhadap kawan yang lebih dari
dirinya. Apa yang ditiup-tiup sebagai kontradiksi adalah omong
kosong. Memang akibat pemborjuisan di dalam PKI, mentalitas
pimpinan, terjadi degradasi, terutama oleh pengaruh materi dan ingin
hidup senang. Itu sebuah cerita yang akan berjilid jilid. Tapi akan
saya ahiri hingga di sini karena ini sudah teramat panjang dan
memang cuma beginilah kemampuan saya, semoga dengan penjelasan atau
pemikiran saya ini, Sdri. Maria Harsono tidak kecewa. Saya turut
mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Ayah anda beberapa bulan
lalu. Semoga kita selalu jelas dalam membedakan siapa lawan siapa
kawan.
Salam.
asahan
aidit
*******************
Pimpinan
PKI Keblinger?
(Diskusi
Asahan Alham – Maria Harsono)
Oleh:
Harsutejo
tentang
keblingernya sejumlah pimpinan PKI antara Bung Asahan Aidit dengan
Mbak Maria Harsono amat menarik bagi saya sebagai peminat sejarah
tragedi 1965. Kita sudah mengenal akan berbagai pernyataan dan
pertanyaan Bung Asahan seputar peristiwa 1965 yang sering amat tajam
dan kritis, barangkali membuat merah telinga sementara pihak yang
tidak setuju. Bagi saya sendiri berbagai pernyataan dan
pertanyaannya wajar dan sah untuk mencari tahu lebih lanjut akan
kebenarannya. Sebagai peminat yang ikut mengalami masa itu saya juga
kagum akan tanggapan yang amat kritis dari Mbak Maria, saya pun
berpikir untuk mencari jawabannya berdasarkan sedikit pengalaman
langsung maupun pengalaman orang lain serta kepustakaan yang dapat
saya akses. Untuk menanggapinya saya sendiri me-merlukan waktu untuk
menelaahnya lebih lanjut dengan lebih teliti.
tulisan Mbak Maria yang bisa langsung saya
tanggapi, “Ketika awal Oktober 1965, banyak yang pinter yg telah
melarikan diri dan mengganti identitasnya, bahkan yang ada
kesempatan keluarnegeri pada kabur ke negeri Sosialis untuk minta
suaka politik, masing2 secara pinter menyelamatkan nyawanya dahulu,
tidak mau ikut dikubur bersama pimpinan Partai yang keblinger itu.”
Saya sendiri termasuk salah seorang yang ditangkap dan dipenjarakan,
ketika dibebaskan segera kabur mengganti identitas. Dari pengalaman
6 bulan di penjara saya menyaksikan sendiri ribuan orang dibon
tengah malam dan lenyap untuk selamanya, pemerintah diktator itu
jelas akan membasmi semua saja yang dipandang lawannya. Mereka yang
dibebaskan dan tetap tinggal di rumah kemudian diciduk kembali dan
pada umumnya dibunuh atau dibuang ke Pulau Buru. Setahu saya
sejumlah orang Indonesia (ratusan?) yang berada di negeri-negeri
sosialis dan negeri lain, sudah berada di negeri itu ketika
peristiwa 1965 meletus, sebagai mahasiswa yang sedang tugas belajar,
berbagai macam utusan, sedang bekerja di berbagai institusi termasuk
kedutaan besar Indonesia dsb. Hanya beberapa orang
saja yang berhasil melarikan diri dari Indonesia dan menetap di luar
negeri, dengan demikian lolos dari kejaran rezim
Orba.
kita ketahui
“keblingernya pimpinan PKI” merupakan satu dari tiga bagian analisis
Bung Karno tak lama setelah terjadinya peristiwa 1 Oktober 1965.
Adakah anda tertarik menanggapi diskusi tersebut di atas? Atau bagi
mereka yang cukup banyak mengetahui, enggan ikut serta karena merasa
terikat akan segala sesuatu yang mereka anggap sebagai etika
organisasi? <harsonos@cbn.net.id>
Catatan:
Mohon
Mbak Maria Harsono sudi memberikan alamat email
anda.
***********************
"Asvi
Warman Adam" asvi@cbn.net.id on Sat, 8 Oct 2005 07:40:30 +0700
wrote
Diskusi
tentang keblingernya sejumlah pimpinan PKI antara Bung Asahan Aidit
dengan Mbak Maria Harsono amat menarik bagi saya. Apakah Maria Harsono itu
putrinya Pak Harsono Sutejo yang menulis komentar ini ?
asvi@cbn.net.id
**********************
From:
djoko sri moeljono
To:
harsutejo
Sent:
Saturday, October 08, 2005 8:39 AM
Subject:
Re: Pimpinan PKI Keblinger?
Pimpinan
PKI keblinger?
Menurut
pendapat saya pribadi,adalah benar bahwa
pimpinan PKI ke blinger.Pimpinan disini bisa merujuk pada seorang
Aidit, bisa juga merujuk pada "beberapa" (2 @orang?). Dalam naskah
buku saya ada bagian yang membahas ini, dimana menurut pendapat
"pribadi" saya pimpinan PKI terlalu terpengaruh a.l oleh bukti
"aspal" asli alias palsu - yaitu jebakan berupa dokumen Gilchrist.
Kertasnya asli Kedutaan Besar Inggris, tetapi isinya
"gombal"-"nonsens" - yang ditelan bulat-bulat tanpa dikunyah.tetapi
karena ada "bukti" berupa selembarkertas yang bisa dipegang, bisa
dilihat dan diketemukan dirumah seorang Amerika Bill Palmer, maka
bukti ini jauh lebih kuat dan lebih meyakinkan dari rumor, isu atau
desas-desus (yang di Buru disebut Radio Dengkul) - hal ini membuat
"risi" pimpinan PKI. Salah satu bentukrisi tsb, lagi-lagi menueurt
"pendapat saya" adalah desakan agar dibentuk Angkatan ke-V (diluar
Angkatan Darat, Laut, Udara dan kepolisian) yang dipersenjatai.
Tuntutan ini apakah hanya dari PKI atau didukung partai lain,saya sudah tidak ingat, tetapi yang jelas:
dibelakang hari tuntutan ini jadi boomerang bagi PKI. Orang bilang: PKI jelas
berniat berontak dan mereka menuntut Angkatan ke V dipersenjatai!
Itu adalah tanda-tanda bahwa mereka mempersiapkan diri! mengenai
keblingernya pimpinan, saya tulis dalam buku bahwa dalam hal-hal
penting ,krusial dan rahasia, "bisa dibenarkan" bahwa pimpinan
membatasi "orang yang boleh tahu" tetapi celakanya di antara
orang yang boleh tahu ternyata adalah intel AD yng disusup kan
ketengah PKI! Menjadi kewajiban bagi kita semua untuk membuat yang
gelap jadi terang dan jelas bagi generasi muda, betapapun
pahitnya.
**************
Pak Asahan
yth,
banyak cerita tempo
doeloe ayah saya, harap bapak bisa bersabar mengikutinya, jika
semuanya ditulis, barangkali bisa membikin novel setebal 500
halaman........
1 Oktober 1965, begitu
mendengar siaran RRI, mendengar pengumuan terbentuknya Dewan
Revolusi, ayah segera pergi ke kantor Dewan Nasional Pemuda Rakyat
di Jalan Tanah Abang. sana sudah ramai pucuk pimpinan Pemuda Rakyat
yang ramai mendiskusikan peristiwa besar itu.
masih ingat betul, ia
dan beberapa kawan (sayang minoritas jumlahnya), mengusul-kan agar
Partai melakukan tindakan tegas menarik garis pemisah dgn letkol
Untung, menyatakan bukan saja itu adalah masalah intern AD, tetapi
juga letkol Untung adalah provokator dan kontra rervolusi yang harus
dikutuk dan dibas-mi. Harus blejeti kedok asli letkol untung yang
kontra revolusioner.
ayah berpendapat
demikian? Masalahnya sebetulnnya sangat sederhana sekali. Bahwasanya
Partai sudah mengambil keputusan, TIDAK AKAN MUKUL DULUAN. Siapa yg
mukul duluan, apa itu PKI apa TNI, semuanya akan berada dalam posisi
yang dibawah angin dan kekalahan sudah pasti. Yang mukul duluan
pasti bukan PKI melainkan agen musuh yang menyelundup kedalam tubuh
PKI.
usul baik dari ayah
tidak mendapat tanggap serius bahkan dikatakan harus percaya kepada
Politbiro yang akan mengambil langkah2 yang
tepat.
berapa kemungkinan
mengenai siapa sebetulnya yang mencetuskan
G30S:
(1) Agen CIA yang
menyusup kedalam PKI, yang diwakili oleh Syam yang berhasil mendapat
kepercayaan tinggi dari DNAidit, atas perintah CIA, Syam menawan
Aidit, kemudian atas nama Aidit memerintahkan letkol Untung untuk
mencetuskan G30S dan menghabisi nyawa perwira2 tinggi AD, dengan
demikian memberi alasan kepada sisa2 AD yang anti Komunis untuk
mengambil langkah2 yang diperlukan untuk membasmi
PKI.
Hal ini demikian, maka
Polit biro CC PKI harus lebih cepat ketimbang Suharto, per-tama2
mengutuk (bukannya mendukung) G30S, mengatakan bahwa apapun
alasannya G30S adalah perbuatan provokatif yang licin yang bermaksud
menghan-curkan PKI. Menyeruhkan seluruh partai untuk ber-sama ABRI
membasmi dewean Revolusi di pusat maupoun di
daerah2.
(2) Politbiro CC PKI
berhasil diyakinkan oleh golongan ekstrim dalam tubuh PKI, untuk
mukul duluan, membatalkan keputusan sebelumnya, dengan demikian AD
tidak menyangka sedikitpun serangan mendadak ini, sebab sebelumnya
sudah digembargemborkan, jika 5 Oktober PKI dipukul, PKI baru
mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan.
kedua ini sangat besar,
sebab nyatanya PKI tidak mengutuk G30S, sebab G30S itu sendiri
didalangi oleh seluruh PB CC PKI.
menyatakan G30S adalah
masalah intern AD, PKI bermaksud mencucitangan, se-olah2 letkol
Untung bukannya disuruh oleh PKI, melainkan ber-tindak semau dewek.
PKI berilusi Pranoto bisa menjadi pengganti letjen Jani, ada desas
desus bahwa Pranoto adalah perwira maju yg pro PKI (atau mungkin
anggota rahasia PKI?), dengan demikian masalah ini bisa dilokalisir
dalam tubuh AD, bisa diselesaikan secara politik dibawah komando
Sukarno.
ayah, kemungkinan kedua
ini adalah kemungkinan yang terbesar. Pak
Asahan boleh berbeda pendapat, kita semua sama2 main duga saja
bukan?
kemungkinan
pertama, maupun kemungkinan kedua, PKI telah melakukan kesala-han
yang sangat fatal, yang mengakibatkan jatuhnya korban sampai jutaan
jiwa. Yaitu dengan statement PB CC PKI 2 Oktober, yang menyeruhkan
agar seluruh Partai jangan terprovokasi, ini adalah bahasa yang
umum, yang berarti jangan melakukan tindakan apa2, jika ditangkap
menyerah saja, toh akan dibebebaskan melalui penyelesaian politik
Sukarno. Ini berarti menyerahkan nyawa para anggota PKI di bawah
tangan Sukarno. Setelah Pranoto gagal jadi pimpinan AD, Suharto
merebut dengan kekerasan jabatan pimpinan AD, yang berarti Sukarno
sudah menyerah kalah dan tidak pegang komando dalam ABRI, PKI masih
berilusi Sukarno bisa menggunakan pengaruhnya untuk melakukan
penyelesaian politik, ini sudah sangat keterlaluan batas kesalahan
fatalnya. Maka tak heran Otokritik PB mengata-kan, dari kesalahan
oportunis kiri lari ke opurtunis kanan, dari secara gegabah
mendukung kup istana G30S yang tak ada bau2nya revolusi, terus lari
ke kapitulasionisme, menyerahkan nasib 20 juta simpatisan PKI kepada
Sukarno, dan terjadilah pembunuhan biadab terbesar dalam sejarah
Indonesia, sebab manusia dibantai tanpa perlawanan kaya ratusan ribu
ayam disembelih oleh para algojo.
Ayah
tidak menyalahkan Suharto, tidak menyalahkan para algojo Banser
Anshor, tidak menyalahkan Sarwo Eddie dll. mereka berbuat demian
karena mau balas dendam, mereka berbuat demikian takut dirinya
dibantai seperti 7 perwira di Lubang Buaya, jadi daripada mati
konyol, lebih baik menghabisi seluruh PKI, apalagi mereka takut akan
jumlah 20 juta yang sebetulnya merupakan angka fiktif, angka untuk
me-nakut2ti lawan. Merekapun takut, pasukan2 yang setia kepada PKI,
yang dibina melalui MKTBPnya PKI, oleh biro khusus akan melakukan
serangan balas.
Jadi
pak Asahan.,
sungguh
menyesal pak Asahan masih membela abangnya, masih membela PKI. Buat
ayah saya, siapa algojo sebenarnya yang membantai 7 juta? Bukannya
Suharto, juga bukan NU, bukan Sarwo Eddie. Melainkan PKI sendiri
yang menggali liang kuburnya sendiri dengan mengorbankan nyawa para
anggota dan simpatisan-nya.
jika
periksa kesalahan2 garis politik PKI itu sendiri, yang sejak
lahirnya sudah menjadi agen Moskow, PKI dilahirkan bukan untuk
membela Indonesia, melainkan untuk membela Uni Sovyet dari kepungan
negeri imperialis. sesua dengan garis
Moskow yang menjadikan AS sebagai musuh utamanya.
Indonesia tidak
diagresi secara militer kaya Vietnam, mengapa PKI
harus ikut tongkat komando Moskow menjadikan AS sebagaimusuh
utamanya?
jaman
Aidit, PKI main2 dengan api revolusi, menjadikan imperialis AS
sebagai musuh utama, menjadikan Setan kota dan setan desa sebagai
musuh utama yang harus diganyang, ini namanya poilitik orang goblok,
politik mencarimusuh, padahal dirinya tidak mempunyai kekuatan jika
semua musuh2nya bersatupadu untuk menghancurkan
PKI.
utama
yang membikin tragedi nasional adalah karena PKI adalah Partai
marxis leninis yang menempuh jalan kekerasan bersenjata, bukannya
partai remo seperti Italia yang menempuh jalan parlementer dan jalan
damai. Tapi lahiriahnya PKI menempuh jalan parlementer dan jalan
damai, kalau betul2 jalan parlementer, mengapa harus gembar gembor
revolusi belum selesai? mengapa dengan
lantang menyanyikan lagu: Singkirkan kaum kepala batu? Dengan apa
singkirkannya? Kalau bukan dengan senjata? Emangnya setan kota tidak punya bedil, emangnya mereka mau
dengan sukarela mundur dari panggung sejarah dengan demo2 dan aksi2
revolusioner dalam surat kabar?
,
G30S, terlepas siapa yang menjadi dalangnya, adalah suatu kejadian
yang pasti akan terjadi, karena PKI menempuh jalan revolusi, bukan
menempuh jalan reformasi, jalan damai kaya PK Itali, PK Perancis dll
yang dimaki sebagai Partai remo. Betul nggak pak
Asahan?
dulu,
lain kali sambung lagi cerita ayah dan pendapat saya
sendiri.
Harsono.
Oktober 2005
(tapi
sok pinter) PKI, membikin saya harus se-lama2nya menyembunyikan
identitas saya, sebab malu pernah jadi jantunghatinya PKI, menjadi
penerus PKI.
bukan
Tjiptaning yang bangga mejadianak PKI, saya dengan lantang
mengatakan di sini:
MARIA
HARSONO MALU JADI ANAK PKI.
******************************
Sdri.
Maria Harsono Yb,
Sebelumnya
ada yang perlu saya tegaskan:
-
Sebagai adik dari D.N.Aidit, tentu saya membela dia dari
tuduhan-tuduhan yang tidak benar, berlebih-lebihan, kekurangan bukti
atau tanpa bukti, berbau sentimen, provokativ atau menjurus kepada
fitnah. Dalam keadaan demikian saya tidak menuntut orang lain berbuat seperti saya, bahkan juga tidak
kepada saudara-saudara sedarah saya yang lainnya. Saya lakukan itu
atas dorongan rasa keadilan dalam kewajiban menilai atau membedakan
apa yang benar apa yang tidak, mana yang bohong mana yang jujur.
Saya berusaha obyektif dan tidak mau membabi buta atau menutup mata
asal abang sendiri lalu dibela mati-matian. Akan tetapi saya juga
tidak mau menjadi budak belian pendapat umum yang disesatkan,
dimanipulasi yang bermaksud mengkorupsi sejarah, menggelapkan dan
menjuruskannya ke satu arah hanya demi menyulap fitnah mernjadi
kebenaran umum.
Saya
juga tidak bermaksud membela kesalahan-kesalahan PKI yang sudah
semua kita ketahui, kita kritik dan oleh sebagian banyak orang telah
dikutuk habis-habisan. Tapi ada satu yang harus saya sedari dan
tidak bisa saya bantah: Kita adalah anak dari seorang ibu politik
yang bernama PKI itu (anda mungkin adalah cucu dari ibu poilitik
yang bernama PKI itu). Seorang ibu bisa melakukan kesalahan besar
bahkan hingga membunuh anaknya sendiri (itu sebuah cerita kehidupan
yang sama sekali bukan fiksi meskipun bukan setiap hari terjadi).
Tapi
seorang ibu tetap saja seorang ibu, dia telah melahirkan kita,
termasuk ibu politik, atau nenek politik. Bahwa kita ingin
menolaknya sebagai ibu karena dosa-dosanya, kesalahannya, atau "ke
keblingerannya" itu adalah hak setiap anak atau orang. Penolakan
tidak akan menyelesaikan soal, karena yang menentukan masa depan
seorang anak adalah jalan yang akan ditempuhnya sendiri, nasibnya
sendiri di masa yang akan datang atau masa depannya. Lalu masih ada
yang menyisa, yaitu masaalah keadilaan yang tidak bisa kita
tinggalkan begitu saja: sampai dimana besarnya dosa-dosa dan
kesalahan-kesalahan dibuat ibu politik kita itu. Sebelum
mengadilinya dan mengambil keputusan meningglkannya atau menolaknya,
kita harus tahu persis takaran berat ringannya semua kesalahan dan
dosa-dosa itu: faktor
dalam dan faktor luarnya, sarat-sarat sejarah di waktu itu,
langsung dan penyebab tidak langsung. Kebenaran tunggal itu tidak
ada. Yang ada, adalah berjuta kebenaran dan berjuta kesalahah dan
kita berada di tengah-tengahnya. Hanya
dengan pertolongan otak kita, kita mungkin membedakan yang satu
dengan yang lain. Sangat sederhana : satu
tambah satu adalah dua. Tapi tiga kurang satu adalah juga dua dan
masih berjuta variasi lainnya yang membenarkan angka dua adalah
angka dari hasil kebenaran. Lalu apakah yang kita maksudkan dengan
tunggal atau " kebenaran tunggal". Itu
tidak lain dari pada keinginan subyektif
seseorang untuk memonopoli hasil kebenarannya sendiri sebagai
kebenaran satu-satunya. Kebiasaan ini selalu dipunya oleh seorang
diktatator.
Saya
setuju dengan anda bahwa apa yang kita nilai sekitar peristiwa
30S-65, masih banyak yang bersifat dugaan. Anda menduga, saya
menduga, orang-orang lain juga menduga. Tapi Suharto dan bahkan juga
Presiden Soekarno adalah menuduh. Dan tuduhan itu yang terberat
adalah pada PKI. Dan inilah juga yang mereka anggap atau ingin
mereka paksakan sebagai kebenaran tunggal: PKI dalang pemberontakan
G30S-65 dan bahkan menurut anda sendiri, PKI-lah yang membunuh
berjuta yang tidak bersalah itu dan bukan Suharto, tidak menyalahkan
algojo besar Ansor, tidak menyalahkan Sarwo Eddie, semuanya salah
PKI. Sayapun tidak menyalahkan anda kalau anda punya pikiran
demikian dan juga tuduhan yang demikian. Saya sangat memaklumi
pikiran anda telah didominasi oleh pikiran "kebenaran tunggal"
kepunyaan sang diktator, yaitu:"PKI dalang dan pencetus G30S-65".
Tentu saya tidak sepikiran dengan anda dalam hal ini. Sebelumnya
telah saya tulis bahwa kesalahan dan kelemahan PKI harus dilihat di
dalam intern PKI itu sendiri, dalam rumah tangga mereka sendiri. Dan
sama sekali salah kalau menyimpulkan PKI-lah yang membunu-hi jutaan
manusia Indonesia yang tidak
bersalah. Amerika dan CIA saja tidak pernah bilang begitu, juga
Sovyet Unie yang saat-saat terahir menjadi musuh PKI, pernah bilang
begitu. Bahkan ada tokoh-tokoh Partai Islam yang terlibat langsung
dalam pembunuhan massal itu tidak pernah bilang begitu, dan lebih
dari itu, Gus Dur sendiri langsung minta maaf atas turut sertanya
massa mereka membunuhi orang-orang PKI dan simpatisan serta jutaan
manusia yang tidak bersalah dan bukan PKI, bukan komunis, bukan dari
aliran politik yang manapun. Apakah kebenaran yang diluar kebenaran
tunggal itu akan dibantah dan ditiadakan? Lalu kita akan
beramai-ramai mengikuti arus dan turut menyuarakan propaganda mereka
bahwa PKI adalah agen semua negeri Adidaya seperti Sovyet Uni(ketika itu), Cina, yang seharusnya mengikuti
jalan Patai Komunis Italia, atau Perancis dan tidak mengang-gap
Imperialis Amerika sebagai musuh (lalu sebagai teman?)?. Mungkin
dalam beberapa hal ada benarnya, tapi juga jelas pemikiran pokok
seperti itu lebih banyak bersifat tuduhan, bahkan tuduhan
sentimentil daripada tuduhan politik kongkritnya .Di sini pemikiraan
politik telah banyak kehilangan keseimbangannya dan lebih mengarah
kepada sentmentil terutama jika sudah sampai pada tuduh menuduh.Saya
mengakui tuduh menuduh itu adalah wajar bila dalam sarat dua pihak
mendapatkan hak yang sama, kesempatan yang sama dan sama-sama tidak
diancam kekuataan diktator seperti semasa jaman Suharto .Dan
sekarang, inilah yang sedang ingin kita bereskan, cerahkan dan nilai
se-obyektif mungkin. Prosesenya masih lama dan masih sangat berliku.
Dan siapa yang lelah duluan, dialah yang akan kalah dan "kebenaran
tunggal", kebenaran si diktator akan kembali menjadi pendapat umum
meskipun untuk sementara . Kita tidak mau
hal itu terjadi lagi dan untuk itu jangan kita berhenti di tengah
jalan sambil meyakini apa yang tidak persis kita ketahui. Anda tidak
mau punya sikap seperti Dr. Tjiptaning, itu adalah hak anda seperti
juga hak Dr. Tjiptaning untuk merasa bangga jadi anak PKI. Saya
umpamanya, tidak mempunyai dua macam perasaan itu: tidak merasa malu
menjadi anak politik PKI dan juga tidak bangga. Yang saya inginkan
adalah kebenaran, keadilan dan membersihkan semua dari fitnah,
kebohongan, penipuan dan manipulasi politik. Terhadap semua
kesalahan dan kelemahan PKI sikap saya adalah jelas: tidak kompromi
dan tidak akan menutup-nutupinya dan juga tidak akan meneruskan dan
membenarkan kesalahan itu. Tapi saya juga adalah anak politik dari
PKI yang dia adalah ibu politik saya. Itu adalah identitas yang
tidak bisa dan juga tidak mau saya hilangkan karena ini menyangkut
soal moral politik dan juga moral kemanusiaan saya meskipun langkah
ke depan saya sudah lain dan tidak lagi mengikuti jejak ibu politik
saya itu.
Salam
ikhlas dari saya
asahan
aidit.
*****************************
:
"samiaji" <samiaji@noos.fr>
:
Re: [wahana-news] Pimpinan PKI Keblinger?
Harsutejo,
dan para sahabat!
Mengikuti
diskusi "Pimpinan PKI Keblinger?", juga
tertarik, dan ikut nimbrung mencari jawab pertanyaan: "Siapa
Keblinger ?" dari sudut pandang yang lain, -- Apakah Bung Karno
tidak juga "keblinger"? Saya menyadari membuat artikel ini akan
memancing sanggahan. Tapi, betapapun, diskusi akan selalu bermanfaat
untuk memperluas wawasan. akan dengan
senang hati kalau tulisanku ini bengkak-bengkok "diluruskan", dan
memang saya mohon pencerahan.
Artikel itu saya
lampirkan dengan tema "Siapa Keblinger?"
Dengan
salam hangat,
*********************************
"sadewa48"
<sadewa48@centrin.net.id> wrote
:
Diskusi
tentang keblingernya sejumlah pimpinan PKI antara Bung Asahan Aidit
dengan Mbak Maria Harsono amat menarik bagi saya. Menanggapi tanda
tanya tentang "Siapa keblinger" oleh Bung Samiaji, uraian itu saya
kira sudah tepat menunjukkan bahwa Bung Karno juga keblinger. Antara
BK dengan PKI memang seperti kuku dengan daging. Mungkin PKI kukunya
dan BK dagingnya. Dalan konteks untuk tampil menjadi tokoh dunia
ketiga (NEFO), si daging terus membiarkan (dan mendorong) agar
kukunya terus memanjang dan mampu menca-kar ke mana-mana. NEFO,
artinya bukan dua blok yang sudah ada. Ini blok baru dan negara
sosialis termasuk ke dalamnya. Tanpa dukungan kuku (PKI), maka BK
tak mungkin bisa muncul sebagai tokoh dunia ketiga. Persoalannya,
ketika kuku sudah kuat dan panjang, lalu kurang kritis dalam membaca
situasi di dalam negeri, terutama dalam rivalitasnya dengan TNI/AD.
Ternyata dua-duanya sama-sama takut. TNI/AD takut PKI muncul dominan
dan PKI juga takut TNI/AD merebut kekuasaan. Di sini PKI keblinger
karena terpancing untuk "memukul dulu sebelum dipukul". Dan ini
kemudian menjadi peluang TNI/D untuk memukul PKI dengan alasan
"terlibat".Ada bukti DNA di Halim (karena "dijemput" tentara
malam-malam. Lihat buku Ilham). DNA "dipasang" di Halim untuk
mencari legitimasi bagi TNI/AD, PKI terlibat. Satu-satunya tokoh PKI
yang "menyimpang" pendapatnya adalah Ismail Bakri, CDB Jabar, tapi
tak didengar. Dan ternyata dia benar. Kalau
memukul dulu, akan ada alasan untuk balik dipukul. Ketika dipukul,
BK muncul agar "tunggu komando". BK keblinger, komando apa bisa
dicetuskan dan dapat menggerakkan semua kekuatan pendukungnya
(termasuk militer) bila PKI sudah diremuk duluan? "Memukul dulu"
(keblingernya PKI) dan "tunggu komando" (keblingernya BK) minta
tumbal jutaan nyawa.
*********************************
ChanCT"
<SADAR@netvigator.com wrote :
Saya
termasuk seorang yang berusaha mengikuti secara teliti
tulisan-tulisan sekitar G30S yang tetap penuh dengan tanda tanya
itu, dan selalu tetap gelap bagaimana kenyataan sesungguhnya yang
terjadi.
Tidak
pernah menyangkal adanya sementara tokoh PKI yang terlibat langsung
dalam G30S, yang tetap menjadi pertanyaan saya adalah sampai dimana
sesungguhnya peranan mereka itu, bisakah DN. Aidit yang ketua PKI
itu dikatakan dalang G30S? Sungguh masih harus dipertanyakan, karena
kenyataan Aidit justru menampakan diri dalam posisi yang pasif, yang
tidak layak disebut dalang. Bagaiaman mungkin yang namanya dalang,
justru yang diperintah Syam Kamaruzzaman pada saat di Halim subuh
pagi 1 Oktober 65 itu, untuk tetap meneruskan penerbangan ke
Jawa-tengah. Padahal ada berita yang menyatakan, pada saat Mantan
Presiden Soekarno menolak rencana ke Jawa-tengah, DN Aidit juga
ingin membatalkan kepergiannya. Dan, ...
seandainya DN Aidit, PKI adalah dalang G30S, kenapa tidak bertahan
di Jkrt. untuk memberi komando selanjutnya, tapi tunduk pada
perintah Syam untuk bersembunyi? Bisakah tindakan DN Aidit yang
demikian ini (tunduk perintah Syam dan bersembunyi di Jawa-tengah)
sebagai bukti PKI adalah dalang G30S?
Kedua,
Seandainya benar berita DN Aidit tunduk pada perintah Syam, tentu
harus dipertanyakan siapa sesungguhnya Syam, yang ketua Biro Khusus
bisa berperan memerintah DN Aidit yang justru Ketua PKI itu?
Sementara orang menyatakan Syam double intelinjen, dia bekerja untuk
PKI tapi juga bekerja untuk AD, bahkan juga CIA. Dan kalau, kita
perhatikan lagi bagaimana kedekatan Syam pribadi dengan jenderal
Soeharto yang sudah tergalang sejak jaman Jogya tahun 46-48 itu,
kemudian melihat kedekatan/keakraban jenderal Soeharto dengan
tokoh-tokoh teras G30S, dari Letkol. Untung Samsoeri, Kol. Latief,
Brigjen Soepardjo tentu orang akan cende-rung menyatakan jenderal
Soeharto-lah dalang G30S sesungguhnya; Begitulah kekuatan-kekuatan
pasukan yang digunakan G30S, Yon-434 Diponegoro dan Yon-530
Brawijaya, adalah pasukan siap tempur yang langsung didatangkan ke
Jakarta oleh jenderal Soeharto sendiri, tapi anehnya, pasukan ini
pula yang digunakan untuk menindas G30S di Halim. Oleh karena itu,
tidak aneh Soebandrio menyatakan G30S hanyalah rekayasa jenderal
Soeharto dalam rangka kupdetat-merangkak, dan berhasil dengan
baik.
,
mengingat ketika itu, situasi perang-dingin yang sedang
panas-panasnya, bukan mustahil Amerika dengan CIA-nya pasti
berperanan untuk membasmi komunis dan menjungkelkan presiden
Soekarno yang terlalu "kiri" itu. Yang perlu diselidiki lebih
lanjut, tentu adalah sampai dimana jenderal Soeharto digunakan oleh
CIA sebagai kuda tunggang pengganti jenderal Nasution. Jadi,
sementara analisa ada benarnya, G30S hanyalah satu gerakan buatan
CIA sebagai jebakan yang dirancang untuk gagal, sebagai alasan untuk
menggebuk dan menumpas PKI saja. Dan itulah yang telah terjadi dan
bisa kita lihat jelas, semua inisiatif dilakukan secara cekatan oleh
jenderal Soeharto.
demikian,
saya setuju dalam langkah perjuangan selanjutnya, janganlah main
basmi-membasmi, bunuh membunuh lagi. Korban rakyat tak berdosa sudah
terlalu banyak bergelimpangan karena kesalahan itu. Perlakukanlah
setiap umat-manusia sebagai manusia yang harus dihormati dan
disayangi. Jangan lagi kita menganggap diri-sendiri yang manusia,
yang paling benar dan orang lain yang beda-pendapat, beda agama, dan
beda politik-ideologi sebagai setan, sebagai musuh yang harus
dibasmi, dibunuh. Jangan lagi! Bersatulah bangsa ini dengan lebih
baik lagi mewujudkan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan nyata
bermasyarakat.
juga
setuju dendam orang-tua tidak seharusnya kita warisi, orang tua
dimasa lalu saling baku-hantam, kita dan anak-cucunya harus bisa
menempuh kehidupan barunya sendiri, sebagai anak-bangsa yang
bersatu-padu untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Tetapi
ingat, generasi muda harus terus berusaha menegakkan HUKUM
sebaik-baiknya, pelanggaran HUKUM, kesalahan-kesalahan pelanggaran
HAM-berat sekalipun sudah lewat 40 tahun lebih, tetap harus tergugat
HUKUM, tidak ada masalah kedaluwarsa. Sekarang belum ada kemampuan
untuk itu, tapi harus diperjuangkan adanya kejernihan dan keadilan
sebaik-baiknya secara HUKUM. Tidak membiarkan lewat begitu saja,
setelah terjadi pembunuhan, penga-niaya, penangkapan begitu banyak
orang tidak berdosa, yang bertanggung jawab harus diadili dan ada
kejelasan HUKUM. Dan tuntutan keadilan,
penegakkan HUKUM demikian ini sekali-kali bukan
balas-dendam.
Salam,
ChanCT
*******************
From: Asahan
Aidit:
Sent: Thursday, October 13,
2005 5:26 AM
::
Seluruh bangsa adalah keblinger
Dalam peristiwa G30S-65
seluruh bangsa adalah keblinger
yang
terutamanya adalah Suharto sendiri. Dimulai dengan membunuh 7
Jendaral dan diahiri dengan pembunuhan berjuta-juta orang yang tidak
bersalah termasuk anggota-anggota PKI beserta simpatisannya. Seluruh
kekuatan reaksioner dalam negeri yang bekerja sama dengan CIA telah
nyata-nyata keblinger. Tidak ada satu pihakpun yang terlibat
langsung maupun tak langsung dalam peristiwa G30S-65 , bisa merasa dirinya tidak keblinger. Itu
semua adalah kesesatan pikiran dan tindakan gila-gilaan yang tak
terperikan kejam dan biadabnya terhadap kemanusiaan dan terhadap
bangsa Indonesia khususnya.
Karenanya kalau hanya dituduhkan pada pimpinan PKI saja yang
keblinger, adalah sangat idak adil, tidak obyektif dan juga tidak
benar. Yang benar, semuanya dalam keadaan keblinger, mabuk kuasa,
mabuk darah dan mabuk kejayaan oleh kesesatan dan kepanikan ideologi
dan kemerosotan moral politik maupun moral
kemanusiaan.
aidit.
*******************
From:
ChanCT
Sent:
Thursday, October 13, 2005 5:04 AM
Subject:
[wahana-news] Re: Seluruh bangsa adalah
keblinger?
Bung
Asahan yth,
,
pernyataan seluruh bangsa keblinger sih agak keterlaluan juga, ya.
Apalagi dinyatakan seluruh bangsa mabuk kuasa. Siapa yang mabuk
kuasa? Itukan cuman segelintir elite saja, kenapa mesti dibawa-bawa
rakyat tidak berdosa, ya. Mereka-mereka itu betul-betul tidak tahu
apa-apa, kok. Tahu-tahu ditangkap, dipenjara, atau, ... dibantai dengan tidak tahu-menahu apa
salahnya, apa dosanya! Bagaimana bisa dikatakan
keblinger?
lagi, menjadi lebih
salah kalau dikatakan jenderal Soeharto juga keblinger. Jenderal
Soeharto adalah satu-satunya orang yang tidak keblinger, tapi yang
betul-betul cerdik-pandai (baca sangat licik) dan berhasil mencapai
tujuannya.
itu berarti orang yang
sok pinter tapi melakukan kesalahan yang sangat
bodoh?
Salam, ****************
Bung Chan
Yb.
Keblinger yang
diinterpretasikan sebagai sok pinter tapi sebenarnya goblok adalah
sebuah penafsiran emosional yang bisa saja -bawa meng-embeli arti
pokoknya yaitu sesat. Ada sebuah pepatah rakyat Vietnam yang sangat
populer yang berbunyi:"Khon qua thanh dai" yang terjemahannya
adalah: Kebangetan cerdiknya, jadinya goblok. Soalnya apakah tepat
demikian diterapkan pada kasus para pimpinan PKI:
Sok
pinter tapi sebenarnya goblok. Saya tidak sedikitpun punya hasrat
untuk membela kelemahan dan kesalahan pimpinan PKI. Bahkan saya
sudah hampir mabuk ketika mengkritik para pimpinan PKI selama dalam
diskusi bertahun tahun dalam kolektif Partai ketika sama-sama
mempelajari "kritik otokritik PB CC PKI".Tapi penilaian bahwa para
pimpinan PKI itu sok pinter tapi sebenarnya goblok, baru saya dengar
sekarang. Terdengar sangat kekanak-kanakan, seperti dua suami istri
yang sedang bertengkar dan saling merendahkan.Sebuah tuduhan yang
sangat ringan tanpa sedikitpun punya bobot politik dan hanya untuk
melampiaskan kekesalan pribadi. Saya yakin ketika Presiden Soekarno
melepaskan kata "keblinger",beliau tidak
memberi arti tambahan seperti itu. Saya kira pilihan kata beliau itu
sangat beliau pikirkan masak- masak sebelumnya, bukannya spontan
penuh kehati-hatian. Namun punya kesan dualisme, yaitu terdengar
tidak serius, tapi punya efek melunakkan hati Suharto dan
memberatkan dosa PKI. Jadi kata yang kedengaran-nya tidak garang itu
sudah sangat memenuhi keiinginan Suharto, yang diartikannya memang
PKI setidaknya dalang yang sangat penting. Orang yang sedang sesat
pikirannya, memang bisa berbuat apa saja, gelap mata ,sampai kepada mengamuk sekalipun.
Saya
sungguh tidak mengerti, bahkan tidak habis ipikir,mengapa justru banyak orang-orang PKI yang
menuduh dirinya (PKI/ Pimpinannya) adalah dalang atau terlibat
bulat-bulat dalam peristiwa G30S-PKI. Apakah ini dimaksudkan untuk
menunjukkan sifat ksatria, berani ngaku salah, berani mengutuk diri
sendiri di depan musuh bagi menujukkan budi yang luhur di dibawah
telapak Suharto. Dan bahkan berusaha
membuktikan sendiri "fakta-fakta" keterlibatan dan peranan dalang
PKI dalam peristiwa G30S-65. Sungguh menakjubkan! Tapi semakin hari
semakin terasa gejala demikian cumalah ledakan emosi dari kenaifan
berpolitik:sikap sportif dalam berpolitik yang dalam dunia yang
begini cumalah bunuh diri tanpa meninggalkan keharuan. Dalam politik
tidak ada sportifitas. Sedarilah itu sejak sekarang. Politik adalah
argumentasi yang bisa diterima akal sehat berdasar logika serta
analisa historis dan kontemporer dan hasrat untuk menang. Suharto
yang tidak sanggup berargumen-tasi untuk membela perbuatan
biadabnya, lalu menggunakan senjata dan kekerasan, kebohongan dan
fitnah, militeris dan fasisme, diktatorial dan otokrasi dan semua
metode untuk menyumbat semua mulut yang menentang dirinya karena dia
tidak punya argumentasi yang bisa diterima akal manusia
normal.Barangkali Suharto lebih mengerti politik daripada PKI, dia
tahu apa yang ingin dia capai dan dengan cara bagaiamana, kesempatan
yang bagaimana dengan alat apa. Tapi lalu dia sendiri jadi
benar-benar keblinger, paranoia, mata gelap lalu menjadi biadab dan
berjuta manusia yang tidak bersalah mati
tangannya.
Dengan kekuatan dan
ancaman serta paksaannya dia memperbodoh rakyat hingga rakyat jadi
turut keblinger seperti dia. Jangan terlalu ideal memandang kata
"rakyat". Meskipun rakyat adalah elemen terbesar dari bagian sebuah
bangsa, tapi juga dalam rakyat masih terbagi-bagi menjadi
golongan-golongan, wilayah pengaruh dari Partai Partai politik,
agama, kepercayaan, profesi dan bahkan sebagian dari bangunan atas
adalah juga salah satu elemen dari rakyat. Bukanlah berlebihan kalau
seseorang mengatakan, bahwa rakyat ini adalah bangsa korupsi, bangsa
maling, bangsa biadab dsb,dsb, dsb. Tentu
itu tidak berarti mutlak hingga seratus persen murni bahwa setiap
manusia Indonesia adalah
demikian. Tapi penggeneralisasian yang demikian dalam syarat-syarat
tertentu dari suatu bangsa dalam perjalanan sejarahnya, adalah bisa
adanya. Kita katakan sekarang ini jaman edan. Mengapa edan? Karena
bangsanya sedang edan yang rakyatnya juga turut dibikin edan. Kalau
tidak mau jadi edan, ya jangan turut-turut edan. Salah satu keedanan
itu, umpamanya, sok ngaku salah karena sudah dibunuhin, dibuang, ,
dilucuti hak-hak azasinya, diperlakukan sebagaai kaum Paria dan
segala kehinaan dan nista yang diberikan musuh, tapi tetap saja
menyalahkan diri sendiri dan membenarkan musuh. Apakah ini tidak
edan dan bahkan masih dianggap sportif. Otokritik di depan musuh tapi memaki maki saudara sendiri.
Rekonsiliasi bukan cuma ilusi tapi sudah benar-benar dongeng fantasi
1001 malam. Musuh hanya bisa
dimaafkan bila dia sudah benar-benar menyerah kalah. Dan
hanya orang yang punya salah atau punya dosa yang mestinya minta
maaf. Dan bukan sebaliknya. Dan di sinilah politik:dia sebuah
logika, analisa historis dan kontemporer dan argumentasi yang bisa
diterima akal sehat dan bukan "sportivitas"di depan musuh politik
yang tak akan pernah melakukan hal itu.
asahan
aidit.
*******************
From:
Waji Waki
Sent:
Friday, October 14, 2005 1:33 AM
Subject:
Makna keblingernya pimpinan PKI
Salam,
telah
mengikuti diskusi yang diawali oleh Mbak Maria Harsono dengan Bung
Asahan Aidit tentang “Makna apa dibalik kata "KEBLINGER" pemimpin
PKI dalam peristiwa G30S-65�, kemudian menjadi berkembang setelah
mendapat beberapa respon, seperti respon dari Bung Hesri, Bung
Samiaji, Bung Sri Moeljono, dan mungkin yang lain. Saya ingin ikut
berdiskusi dengan pendapat seperti berikut:
..
Persoalan pertama adalah apakah dalam peristiwa G30S-1965, Pimpinan
PKI “benar†atau “tidak benar†telah keblinger seperti yang
dimaksud Bung Karno ?. Apabila Pimpinan PKI
(bukan PKI ?) benar, telah keblinger dalam peristiwa G30S seperti
yang dikemukakan oleh Mbak Maria Harsono, maka diskusi tentang makna
dari keblingernya pimpinan PKI dalam peristiwa G30S-65 dapat , dan
saya kira diskusi inilah yang dikehendaki oleh Mbak Maria. Diskusi
tentang makna keblingernya pimpinan PKI dalam peristiwa G30S-1965
adalah penting, baik bagi kita yang hanya untuk menghadapi masa kini
(sekarang ini) saja, maupun kita yang berkepentingan untuk
menghadapi masa kini dan masa yang akan datang. Paling tidak diskusi
ini dapat membuka sebagian dari sisi-sisi penting dari peristiwa
G30S-1965 yang masih dianggap gelap.
..
Sebaliknya, apabila menganggap analisa Bung Karno dalam peristiwa
G30S salah, artinya pimpinan PKI dianggap tidak keblinger atau
menganggap yang keblinger adalah seluruh bangsa, seperti yang
dikemukakan oleh Bung Asahan, atau Bung Karno yang keblinger (Bung
Samiaji) maka dengan sendirinya tidak ada manfaatnya untuk
mendiskusikan “makna keblingernya pimpinan PKI†lebih lanjut.
Diskusi ini dengan sendirinya berakhir setelah (Bung Asahan). pihak yang tidak sependapat, telah melakukan
tuduhan yang tidak benar, berlebihan, kurang atau tanpa bukti,
berbau sentimen, provokativ atau menjurus kepada fitnah. Artinya
Bung Asahan sudah menutup pintu untuk apapun yang namanya kritik.
..
Saya melihat ada dua fakta yang dijadikan dasar analisa Mbak Maria
dalam mendukung analisa Bung Karno tentang keblingernya pimpinan PKI
dalam peristiwa G30S-1965, yakni pertama, fakta tentang adanya
konflik intern di dalam partai, yakni konflik antara kelompok Ismail
Bakri (disebut sebagai kelompok ML), kelompok (kekiri-kirian), dan
kelompok moderat (Sudisman cs), dimana kelompok Aidit sebagai
kelompok dominan, dan yang kedua, fakta tentang adanya keputusan PB
PKI untuk tidak mendahului.
..
Saya setuju dengan Mbak Maria bahwa pimpinan PKI, (menurut Bung
Djoko Sri Moeljono bisa seorang Aidit, bisa "beberapa", 2 atau 3
orang), “memang benar†telah keblinger. Keblingernya pimpinan
PKI disebabkan telah melanggar keputusan (strategis) PB PKI untuk
“tidak mendahuluiâ€, dan lebih lagi dengan adanya pernyataan di
Harian Rakyat tgl 2 Oktober 1965. Dengan adanya pernyataan tgl 2
Oktober ini, menurut Bung Bambang Hutagalung, pimpinan PKI telah
melarang semua anggota dan simpatisan PKI melakukan perlawanan
..
Lebih dari itu, saya berpendapat bahwa keblingernya pimpinan PKI
dalam peristiwa G30S-1965 adalah merupakan puncak dari akumulasi
kesalahan politik dan organisasi PKI bersumber pada kesalahan
ideologi. PKI tidak pernah mau belajar pada kesalahan-kesalahan yang
telah dibuat pada masa lampau, seperti kesalahan yang dibuat pada
tahun 1926, 1945, dan tahun 1948. dalam peristiwa Madiun tahun 1948
pimpinan PKI menuding Hatta sebagai , karena provokasinya, maka
dalam peristiwa G30S-1965 menuding Soeharto sebagai penyebab
dibantainya ratusan ribu anggota maupun simpatisan PKI. Sehingga
sampai saat sekarang ini yang selalu kita persoalkan hanya bagaimana
mengadili Soeharto, bagaimana meminta kompensasi ataupun
rehabilitasi. Siapa yang kita suruh mengadili Soeharto ? Siapa yang kita tuntut untuk memberi
kompensasi atau rehabilitasi ? Apakah ini
bukan suatu ilusi ?
..
Makna dari keblingernya pimpinan PKI dalam peristiwa G30S-1965
adalah bagaimana kita bisa melakukan koreksi dengan benar atas
kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat pada masa yang lalu.
Makna pengakuan akan keblingernya pimpinan PKI dalam peristiwa
G30S-1965 tidak lain adalah pengakuan atas
kesalahan PKI dalam peristiwa tahun 1965.
Jakarta, 13 Oktober
2005
Waki
Waji
From: Waji Waki
Sent:
Friday, October 14, 2005 1:33 AM
Subject:
Makna keblingernya pimpinan PKI
Salam,
Saya
telah mengikuti diskusi yang diawali oleh Mbak Maria Harsono dengan
Bung Asahan Aidit tentang ¡§Makna apa dibalik kata "KEBLINGER"
pemimpin PKI dalam peristiwa G30S-65¡¨?, kemudian menjadi berkembang
setelah mendapat beberapa respon, seperti respon dari Bung Hesri,
Bung Samiaji, Bung Sri Moeljono, dan mungkin yang lain. Saya ingin
ikut berdiskusi dengan pendapat seperti
berikut:
Persoalan
pertama adalah apakah dalam peristiwa G30S-1965, Pimpinan PKI
¡§benar¡¨ atau ¡§tidak benar¡¨ telah keblinger seperti yang dimaksud
Bung Karno ?. Apabila Pimpinan PKI (bukan
PKI ?) benar, telah keblinger dalam peristiwa G30S seperti yang
dikemukakan oleh Mbak Maria Harsono, maka diskusi tentang makna dari
keblingernya pimpinan PKI dalam peristiwa G30S-65 dapat , dan saya
kira diskusi inilah yang dikehendaki oleh Mbak Maria. Diskusi
tentang makna keblinger-nya pimpinan PKI dalam peristiwa G30S-1965
adalah penting, baik bagi kita yang hanya untuk menghadapi masa kini
(sekarang ini) saja, maupun kita yang berkepentingan untuk
menghadapi masa kini dan masa yang akan datang. Paling tidak diskusi
ini dapat membuka sebagian dari sisi-sisi penting dari peristiwa
G30S-1965 yang masih dianggap gelap. Sebaliknya, apabila menganggap
analisa Bung Karno dalam peristiwa G30S salah, artinya pimpinan PKI
dianggap tidak keblinger atau menganggap yang keblinger adalah
seluruh bangsa, seperti yang dikemukakan oleh Bung Asahan, atau Bung
Karno yang keblinger (Bung Samiaji) maka dengan sendirinya tidak ada
manfaatnya untuk mendiskusikan ¡§makna keblingernya pimpinan PKI¡¨
lebih lanjut. Diskusi ini dengan sendirinya berakhir setelah (Bung
Asahan). pihak yang tidak sependapat, telah
melakukan tuduhan yang tidak benar, berlebihan, kurang atau tanpa
bukti, berbau sentimen, provokativ atau menjurus kepada fitnah.
Artinya Bung Asahan sudah menutup pintu untuk apapun yang namanya
kritik.
Saya
melihat ada dua fakta yang dijadikan dasar analisa Mbak Maria dalam
mendukung analisa Bung Karno tentang keblingernya pimpinan PKI dalam
peristiwa G30S-1965, yakni pertama, fakta tentang adanya konflik
intern di dalam partai, yakni konflik antara kelompok Ismail Bakri
(disebut sebagai kelompok ML), kelompok (kekiri-kirian), dan
kelompok moderat (Sudisman cs), dimana kelompok Aidit sebagai
kelompok dominan, dan yang kedua, fakta tentang adanya keputusan PB
PKI untuk tidak mendahului.
Saya
setuju dengan Mbak Maria bahwa pimpinan PKI, (menurut Bung Djoko Sri
Moeljono bisa seorang Aidit, bisa "beberapa", 2 atau 3 orang),
¡§memang benar¡¨ telah keblinger. Keblingernya pimpinan PKI
disebabkan telah melanggar keputusan (strategis) PB PKI untuk
¡§tidak mendahului¡¨, dan lebih lagi dengan adanya pernyataan di
Harian Rakyat tgl 2 Oktober 1965. Dengan adanya pernyataan tgl 2
Oktober ini, menurut Bung Bambang Hutagalung, pimpinan PKI telah
melarang semua anggota dan simpatisan PKI melakukan perlawanan
Lebih
dari itu, saya berpendapat bahwa keblingernya pimpinan PKI dalam
peristiwa G30S-1965 adalah merupakan puncak dari akumulasi kesalahan
politik dan organisasi PKI bersumber pada kesalahan ideologi. PKI
tidak pernah mau belajar pada kesalahan-kesalahan yang telah dibuat
pada masa lampau, seperti kesalahan yang dibuat pada tahun 1926,
1945, dan tahun 1948. dalam peristiwa Madiun tahun 1948 pimpinan PKI
menuding Hatta sebagai , karena provokasinya, maka dalam peristiwa
G30S-1965 menuding Soeharto sebagai penyebab dibantainya ratusan
ribu anggota maupun simpatisan PKI. Sehingga sampai saat sekarang
ini yang selalu kita persoalkan hanya bagaimana mengadili Soeharto,
bagaimana meminta kompensasi ataupun rehabilitasi. Siapa yang kita
suruh mengadili Soeharto ? Siapa yang kita
tuntut untuk memberi kompensasi atau rehabilitasi
? Apakah ini bukan suatu ilusi ?
Makna
dari keblingernya pimpinan PKI dalam peristiwa G30S-1965 adalah
bagaimana kita bisa melakukan koreksi dengan benar atas
kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat pada masa yang lalu.
Makna pengakuan akan keblingernya pimpinan PKI dalam peristiwa
G30S-1965 tidak lain adalah pengakuan atas
kesalahan PKI dalam peristiwa tahun 1965.
Jakarta,
13 Oktober 2005
Waki
Waji
***************************
From:
maria harsono
Sent:
Saturday, October 15, 2005 6:15 AM
Subject:
Makna keblingernya pimpinan PKI
tambahan
keterangan sedikit:
kekuatan
revolusioner adalah kekuatan yg setia kepada revolusi agustus 45,
PKI yg mamu membikin Indonesia menjadi negara satelit Moskow kaya
Cuba cuma kulitnya revolusioner, isinya adalah reaksioner, adalah
pengkhianatan thd revolusi agustus 45 dan
Pancasila.
maria
harsono emhar76@yahoo.com.hk
================================
Bapak
Waki Waji yth,
Saya
tertarik sekali dengan uraian point (4) bapak, yaitu mengenai
Mengapa PKI bisa keblinger, hal ini disebabkan PKI tidak bisa secara
baik menyimpulkan kesalahan2 1926, 1945, dan 1948. PKI lebih banyak
mencari kesalahan lawan2nya, kesalahan Kolonial Belanda, kesalahan
Hatta, kesalahan Suharto dan kesalahan nekolim
dlsb.
Dewasa
ini saya memperhatikan masih ada secuil (karena jumlahnya paling
banter cuma ratusan orang tua yg sudah jompo dan ubanan) sisa2 PKI
yg berkepala batu tidak mau memeriksa kesalahan2 PKI, cuma maki2
Suharto biadab, menuntut agar Suharto diseret ke pengadilan. . . . . . . .
Tapi
orang2 ini rajin menyebarkan racun2 berbisa ke tengah2 generasi muda
Indonesia yang masih
hijau pengalaman perjuangan politiknya, selalu me-nutup2i kesalahan2
serius dari PKI, selalu mem-besar2kan kesalahan Suharto dengan
orbanya. Mengapa saya tampil ke media internet ini, justeru karena
tidak tega melihat anak muda dicekoki propaganda palsu sisa2 Komunis
semacam itu. Takut mereka kelak jadi umpan peluru kayak pembantaian
1966 lagi, sedangkan yang menghasut ngumpet di luarnegeri.
Mengapa
kekuatan revolusioner dalam AD begitu benci kepada kekuatan
reaksioner PKI, mengapa CIA terlibat dalam gerakan pembasmian PKI di
Indonesia?
Satu
hal yang sering dilupakan atau sengaja dilupakan, fakta hidup bahwa
PKI adalah sekutu bahkan kakitangan Gerakan Komunis Internasional
yang berpusat di Moskow dan Beijing,
dengan Stalin dan Mao Tjetung sebagai gembongnya, yang berkhayal
membikin seluruh dunia menjadi merah, membikin Indonesia menjadi negara
satelit mereka.
Tanpa
kita menyadari fakta ini, kita tidak bisa memahami mengapa kekuatan
revolusioner Indonesia begitu benci
kepada PKI dan sejak lama mau membasminya. Kitapun tidak bisa
memahami mengapa CIA ikut campur tangan dalam menying-kirkan Sukarno
dan membasmi PKI.
ABRI
yang dilahirkan dalam kanca revolusi Agustus 1945, adalah kekuatan
utama kaum revolusioner Indonesia. PKI sangat
menonjol sifat reaksionernya dalam peristiwa Madiun, yang mau
membikin Indonesia menjadi jajahan
Moskow.
CIA
sebagai invisible gouvernment dari USA
selalu waspada terhadap kaki tangan Moskow yang mengacau di berbagai
negeri terbelakang, terutama bekas jajahan negeri kapitalis
Barat.
Campur
tangan CIA adalah kewajaran dalam konteks Perang Dingin. Jika
Indonesia betul2
mempertahankan garis politik non Blok, bersikap netral dalam
menghadapi bentrokan 2 superwower. Menjalankan politik
bersahabat dengan seluruh bangsa2 di dunia dan semua negara di
dunia. Maka Indonesia akan seperti Thailand, Singapura, Malaysia,
India dll, tidak mengenal apa yang dinamakan tragedi nasional 65
yang menyeret korban jiwa yang begitu besar.
Mengapa PKI dengan
terang2an menyebut dirinya sebagai Partai tipe Lenin? Mengapa
pimpinan PKI getol berkunjung ke Moskow dan
Beijing?
Ciri2 utama Partai tipe
Lenin adalah merebut kekuasaan politik dengan kekerasan bersenjata,
mendirikan diktatur burjuis kecil (diktatur proletariat cuma
mereknya saja, tetapi isinya adalah diktatur burjuis kecil yang
mengaku dirinya sebagai elemen termaju proletar). yang membikin kaum
revolusioner dalam ABRI selalu waspada, selalu siap menghancurkan
PKI jika mau coba2 meniru Lenin merebut kekuasaan dengan kekerasan
bersenjata. G30S adalah petualangan avonturisme dari PKI. Adalah
contoh tipikal PKI mau merebut kekuasaan dgn kekerasan
bersen-jata.Mengapa berakhir dengan kegagalan?
Sisa2 PKI ber-teriak2,
bahwa PKI tidak ada niat secuilpun untuk merebut kekuasaan dengan
kekerasan bersenjata. Ini
adalah penipuan yang paling tidak tahu malu dan paling kurang ajar.
G30S menemui kegagalan disebabkan oleh sigapnya kekuatan
revolusioner AD yang dipimpin oleh Suharto, yang menolak perintah
Sukarno untuk mengangkat Pranoto (minimal simpatisan PKI) sebagai
pengganti A. Jani. , dalam tubuh PKI sendiri terjadi cakar2an antara
berbagai faksi, antara faksi Aidit, faksi Sudisman, faksi Ismail
Bakri dan faksi revisionis Nyoto. sebabnya
mengapa PKI tidak mampu menyatukan pendapat, menyatukan langkah
serempak dan kilat
untuk melakukan perlawanan terhadap offensif revolusioner dari
Suharto. Belakangan terjadi kompromi antara faksi Sudisman dan faksi
Ismail Bakri, sebab faksi Aidit dan faksi Nyoto menjadi berantakan
setelah gembongnya mati terbunuh. Kompromi ini menelurkan apa yang
dinamakan Otokritik Politbiro CC PKI 1966. pokok dari Otokritik ini
adalah TIDAK mau mengakui kesalahan utama PKI, bahkan secara membabi
buta meneruskan petualangan politiknya dengan menunjukan jalan
keluar PKI adalah KIBARKAN TINGGI2 PANJI MERAH MARXISME-LENINISME
FIKIRAN MAO TJETUNG, melakukan pemberontakan bersenjata di Blitar
Selatan dan Kalbar, berkhayal dari desa kepung kota kaya di
Cina.
Mengapa
rekonsiliasi nasional sangat sulit terlaksana?
Hal
ini per-tama2 disebabkan oleh secuil sisa2 PKI masih terus ber-kaok2
menyatakan dirinya sebagai orang suci yang tak berdosa, masih
ber-kaok2 menuntut pahlawan nasional Suharto supaya diseret ke
pengadilan. Selama kalian tidak mengakui kesalahannya, bagaimana
mungkin rekonsiliasi nasional bisa terwujud?
Hari
ini, tgl 15 Oktober 2005, secuil sisa2 PKI bikin pertemuan di
Holland, pertemuan semacam ini pasti digunakan oleh sisa2 PKI buat
mohon belas kasihan kepada rakyat Indonesia, bahwasanya mereka
samasekali tak berdosa, bahwa PKI adalah kelompok orang suci yang
tangannya tidak berlumuran darah. Saya ingin peringat-kan mereka,
bahwa semakin sering kegiatan itu diadakan, semakin kepalabatu
menyatakan PKI tak berdosa, semakin jauh REKONSILIASI NASIONAL
terwujud. PKI dan sisa2nya memang betul2 keblinger, mereka berkhayal
lawan2 politiknya ikut keblinger, sama dengan berkhayal matahari
terbit di ufuk barat.
ttd. Maria
Harsono.
****************************
Asahan
Aidit wrote:>
Ya,
memang pada hari ini, 15 Oktober 2005, di Amsterdam, tepatnya tadi
pagi jam 11.00, gedung tempat pertemuan bagi peringatan 40 tahun
tragedi berdarah G30S-65 telah dipenuhi oleh para undangan yang
selain yang berdomisili di Belanda, tapi juga berdatangan banyak
teman dari Swedia, Jerman, Perancis dan bahkan yang dari Indonesia.
Semangat mengutuk perbuatan keji anti kemanusiaan dari Suharto,
tidak berubah bermutasi satu milimikronpun. Ratusan pengunjung yang
memenuhi undangan bukan saja yang dari korban tragedi 65, tapi juga
yang bukan korban, orang-orang Indonesia yang hidup di Belanda dan
bahkan dari orang-orang Belanda sendiri yang bersimpati kepada
rakyat Indonesia korban penyembelihan Suharto. Setiap selesai
seseorang yang memberikan ceramah, lalu diberikan kesempataan pada
setiap hadirin untuk mengajukan pendapat secara bebas. Banyak pendapat yang
diajukan maupun pertanyaan yang sangat berbeda beda dari berbagai
sudut pandang. Tapi tidak ada satu pendapat serongpun yang diajukan
yang bersifat membela ataupun menutupi dosa-dosa Suharto dalam
membunuh jutaan manusia Indonesia yang tidak bersalah sesudah
terjadi peristiwa G30S-65 , apalagi yang menganjurkan agar minta
ampun pada Suharto dan tentu saja tidak sorangpun yang mengusulkan
agar Suharto diangkat jadi pahlawan Nasional. Jadi saya harus sangat
mengecewakan harapan orang yang mendambakan Suharto dianggap sebagai
pahlawan nasional. Jauh panggang dari api kata pepatah. Dari kaum
muda yang masih berusia 4 tahun ketika peristiwa terjadi,atau malah
yang belum lahir itu, ketika memberikan pendapat, juga tidak punya
pikiran aneh dan serong dan memang di antara para hadirin yang
terdiri dari bermacam latar belakang sosial, asal usul serta
pandangan politik serta agama, ternyata tidak ada seorangpun yang
keblinger dan mengagumi Suharto sebagai pahlawan nasional atau bapak
pembangunan. Di mata setiap orang, Suharto adalah seorang diktator
fasis yang punya dosa yang tak terbilangkan besarnya terhadap bangsa
Indonesia yang telah dia bikin mati, bikin bodoh, bikin sengsara,
bikin keblinger seperti dia sendiri. Kalau ada orang mengira bahwa
pertemuan tadi pertemuan yang hanya untuk membenarkan kesalahan PKI,
pertemuan para manusia tua bangka yang berkepala batu menganggap
diri suci dan tidak mau mengakui kesalahan-kesalahan dalam intern
Partai, maka perkiraan yang demikian, dengan sangat sayang ,saya
harus sekali lagi orang uang punya persangkaan demikian. Dan pula
manusia-manusia korban G30S-65 yang dianggap sebagai "bersembunyi"
di luar negeri, juga adalah anggapan yang sama sekali meleset. Ini
orang-orang yang dituduh bersembunyi, malahan menuntut janji-janji
Yusril yang kosong melompong itu yang pernah menjanjikan akan
mengurus kepulangaan para korban G30S-65 dengan cara yang mudah dan
terhormat. Tidak ada seorangpun yang bersembunyi dan semuanya legal
dan ingin pulang ke tanah air mereka ,sebagai hak suci warga negara
Indonesia yang telah dilanggar secara kasar oleh Suharto semasa
Orba.
Semua dugaan meleset dan
pikiran-pikiran serong berpihak ke Suharto dan mengutuk (pada
hakekatnya) semua korban G30S-65, ternyata pikiran yang terpencil,
tersisihkan dan bahkan juga adalah yang sesungguhnya keblinger,
sesat jalan, putus asa secara tragis yang mungkin sudah tak mungkin
diselamatkan lagi Betapapun besarnya perbedaan pendapat, bahkan di
dalam keluarga sendiripun, adalah wajar, normal, di alam demokrasi
atau ingin menuju masyarakat yang demokratis. Tapi bila telah
menyebrang ke pihak Suharto, ke pihak musuh secara terang-terangan,
blak-blakan dan sambil mencaci maki pula maka itu adalah sudah
menjadi dua front yang antagonistis. Di sini bukan lagi perjuangan
saling meyakinkan di antara sesama kawan, tapi sudah menjadi dua
front yang antagonistis yang tidak mungkin didamaikan. Diskusi akan
menjadi sia-sia: Keyakinanmu, keyakinanmulah! Keyakinanku
keyakinankulah.
asahan
aidit.
******************************
ali
mohamad <rssidr@yahoo.com.au> wrote:
To:
sastra-pembebasan@yahoogroups.com
CC:
Kang Becak <kbecak@yahoo.com>
Date:
Sun, 23 Oct 2005 10:11:07 +1000 (EST)
Subject:
Re: #sastra-pembebasan# G30S/PKI (mengapa bukan gestok ?) Tragedi Nasional
1965!
Yth
semua.
Engga
usah..... pakai saja G30S tapi tampa
embel-embel PKI. Peristiwa itu kan
bukan hanya menyangkut PKI tapi pelaku gerakannya
banyak. Dan kalau dilihat awalnya
bukankah itu punya kaitan dengan dewan jenderal. Diluar saling tuduh
marilah sekarang kita berpikir jernih. Situasi politik 65 memang
diwarnai dengan semangat anti kolonialisme, imperialisme termasuk
boneka Inggris yang namanya Malaysia. Subandrio kan memunculkan
dokumen Gilcrist yang didapat ketika menyerbu kedutaan Inggris
beberapa waktu sebelumnya. Jangan lupa Umardani itu muncul karena
peristiwa gagalnya AURI membantu peristiwa Aru. (Saat itu atas
tuduhan Soedomo dan Mursid, AURI tidak berbuat sesuatu makanya
Suryadarma berhenti sebagai menpangau). Padahal kelebihan Umar Dani
karena soal senioritas saja. Ketika Soekarno mulai curiga pada Yani
(Yani kan makin dekat pada Amerika ?. Ingat
penyerbuah Riau zaman PRRI, Amerika bantu TNI AD), otomatis Umar
Dani dekat dengan Soekarno, maka diangkat dia sebagai panglima
mandala dalam Dwikora. Cilakanya Soeharto jadi wakilnya. Tapi Umar
Dani kurang tegas ketika peristiwa G30S meletus (istilah G30S benar
juga, memang gerakannya sudah mulai tanggal 30 September 1965 malam
hari) seolah dia baru menyadari apa yang terjadi. Dan seolah tidak
punya hubungan dengan Supardjo. Apa benar ?
(baca bukunya Heru Atmodjo). Apakah Soekarno juga pura-pura tidak
tahu ?. Artinya sebenarnya semuanya sudah
curiga atau setengah tahu awal gerakan peristiwa G30S. Dan saatnya ya ketika munculnya isu dewan
jenderal itu. Cilakanya lagi PKI terbawa kelibat. Padahal
memang sudah dikonsep mau dihancurkan. (baca tulisan saya the unseen structure). Coba
pikirkan kalau pakai teori counterfactual, andaikata penugasan
penculikan para jenderal TNI tidak disambung dengan exsekusi, apa
jadinya. Belum tentu PKI
dihabisi. Bisa-bisa pemerintahan Soekarno jalan terus. Atau
katakanlah kalau Soekarno nurut Soeharto mau disuruh bubarkan PKI,
maka Soekarno tetap presiden. Dan tentara tidak jadi
pemain
tunggal. Sebenarnya ada
dua tokoh penting yang bisa ngedep agar Soeharto tidak naik. Pertama
adalah Ibrahim Adjie (dia kuat) dan Umar Dani. Keduanya mestinya
bisa kontak satu sama lain. Dibawah Pangti (Soekarno) dalam 24 jam
kemelut Jakarta mestinya bisa beres. Bukankah Pak Martadinata juga
nurut Soekarno. Kenapa jadi Soeharto yang naik
?. Dia kan pemain rangking kedua. Ini mungkin juga kurang
tegasnya Soekarno, padahal gerakan Untung itu amburadul (baca
bukunya Heru Atmodjo). Tap sudahlah nasi kan sudah jadi bubur. Yang
penting bagaimana PKI jangan terus menerus jadi kambing hitam sampai
ahir zaman. Akibatnya parah karena urusan partai sangat melekat
dengan tokoh. Dan tokoh punya anak cucu.
Dalam PKI setelah G30S kan juga terjadi kemelut internal (baca
pembelaan Soedisman). Kita juga perlu bertanya kenapa PKI diam saja
ketika G30S meletus. Apa engga bisa mengadakan pembersihan internal
partai ?. Mungkin yang paling baik pakai
strateginya PSI dan Masyumi, yaitu bubarkan partai sendiri.
Ini sih cuman ngomongan
jalanan. Jangan diambil hati yah.......
**********************************************
heri
latief <herilatief@yahoo.com> wrote:
saya
suka memperhatikan gaya penulis yg nulis puisi dari
kejadian yang tela terjadi.
misalnya
kang becak yg ngakunya tinggal di jepang ini punya gaya nulis
puisi yg sederhana aja, gak njelimet, lumrah dan langsung nyodok
ke inti masalah.
GESTOK...
tokoh
besar politik indonesia di jaman
65
masuk
daftar nama yang tercemar akibat bermain api terbakar tangan
sendiri?
riwayat
politik kita memang licik bin munafik semua orang tau, semua orang
tau...siapa yang berani membunuh demokrasi musti bertanggung jawab
pada kebenaran sejarah!
************************************
Kang
becak <kbecak@yahoo.com> wrote:
PKI, Lembaran
sejarah hitam,
Kini
mulai berlubang.
Jangan
bertanya siapa yang salah, Dalam Politik,
Karena
tidak mungkin ada presiden yang mengkudeta dirinya
sendiri.
Tabir
hitam mulai terkuak, Ketika Presiden Sukarnopun di
"PKI-kan".
Suharto, Memobilisasi
PKI,
Untuk
menghabisi orang-orang pro Sukarno seperti Jend. A Yani dan
Nasution. Untuk kemudian ia hianati pula PKI demi kekuasaan.
Untuk
kekuasaan, Ia habisi pula orang-orang yang telah membantunya
menumpas PKI Bagaimana Suharto menghabisi karier Sumitro dan Sarwo
Edhi, Bahkan Ali Murtopo, mati dalam kondisi yang tidak jelas.
Tapi
mengapa orang masih saja menyebutkan sebagai G30S/PKI, Bukan Gestok,
Seperti yang telah diteriakkan Bung Karno
?
Sejarah perebutan
kekuasan, Memang sengaja diburamkan.
Seburam fungsi kekuasaan
dalam kehidupan.
**********************************************
Yth
Bapak PK,
eh, Buk Maria Harsono,
Apakah
Ibu mau mengutuk Bapak anda sebagai pimpinan Pemuda Rakya, yang lari
terbirit-birit dari satu tempat ke tempat lain untuk menyelamatkan
dirinya dan meninggalkan tanggung jawab sebagai pimpinan pemuda yang
merupakan onderbow PKI. Saya kira baik juga anda mengutuknya melalui
milis ini. Dengan demikian, walaupun anda sembunyi di Hongkong,
rakyat Indonesia mungkin mau memaafkan kejahatan anda dan anda yang
meninggalkan anggota Pemuda Rakyat dicincang oleh rezim Orba fasis
Soeharto.Dengan teriak-teriak, anda mau membersihkan diri dan dan
bapak anda. Ah, jangan gitu dong. Jangan ekstrem kiri lari ke
ekstrem kekanan, memuja pembunuh Soeharto dan mengangkatnya jadi
pahlawan. Kalau demikian, nanti
anda akan terus menjadi badut politik dan
bunglon.
Kesawan. ==========
-----
Original Message -----
From:
maria harsono
To:
Sent:
Saturday, October 22, 2005 5:02 PM
Subject:
[HKSIS] Akankah PKI hidup kembali
Asahan
yth,
terharu
saya membaca surat bapak ini, sungguh
keterlaluan mereka yang selalu meng-hubung2kan bapak dengan DNA.
Tampaknya bapak cuman anggota biasa, bukan pimpinan, lebih2 bukan
pimpinan pusat (Polit Biro).
nasional
65-66 memberi pelajaran yang sangat berharga buat rakyat
Indonesia, yaitu jangan
main2 dengan api revolusi, sebab akan membakar diri sendiri, dan
membakar para simpatisan diri sendiri. Pada 1950, setelah berdiri
RIS, ter-lebih2 setelah berdiri RI, sebetulnya revolusi Agustus 45
sudah selesai, yang belum selesai adalah pembangunan ekonomi. Tapi
PKI terus menerus mengobarkan api revolusi, selalu mengatakan
revolusi agustus 45 telah gagal, karena kekuasaan belum jatuh
ditangan PKI. berjuang untuk merebut
kekuasaan politik, artinya harus menyingkir-kan oknum2 anti Komunis
yg berada dalam kabinet RI. terakhir oknum2
anti Komunis ini dilukiskan sebagai 3 setan kota dan 7
setan desa, harus disingkirkan kaum kepala batu
ini.
pimpinan
PKI tidak sadar, bahwa tidak ada penguasa yang mau dengan sukarela
turun dari panggung sejarah, turun dari panggung kekuasaan
politik?
pimpinan
PKI sudah lupa akan peristiwa Madiun yang dilukiskan sebagai teror
putih ke-2? (keterangan: teror putih pertama adalah 1926, teror
putih ke-3 adalah 1965)
1948,
anggota masih sedikit, maka korbannya juga tidak banyak. Ketika 1965
anggota dan simpatisan PKI sudah meliputi jumlah 20 juta, maka tidak
heran yang mati terbunuh mencapai 600 ribu bahkan ada yg bilang 3
juta.
bapak
tidak mau di-hubung2kan dgn abangnya DNA, maka per-tama2, bapak
harus mengutuk DNA, karena DNA main2 dgn api revolusi, akhirnya
bukan saja dirinya terbakar, juga menyeret korban adik2nya Murad,
Sobron dan Asahan, menyeret korban rakyat yang tidak
berdosa.
me-nyalah2kan
orang antiKomunis, mereka pasti akan membasmi PKI dan pengikut-nya
jika dianggap PKI dan pengikutnya sangat berbahaya dan mau membasmi
mereka.
pasti
ikut campur tangan dlaam usaha membasmi PKI, karena PKI menganggap
imperialis AS adalah musuh nomersatu rakyat Indonesia.
memperhatikan,
banyak sisa2 PKI di Eropa maupun di Indonesia belum sadar
akan kesalahan fatal PKI, kebisaannya cuma mengutuk Suharto dan
Orba, tapi tidak berani mengutuk pimpinan Partainya sendiri,
terutama Politbiro CC PKI yang menjadi biangkerok G30S.
melihat
bapak masih memupuri PKI, se-olah2 PKI mau menempuh jalan damai,
se-olah2 PKI tidak ada persiapan untuk perjuangan bersenjata.
Mengapa bapak masih terus menerus menipu generasi muda
Indonesia?
SANGAT
MUSTAHIL jika PKI mau menempuh jalan parlementer dan jalan damai,
orang antiKomunis begitu kejamnya membantai ratusan ribu anggota dan
simpatisan PKI.
adalah
logika yang sangat sederhana sekali, dimana ada aksi pasti ada
reaksi, aksinya tambah keras, reaksinya juga tambah keras. Aksinya
tambah kejam, maka reaksinya juga bertambah kejam.
ragu2
bapak bisa sadar dari kekeliruan serius ini, rupanya bapak2 ini
seperti yang dilukiskan oleh Mao Tjetung, gagal, mengacau lagi,
gagal lagi terus sampai musnah.
Harsono
********************************** <annakarenina@quicknet.nl>
sendiri bukan mahluk
politik dan saya sangat benci dengan politik. Tapi saya menyedari,
sekali lahir ke dunia, maka tak terhindarkan akan terlibat dalam
politik dan karenanya harus mempelajari dan ngerti politik. Partai
politik adalah sarangnya para demagog dan orang-orang munafik yang
korban mereka, pertama-tama adalah orang-orang yang tidak ngerti
politik. Seandainya berjuta massa yang dibunuhi Suharto itu, ngerti
sedikit politik, tentu pembantaian tak akan sedemikian hebatnya dan
pasti akan menemui perlawanan. Tapi karena buta politik oleh tidak
terdidik baik akan soal-soal politik elementer, mereka jadi korban
terbesar, tidak tahu apa-apa meskipun juga tidak berdosa. Karenanya
rakyat Indonesia harus mendapatkan pendidikan politik, kesedaran
poltik agar tidak menjadi kuda tunggangan para penguasa dan
budak-budak Partai politik dan ngerti politik bukan berarti harus
masuk partai tertentu atau menjadi politikus (kalau memang tidak
suka). Buta politik, lebih berbahaya daripada buta huruf.Pendekatan
saya pada politik bukanlah sebagai hobby atau ingi njadi politikus,
tapi didorong oleh kewaspadaan agar tidak terjerumus ke jurang
penipuan politik dan jadi budak buta tuli dari politik. Jadi
semakin saya benci terhadaap politik, semakin terdorong untuk
mempelajarinya. Untuk turut-turut jadi pendiri Partai politik?. Saya bukan organisator dan tidak punya bakat
secuilpun untuk jadi organisator. Organisator yang baik adalah
orang-orang yang selalu datang terlambat menghadiri rapat, memilih
pekerjaan yang paling ringan dan paling sedikit untuk dirinya
sendiri dan paling ahli membagi -bagi pekerjaan untuk orang lain
hingga dia sendiri tidak kebagian pekerjaan.
kadang-kadang, politik,
juga bisa memberikan inspirasi untuk dunia kepenulisan, termasuk
penulisan sastra. Sastrawan yang tidak ngerti politik, tidak mungkin
akan menghasilkan karya sastra yang berarti apalagi bermutu tinggi
karena politik adalah bagian dari kehidupan, bagian dari pemikiran
sosial dan juga bagian dari pemikiran budaya manusia. Mungkin yang
saya benci itu adalah bagian-bagian politik yang kejam dan biadab,
munafik dan penuh tipu daya.
saja mau mendirikan PKI
yang bagaimana tapi kalau soal nama, apalah arti sebuah nama. Partai
Komunis tidak sama dengan Partai yang bukan Komunis dan ini adalah
masaalah hakekat, inti dari isi sebuah partai politik. Hanya rakyat
yang ahir-ahirnya yang akan menentukan apakah Partai Komunis masih
diperlukan atau tidak dan bukan larangan atau anjuran sekelompok
orang. Kalau dia harus lahir, dia akan lahir dengan berbagai cara,
tidak tergantung apakah TAP MPRS XXV 1966 dicabut atau tidak.Atau
dia tidak lahir-lahir meskipun sudah dibolehkan atau dibiarkan
lahir. Semua itu akan ditentukan oleh kesedaran politik bangsa
Indonesia. Tapi yang jelas generasi muda sekarang ini belum
sepenuhnya bebas dari trauma politik dan dari peristiwa mandi darah
65 akibat efek lanngsung maupun tidak langsung politik pembodohan
dan pemberangusan daya kritis generasi muda. Bahkan yang dari
generasi orang-orang PKI sendiripun tidak sedikit orang-orang tua
yang tidak bisa jadi dewasa, sedangkan generasi yang lebih mudanya
terlalu cepat menua tapi dengan sifat kekanak-kanakan dalam
berpolitik. Mereka lebih banyak menggunakan perasaan sentimen
pribadi daripada sikap politik yang krtitis dan menggunakan metode
analisis dalam menanggapi masaalah-masaalah politik praktis maupun
teoritis. Umpamanya karena saya adalah adik dari DN.Aidit, setiap
ada perbedaan pendapat, saya lalu dikutuk karena adik DN Aidit,
seolah apa saja yang saya katakan sudah tak ada harganya, tidak
bernilai dan diremehkan serendah rendahnya, seolah hak-hak pribadi
saya sebagai manusia, pemikiran serta pendapat saya hanya cocok
sebagai penghuni keranjang sampah. Semua yang bernama aidit maupun
berbau aidit diasosiasikan sebagai setan sebagaimana yang telah
terprogram dalam komputer Suharto dan Orba-nya. Namun saya yakin,
sentimen pribadi dalam politik tidak akan menyelesaikan soal dan
kita akan terus hidup dalam lautan soal-soal yang tidak bisa
diselesaikan.
asahan
aidit.
-----
Original Message -----
:
Hutagalung Bambang
:
Friday, October 21, 2005 11:22 AM
:
Re: [HKSIS] Akankah PKI hidup kembali
Maria
yg budiman,
tidak
akan hidup kembali. Ini dimaksudkan PKI model lama yg dilahirkan
pada 1920 dan tamat riwayatnya pada 1966.
PKI
yg didirikan oleh Moskow melalui agennya yg bernama Sneevleet
(Partai Komunis Belanda).
yang
dik Maria bilang itu, sedikitpun tak ada bau2nya PKI, mengapa sih
mesti make nama PKI? kenapa nggak pake nama
baru misalnya POM (Partai Orang Miskin) atau PAR (Partai Akar
Rumput).
kita
tidak berbeda pendapat, cuma pengemukaannya saja yg
beda.
Hutagalung.
maria
harsono <emhar76@yahoo.com.hk> wrote:
Pak
Bambang yth,
berbeda
pendapat dengan bapak dalam pasal ini.
berpendapat
PKI masih ada kemungkinan hidup kembali, sebab masih ada 40-60 juta
penganggur dan lapisan akar rumput yang merupakan lahan subur buat
kelahiran kembali PKI.
PKI
yang akan dilahirkan kembali itu, cuma namanya saja sama dgn PKI
dulu, tapi segala-galanya serba baru, yg dimaksud dgn serba
baru?
Partai
yang akan dibangun dibimbing oleh Pancasila, yang anti perjuangan
klas, anti diktatur proletariat, anti Leninisme, anti Stalinisme dan
anti Maoisme.
Menggalang
front persatuan se-luas2nya dengan seluruh bangsa
Indonesia yang setuju
dengan Pancasila, tanpa perduli asal klas, asal Ras, keyakinan
agamanya dan kesukuannya. Yang terpenting adalah kekuatan yang anti
revolusi dan anti revolusioner.
Memperjuangkan
hak2 azasi manusia dan azas2 demokrasi dengan jalan parlementer,
merebut kekuasaan politik melalui pemilu.
Yang
disebut sebagai TRI PANJI PKI gaya baru, yang akan membentuk
pimpinan pusat baru, yang bersih dari unsur2 pengikut Lenin, Stalin
Tjetung, dan DN Aidit, kira, PKI yang semacam ini pasti disambut
dengan gembira kelahirannya oleh seluruh bangsa Indonesia yang cinta
damai. Golkar ABRI dan Orba pasti mau bekerja sama dengan PKI
seperti ini, yang menutup kemungkinan timbulnya tragedi nasional a
la 1965, sebab tak ada lagi politik revolusioner main ganyang
imperialisme, ganyang feodalisme, ganyang 10 setan dan siluman. Tak
ada lagi cita2 membangun masyarakat yang tidak ada sistim
penghisapan manusia atas manusia lagi, cita2 utopi yang menimbulkan
ketegangan sosial saling ganyang antara klas penghisap dengan klas
terhisap. Kontradiksi antara
majikan dengan buruh diselesaikan melalui musyawarah dan
mufakat.
Bagaimana
pak Asahan? Apakah ada minat untuk ikut menjadi salah seorang
pendirinya?
Harsono.
*******************************
Bambang
<bambanghutagalung1942@yahoo.co.uk>
tak
mungkin hidup kembali. Tapi perlawanan rakyat melawan ketidak
adilan, membasmi kemiskinan pasti akan berjalan terus, ini adalah
sejarah.. Yang sudah masuk museum (PKI),
cuma dijadikan bahan studi, diskusi dan perdebatan, seperti
perdebatan antara Emhar versus Asahan.
Hutagalung
***************************************
<annakarenina@quicknet.nl>
wrote:
Aidit:
AKANKAH
PKI HIDUP KEMBALI
periode
1951-1965 adalah dilahirkan untuk menempuh jalan damai. Tapi
ternyata kemudian ditindas dengan kekerasan oleh kekuatan-kekuatan
anti Komunis dalam negeri dengan kerja sama kekuatan-kekuatan anti
Komunis Internasional. PKI periode ini tidak dilahirkan untuk
berontak, tidak membangun kekuatan bela diri, tidak membangun
tentara sendiri dan tidak punya daeran basis bersenjata seperti
umpamanya di Vietnam atau di Malaya atau Philipina. Karena itu PKI selama
periode itu adalah juga musuh bebuyutan kaum Trotsky yang menuduh
PKI dan bahkan seluruh Partai-Partai Komunis yang di negeri-negeri
sosialis seperti Unie Sovyet, Cina, dan di negeri-negeri Sosialis di
Eropah Timur sebagai Partai-Partai Komunis Stalinis yang mereka
anggap telah menjadi Partai-Partai Penghianat dan agen Stalin, agen
Mao dan lebih belakangan lagi sebagai agen Pablois. Menurut kaum
Totsky , semua Partai Komunis dalam merebut
kekuasaan haruslah berontak dalam rangka r! evolusi permanen sebagai dasar teori mereka.
Revolusi tidak boleh istirahat, atau dibikin bertahap-tahap tapi
harus terus-terusan berevolui dan menyalakan pemberontakan di
seluruh dunia bagi mencapai kemenangan ahir secara bersama-sama.
Tapi rupanya yang tidak mengikuti teori revolusi permanen ini,
mereka lebih suka istirahat dan jangan terus terusan berevolusi dan
berontak karena, itu bikin capek, tidak bisa relax dan juga jadinya
hasil revolusi tidak bisa dinikmati di tengah jalan dan harus
menunggu lama. Alasan mereka bukan sama sekali konyol dan buktinya
kaum Totsky yang berteori revolusi permanen itu, tidak didengarkan
orang banyak dan bahkan banyak menerima tentangan hingga teori
mereka tidak laku dan tidak hanya itu, bila seorang kader dicap
sebagai "Trotskys" ketika itu, kira-kira sama kerasnya sepeti di
jaman Suharto, seseorang kena maki: "Dasar lu PKI"
ketika
PKI dihancurkan Suharto karena dituduh memberotak untuk merebut
kekuasaan negara, kaum Trotsky seperti bangun kembali dari
kuburannya untuk mengutuk PKI sambil membenarkan teori mereka: Nah,
itulah kalau tidak berani berontak dan mengharamkan pemberontakan,
kalian dibantai sampai lumat. Sesungguhnya kaum Trotsky tidak hanya
menuduh PKI adalah penghianat ,anti berontak, tapi juga membela PKI
hadapan Suharto dengan bukti yang paling meyakinkan, memang PKI
tidak ada pikiran untuk berontak dan lebih tahan dibantai daripada
harus berontak .PKI 51-65 memang dilahirkan tidak untuk berontak dan
tidak pernah ada bukti-bukti untuk itu kecuali tuduhan dan fitnah
yang tidak pernah dibuktikan dan hanya dibuatkan bukti palsu dengan
perencanaan panjang, teliti dengan kerja sama Internasional anti
Komunis Sedunia untuk menghancurkan PKI.
PKI memilih jalan damai
dan tidak mendengar nasihat kaum Trotsky agar memberontak saja.
Provokasi Madiun 1948, sedikit banyak telah memperingatkan PKI,
setiap pergesekan senjata dengan kaum reaksioner dalam negeri adalah
cuma menghidupkan teror dan kematian untuk diri sendiri. Mengapa?.
Karena PKI sudah sangat terlambat untuk mempersenjatai diri dan
massa rakyat yang akan diajak memberontak.Tidak bisa meniru revolusi
Cina yang dari desa-desa mengepung kota dan merebut kota-kota. Juga
tidak bisa meniru revolusi Rusia dan lalu PKI mengambil jalan
tengah. Jalan damai dan lalu membikin teori-teori sendiri seperti
umpamanya "Teori 2 Aspek": Pro rakyat dan anti rakyat, pada
hakekatnya adalah jalan revolusi damai tanpa memegang senjata, tanpa
perang, tapi mengharapkan agar "Aspek Pro Rakyat"dalam bangunan atas
di kalangan musuh bisa direvolusionerkan secara damai yang akan
diharapkan melancarkan revolusi damai yang berpihak! kepada PKI.
Ilusi yang indah itu, bukannya sama sekali terdengar konyol atau
goblok. Ada saatnya ketika PKI membesar secara spektakuler dengan
jutaan anggota dan puluhan juta simpatisan dan pengaruh PKI menjalar
kemana-mana bahkan hingga ke dalam intern angkatan bersenjata
sekalipun. Prestasi menonjol demikian sudah pasti tidak bisa
dibilang adalah hasil pemikiran orang-orang konyol dan goblok kalau
tidak mau menganggap bahwa rakyat Indonesia itu sudah super goblok.
Tapi
kepintaran manusia, sering-sering adalah juga kebodohannya sendiri.
PKI sempat menjadi Partai yang sombong dan arogan. Di saat-saat
beginilah faktor subyektif yang sudah tak bisa dikekang itu, bisa
membuat mala petaka, apalagi hal itu dipertontonkan dengan kurang
ajarnya di depan musuh. Sedangkan musuh itu kejam dan biadab serta
licik. PKI hancur binasa bersama massa pengikut atau simpatisannya dan bahkan
dengan puluhan juta massa yang tidak bersalah dan tidak
tahu menahu tentang PKI maupun politik. Akibat semua i! ni adalah sifat kejam dan lalim dari musuh yang
bukan dilakukan oleh PKI. besar hingga
sekarang adalah, mengapa orang-orang PKI beserta massa-nya, dan juga
berjuta rakyat yang dikorbankan musuh, tidak melawan, tidak
memberontak untuk bela diri demi menghentikan kekejaman dan
pejagalan musuh. PKI adalah partai yang tidak siap untuk dikejami
atau melawan kekejaman. Salah satu sebab pokoknya adalah ilusi yang
telah begitu mendalam yang menganggap jalan damai yang ditempuh PKI
tidak memerlukan aksi bela diri yang dipersiapkan sebelumnya dan
hanya semata menggantungkan diri pada "aspek pro rakyat" yang di
kalangan musuh maupun yang sedang diajak bersahabat. Dan ketika
perangkap telah mengena, penghianatan di kiri kanan, muka belakang,
hanya turut mencambuk PKI yang sudah terjepit seperti tikus yang
terperangkap. Ada pepatah Melayu: "Tikus
melupakan perangkap, tapi perangkap tidak pernah melupakan tikus".
Begitulah nasib PKI, di depan kaum
reaksioner yang diajaknya berdamai dan bersahabat, ia melupakan
bahwa musuh tetap saja musuh yang 24 jam menganga seperti mulut
perangkap. Sang tikus masih saja terlena oleh teori "aspek pro
rakyat".Dan ketika mulut perangkap mengatup, yang dianggap "aspek
pro rakyat" tiba-tiba menjelma jadi aspek anti rakyat, dan hancurlah
PKI.
pertanyan
yang tanpa tanda tanya sebagai judul tulisan ini: "Akankah PKI hidup
kembali " yang dari satu pertanyaan menimbulkan berbagai pertanyaan
lainnya seperti:
"Bisakah
PKI bangun kembali"
"Perlukaah
PKI dihidupkan kembali"
"Siapa yang akan
menghidupkan kembali PKI"
"Bagaimana
cara menghidupkan kembali PKI"
"Apa
mungkin PKI kembali dihidupkan"
masih
bisa dibikin pertanyaan yang bagus-bagus dan jelek-jelek
lainnya.
hal,
teori berevolusi memang telah ada masaalah dan bukan hanya itu,
bahkan telah timbul pertanyaan apakah revolusi masih diperlukan,
mengingat korban dan kegagalan yang sangat besar. "Berusaha, gagal,
berusaha, gagal, berusaha lagi gagal lagi dan terus berusaha hingga
mencapai kemenangan".
terlalu
banyak dilakukan dan tetap gagal atau pada ahir-ahirnya toh, gagal.
Tapi memang ada sesuatu yang tetap saja tak hilang-hilang di kepala
manusia: melawan ketidak adilan, melawan anti kemanusiaan oleh
manusia. Apakah ide demokrasi
semata akan mampu memimpin perjuangan yang demikian. Kita sering
mendengar: "Untuk berevolusi, harus ada teori revolusi". Dalam
kenyataan, teori revolusi itu lahir oleh telah terjadinya sebuah
revolusi. Tapi teori revolusi yang baru itu tidak pernah melahirkan
revolusi yang baru. Tapi dengan begini bukan berarti telah terjadi
satu kebuntuan, bahkan lebih terasa terlalu banyak teori yang
ditawarkan tapi saling berlawanan. Apakah rakyat itu sendiri yang
akan berevolusi tanpa menggunakan teori yang manapun. Mereka cuma
bilang: " aku sudah tidak tahan lagi! ". Dan ini jauh lebih
berbahaya dari peringatan "Bahaya laten PKI" karena PKI sudah laten
tidak berbahaya. Dia
sudah mati.
aidit.
******************************
From:
Waji Waki
To:
annakarenina@quicknet.nl
Cc:
Sent:
Tuesday, October 25, 2005 12:13 AM
Subject:
respon tehadap Akankah pki hidup kembali
Ini
sebuah analisa serius yang menggugah pemikiran setiap orang dan
bukan menjawab tulisan seseorang dengan celaan, makian, merendahkan
orang lain dan menganggap diri sendiri yang paling hebat. Saya
menghargai dan menghormati seseorang bukan dari setuju atau tidak
setuju dengan pendapat orang lain, tapi
menilai pemikiran dan analisanya serta argumentasinya. Namun yang
punya kebiasaan merendahkan orang lain
dengan makian dan sinisme, saya juga telah terbiasa, bahkan sudah
sangat terbiasa, seperti makan nasi sehari-hari. Saya sudah biasa
direndahkan yang itu juga berarti saya telah turut menonjolkan dan
meninggikan orang yang merendahkan saya.
hormat
untuk Sdr. Wajiwaki
asahan
aidit
******************************
Wajiwaki:
Asahan
mengajukan pertanyaan: „Akankah PKI hidup kembali“, dan dilanjutkan
dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya seperti: "Bisakah PKI bangun
kembali", "Perlukah PKI dihidupkan kembali", "Siapa yang akan
menghidupkan kembali PKI", "Bagaimana cara menghidupkan kembali
PKI", dan Apa mungkin PKI kembali dihidupkan" ? jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut,
sangat tergantung kepada siapa yang akan menjawab.
yang
menganggap revolusi sosialis dapat dicapai melalui perjuangan
parlementer, yang selanjutnya saya sebut sebagai kelompok pertama,
seperti kelompok PKI (1951-1965) tentu akan menjawab dengan
keyakinan: „ya“, PKI (1951-1965) akan hidup kembali, (1951-1965)
bisa dan perlu dihidupkan kembali. Kelompok-kelompok ini akan selalu
berusaha untuk menghidupkan kembali PKI (1951-1965), tentu dengan
prinsip cara-cara revolusi-parlementer. Hanya saja cara
revolusi-parlementer yang ditempuh bisa berbeda antara kelompok yang
satu dengan yang lainnya, cara yang ditempuh kelompok-kelompok ini
bisa berbeda dengan cara parlementer yang ditempuh pada masa
1951-1965 (dimana pada masa itu PKI diberi hak oleh rezim Soekarno
untuk exist secara legal, sedangkan pada masa rezim orde baru dan
orde reformasi sekarang ini, keberdaan PKI dilarang oleh
undang-undang, yakni TAP MPRS No XXV). Walaupun diantara kelompok
ini ada yang berusaha untuk mengulang cara yang lama (1951-1965),
yakni dengan cara melakukan perjuangan untuk menghidupkan kembali
PKI secara legal, seperti yang dimanifestasikan dalam berbagai
bentuk aktivitasnya, seperti: menuntut dicabutnya TAP MPRS No XXV,
usaha-usaha melakukan rekonsiliasi dengan rezim yang berkuasa. masa orde reformasi sekarang ini, kelompok yang
masih mempertahankan teori revolusi-parlementer ini, baik dalam
satunya kata dengan perbuatan maupun yang berbeda antara kata dengan
perbuatannya, menggunakan berbagai cara, seperti ada yang
menggunakan partai (tidak menggunakan kata komunis) yang untuk
mencapai tujuannya bergerak secara legal, ada juga yang menggunakan
organisasi massa! sebagai alat untuk menciptakan situasi
revolusioner, setelah situasi revolusioner yang dimaksud tercapai,
kemudian PKI (illegal) akan mengambil alih kekuasaan.
lain,
yang selanjutnya saya sebut sebagai kelompok kedua, yang berbeda dan
berseberangan dengan kelompok pertama yang telah saya sebut tadi,
adalah kelompok yang masih percaya kepada kebenaran teori Marx dan
Lenin tentang kemutlakan revolusi bersenjata. Uni Sovyet dan semua
negara komunis di Eropa Timur, begitu juga pengaruh gemerlapannya
kehidupan kapitalais tidak menggoyah-kan kepercayaan kelompok ini
terhadap kebenarannya teori Marx dan Lenin tentang revolusi
bersdenjata tersebut. Kelompok ini akan menjawab pertanyaan Bung
Asahan dengan tegas: „tidak“.. PKI
(1951-1965) atau PKI dengan garis parlementer ini tidak boleh hidup
kembali, PKI (1951-1965) tidak perlu dihidupkan kembali. Karena PKI
(1951-1965) atau PKI garis parlementer ini bukan hanya telah
mengorbankan dengan sia-sia anggotanya dan rakyat
Indonesia, tetapi juga
telah menghambat dan menghalang-halangi proses perjalanan revolusi
sosialis di
Idonesia.
Dengan
kelompok pertama, kelompok kedua menganggap tidak ada arti menuntut
penghapusan TAP MPRS no XXV kepada penguasa, karena yang bisa
menghapus TAP XXV hanya revolusi bersenjata. Berbeda dengan kelompok
pertama, kelompok kedua akan menuntut pemulihan hak-hak korban 1965,
apalagi meminta-minta kompensasi kepada penguasa, karena hanya
melalui revolusi hak-hak dan kompensasi tersebut dapat dipulihkan.
dengan kelompok pertama, kelompok kedua tidak akan meminta-minta
rekonsiliasi dengan kelompok feodalis dan kapitalis birokrat
kakitangan kapitalisme global, atau muka baru neokolonialis dan
imperialis, karena di dalam sejarah memang tidak pernah terjadi
rekonsiliasi antara dua kekuatan yang saling bertentangan dan saling
meniadakan! ini.
Kedua
berbeda dengan kaum Trotskys, karena teori revolusi permanennya
Troskys bukan hanya berbeda tetapi juga bertentangan dengan teori
revolusi bersenjata Marx dan Lenin. Walaupun kaum Trotskys
bersebarangan dengan PKI (1951-1965), bukan berarti kaum Trotskys
sejajar dengan kelompok kedua, seperti halnya perbedaan kaum
Trotskys dengan kelompok pertama (PKI 1951-1965) tidak dengan
sendirinya dapat mensejajarkan PKI 1951-1965 dengan PK Uni Sovyet
(dibawah Lenin dan Stalin) atau PKT (dibawah
Mao).
Komunis
yang akan dan yang perlu dibangun kembali adalah Partai Komunis yang
mendasarkan kepada garis revolusi bersenjata, Partai Komunis
illegal. Partai Komunis yang demikian hanya dapat dibentuk melalui
praktek aksi-aksi untuk membentuk daerah-daerah basis.
25
Oktober 2005
Waki
*******************
0 0 0 0 0 0 0 0 *******************
|